JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejak orde baru tumbang maka kewenangan pemerintah pusat lebih banyak dialihkan ke pemerintah daerah. Namun masih ada beberapa beleid yang kewenangannya tetap berada di pemerintah pusat sehingga membuat pemerintah daerah tak puas sampai menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kuasa hukum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Yusril Ihza Mahendra, menyebut Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) sehingga menimbulkan azas ketidakpastian hukum.

Diantaranya, pemerintah pusat masih mendominasi menjalankan kewenangan pengelolaan hutan salah satunya dalam hal pemberian perizinan. Padahal secara spesifik dalam UUD 1945 kewenangan itu disebut berada di daerah. Salah satu penyebab kewenangan pusat masih dominan adalah saat UU Kehutanan dibuat atau disahkan di masa peralihan orde baru ke pemerintahan BJ Habibie.

Sehingga UU Kehutanan belum tercantum dalam amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 18 Ayat 2, Ayat 5 dan Pasal 18A Ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan pemerintah daerah.

"Maka wajar UU Kehutanan ini tidak mencerminkan semangat perubahan Undang-Undang Dasar khususnya Pasal 33 UUD 1945 yang lama," tutur Yusril dalam sidang uji materi UU Kehutanan, UU Pemda, UU Tata Ruang yang dimohonkan APKASI di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (3/9).

Kemudian, lanjut Yusril, sesuai amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang disebutkan dalam tiga tahun setelah selesainya UU itu, maka seluruh peraturan tentang tata ruang yang ada di pusat maupun daerah sudah harus selesai. Artinya di 2010 sudah harus selesai namun kenyataannya hingga saat ini, kata Yusril baru sekitar 30 persen yang sudah selesai, dan 70 persen belum selesai.

"Yang 30 persen itu pun baru diselesaikan sendiri oleh daerah dan belum ada persetujuan atau pengesahan dari menteri, yang di dalam undang-undang ini pun tidak dijelaskan menteri yang mana, biasanya dalam undang-undang lain selalu disebut kewenangan menteri A atau B," tegasnya.

Sementara di dalam UU Pemerintahan Daerah, penyusunan ABPD itu harus disusun berdasarkan Perda Tata Ruang. "Jadi apa dasarnya penyusunan APBD sejak 2010 sampai sekarang?" ujarnya. Akibat kerancuan beleid ini, kata dia, akan banyak bupati yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menyusun APBD tanpa berdasar Perda tata ruang.

Disi lain, ada banyak kementerian yang mempunyai kewenangan terhadap tata ruang. Ada di Kementerian Pekerjaan Umum, yakni Ditjen Tata Ruang; ada juga masalah budidaya yang kewenangannya di Kementerian Pertanian; Terkait kehutanan ada di Kementerian Kehutanan; mengenai kelautan ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ada lagi kewenangan tingkat Menko Perekonomian, bahkan dibentuk lagi badan Koordinasi Tata Ruang.

"Sangat-sangat tidak jelas yang menimbulkan kebingungan kepala daearah kepada siapa minta persetujuan," jelasnya.

Kekacauan tersebut, menurut Yusril bersumber dari perumusan perundang-undangan.  Karena itu, APAKSI meminta MK menguji Pasal 4 Ayat (2), Pasal 5 Ayat (3). Ayat (4), Pasal 8 Ayat (1), Pasal 14 Ayat (1), Pasal 19 Ayat (1), Ayat (2), Pasal 50 Ayat (3) huruf g, Pasal 66 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) UU Kehutanan.

Pasal 189 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pengujian Pasal 1 Angka 34, Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

BACA JUGA: