JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sengketa lahan antara warga dan Kementerian Agama (Kemenag) sebagai pengguna barang dan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sebagai kuasa pengguna barang yang berlangsung sejak tahun 2011 hingga sekarang belum mendapatkan titik temu. Warga yang menempati tanah seluas 57 hektare di kawasan Pisangan, Ciputat Timur, menolak untuk pindah meski Pengadilan Negeri Tangerang hingga Mahkamah Agung telah memenangkan pihak Kemenag. Warga berdalih, putusan pengadilan itu perlu ditinjau ulang.

Hingga kini upaya pihak Kemenang melakukan eksekusi masih terus tertunda karena warga terus melakukan perlawanan. Iskandarsyah, salah satu warga setempat, mengatakan mereka akan terus berjuang mempertahankan tanah dan rumah yang sudah ditempati sejak puluhan tahun lalu tersebut. "Dasar perjuangan kami adalah UU Kesra dan UU Agraria yang menyebutkan jika tanah sudah ditempati hingga dua puluh tahun, maka sudah harus memiliki sertifikat hak milik," ujarnya kepada Gresnews.com, Sabtu (19/4).

Kisruh tanah Ciputat ini berawal dari diterimanya surat perintah pengosongan oleh warga dari panitera PN Tangerang pada 17 Oktober 2011. Para warga yang mendiami kompleks perumahan UIN Jakarta diberi batas waktu hingga Desember 2012 untuk segera mengosongkan rumah mereka. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa tanah yang mereka tempati merupakan milik negara.

Namun, warga menolak perintah dalam surat tersebut lantaran putusan pengadilan dinilai mencurigakan dan cacat hukum. Pasalnya di tingkat pengadilan tinggi rata-rata keluarnya putusan paling cepat adalah enam bulan setelah berkas dimasukan. "Ini dijangkau hanya dalam waktu lima bulan, bahkan dua minggu sebelum putusan resmi pihak UIN sudah memberitakan hasil putusannya di situs online mereka," kata Iskandar.

Iskandar mengaku, warga secara hukum atau de jure memang tidak kuat karena tidak memiliki sertifikat tanah. Namun, kata dia, warga secara de facto kuat karena baik pihak Kemenag maupun pihak UIN selama rentang waktu pembelian tanah hingga sekarang tidak pernah dan tidak mampu membuktikan pernah mengucurkan dana perawatan dan lain-lain. "Bahkan patok BPN-nya saja tidak ada," katanya.

Dari versi warga, mereka mengklaim tanah tersebut merupakan tanah milik mereka. Warga mengaku membelinya secara sah dari Yayasan Muslim Islam Ihsan (YPMII) sejak tahun 1970 s/d 1980-an. Yayasan tersebut kemudian bersengketa dengan Kemenag yang berujung pada keluarnya perintah pengosongan lahan.

Pihak Kemenag menawarkan ganti rugi sebesar Rp50 juta sampai dengan Rp100 juta untuk tanah seluas 200 meter persegi dan Rp150 juta untuk tanah di atas 200 meter persegi. Hanya saja tawaran itu ditolak warga dengan alasan harga pasaran sekarang bernilai Rp3 juta per meter persegi dan Kemenag juga tidak memperhitungkan harga bangunan.

Di sisi lain, pihak UIN melalui Encep Dimyati sebagai Kepala Sub Bagian (Kasubag) Inventaris Kepemilikan Negara (IKN), menjelaskan, pihaknya memiliki bukti bahwa tanah itu dimiliki Kemenag. "Kami mempunyai sertifikat hak pakai Nomor 2 Tahun 1988 yang menyatakan bahwa tanah sengketa tersebut atas nama kemenag," ujarnya kepada Gresnews.com.

Karena itu, kata Encep, gugatan warga ditolak oleh PN Tangerang pada tahun 1997, Pengadilan Tinggi Bandung setahun kemudian dan pada tahun 2004 lalu melalui putusan MA. Dengan dasar itulah pihaknya sudah merobohkan total 14 buah rumah warga.

Encep mengatakan, awalnya tanah tersebut merupakan tanah negara yang diserahkan kepada YPMII untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Namun terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Syarief Soegirwo selaku ketua dari YPMII. Syarief menjual tanah kepada warga dan terbukti bersalah dan dipenjarakan.

Sebelum kemudian menutup umurnya di penjara, ia telah mengakui tanah tersebut dimiliki negara dengan membuat akta perdamaian pada tahun 1988 dengan Kemenag yang isinya mengembalikan seluruh aset YPMII kepada negara. Namun kesalahan kemudian terjadi lagi kepada pengurus lanjutan YPMII yang tetap memperjualbelikan tanah tersebut. "Kami hanya ingin mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak milik negara, hanya menjalankan tugas," kata Encep.


Namun warga menolak versi pihak UIN dan Kemenag itu. Menurut Iskandarsyah, YPMII yang melakukan wanprestasi merupakan YPMII tandingan. "Itu YPMII boneka! Yang sengaja dibuat untuk memberikan citra buruk sehingga aset mereka bisa dikembalikan ke negara," ujarnya.

Ia menuturkan, YPMII sebagai yayasan independen, awalnya dinamakan Yayasan Pembangunan Madrasah Islam (YPMI) yang diketuai Abdul Salam pada tahun 1957-1960. Saat itu, Jenderal Suprapto Ganjil, yang menjabat sebagai ketua BPK mengunjungi madrasah dan merasa harus memperbaiki prasarana yang dinilainya kurang layak.

Maka melalui Kasubdid Bantuan Madrasah Indonesia, dikucurkanlah dana bantuan dari departemen keuangan untuk membeli tanah di wilayah Padang, Lampung, Ciputat, Menteng, dan Tanjung Priuk. "Tahun 1959 dibangun 60 rumah dan kampus UIN sebagai ekosistem," ujarnya.

Pembangunan tersebut, ujarnya digunakan sebagai asrama mahasiswa dan penempatan ekosistem yang terdiri dari pengajar, perawatan kesehatan, dan pengamanan. Kampus UIN Jakarta sendiri yang mendapat pinjaman lahan awal di Menteng dipindahkan ke Limau lalu kemudian ke Ciputat. "Di tahun 1978 muncul YPMII tandingan yang diketuai Masudi. Masudi sendiri pernah bersaksi bahwa YPMII yang diketuainya merupakan yayasan yang dibuat melalui instruksi Menteri Agama," kata Iskandar.

Saat ditanya apa maksud instruksi menteri agama itu, kata Iskandar, Masudi menjawab tidak tahu dan dia bilang hanya menjalankan perintah. Iskandar mengklaim YPMII tandingan inilah yang menandatangani penyerahan aset kepada negara melalui ketua selanjutnya, Syarief Soegirwo. "Padahal kami tidak pernah membuat perjanjian penyerahan hak kepada Kemenag maupun UIN," ujar Iskandar.

Ia yakin, pihaknya kuat secara de facto, terlebih Kemenag dan UIN secara de jure melalui sertifikat hak pakai No. 2 Tahun 1988 pun ia nilai cacat hukum. "Sertifikat muncul tanggal 6 Maret 1988, lebih cepat tujuh bulan sebelum serah terima aset di tanggal 12 Oktober 1988," katanya.

Selain itu masih ada empat keganjilan lainnya, meliputi tidak adanya pelepasan lahan yang disaksikan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan warga, tidak adanya riwayat tanah yang jelas karena sertifikat tersebut muncul secara tiba-tiba, dan tidak ada patok dari BPN padahal hal tersebut merupakan keharusan. Kini dengan berbekal bukti dan saksi yang ada, mereka berjuang tak hanya melewati jalur hukum, tapi juga mengajukan moratorium.

Warga berencana mulai melayangkan surat kepada anggota dewan di Senayan setelah pelantikan anggota legislatif mendatang. Sengketa ini pun belum akan usai dalam waktu dekat. "Mengacu pengalaman tanah Kostrad di wilayah tanah Kusir dan Tebet yang berhasil memperoleh moratorium dan malah mendapat ganti untung kami menempuh jalan tersebut," kata Iskandar. 
 

BACA JUGA: