JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ada hal yang saat ini dinanti terkait dengan kasus KPK vs Polri, yakni upaya praperadilan yang diajukan oleh Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka kasus rekening gendut dan gratifikasi KPK. Terkait langkah hukum yang diambil Budi Gunawan itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, hasilnya tidak akan maksimal.

Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono mengatakan, di Indonesia mekanisme praperadilan yang tersedia bukan seperti konsep pengawasan upaya paksa yang ideal. Dia menyebut ada beberapa catatan dari ICJR terhadap mekanisme praperadilan di Indonesia.

"Pertama, praperadilan di Indonesia secara yuridis tidak memberikan ruang pengujian bagi penetapan tersangka. Kedua, praperadilan di Indonesia bahkan selama ini tidak dapat menguji sah atau tidaknya bukti permulaan yang menjadi dasar ditetapkannya seseorang menjadi tersangka," kata Supriyadi kepada Gresnews.com, Sabtu (31/1).

Ketiga, sistem di praperadilan membebankan pembuktian pada pemohon, yaitu Polri. Padahal, seluruh dokumen dan alasan penggunaan kewenangan berada ditangan termohon, yaitu KPK.

"Dengan sistem ini Polri dipastikan akan kesulitan dan tidak mampu melakukan pembuktian bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses penetapan BG sebagai tersangka," kata Supriyadi menegaskan.

Masalah lainnya, kata Supriyadi, dalam praktik praperadilan di Indonesia, banyak hakim yang pada umumnya memandang bahwa pengujian kewenangan adalah diskresi dari pejabat yang berwenang. Bahkan seringkali pengadilan menolak untuk menguji kewenangan penyidik, dalam hal ini tentu saja kewenangan dari KPK.

"Dengan kata lain pengujian materi dalam praperadilan hanya terbatas pada proses prosedur administrasi belaka," ujarnya.

Belum lagi terhadap praperadilan tidak bisa dilakukan upaya hukum apapun termasuk kasasi berdasarkan Pasal 45A Ayat (2) huruf a, UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA dan Putusan MK nomor 65/PUU-IX/2011.

Dia mengingatkan, perlu menjadi catatan bahwa hanya ada satu kasus yang pernah memenangkan pemohon praperadilan dalam menggugat penetapan tersangka, yaitu kasus Bachtiar Abdul Fatah vs Jaksa Agung. Dalam putusan tersebut Hakim Praperadilan PN Jakarta Selatan menyatakan penetapan tersangka sekaligus penahanan yang dikenakan pada bos Chevron ini tidak sah karena tidak berdasarkan ketentuan bukti dalam KUHAP.

Hal yang perlu disoroti, kata Supriyadi, dalam kasus Bachtiar Abdul Fatah vs Jaksa Agung, hakim menguji penetapan tersangka dan bukti yang menjadi dasar penetapan tersangka dikarenakan yang diuji merupakan tindakan penahanan yang dilakukan oleh jaksa, bukanlah mengenai penetapan tersangkanya.

"Sehingga, ini berarti bahwa dalam praperadilan saat ini dasar menguji bukti dan penetapan tersangka tidak bisa terlepas dalam objek pemeriksaan berdasarkan Pasal 77 KUHAP yaitu penangkapan dan penahanan," ujarnya.

Dalam kondisi terjadinya kekosongan hukum dalam menguji penetapan tersangka dan bukti permulaan tersebut, ICJR merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mengenai perubahan KUHAP terkait materi praperadilan yang lebih komprehensif. "Tujuannya, pertama agar kasus-kasus seperti yang terjadi kepada Bambang Widjojanto tidak akan terjadi lagi di masa depan," ujar Supriyadi.

Kedua, agar penyidik tidak semena-mena dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, penetapan sebagai tersangka harus diuji terlebih dahulu di pengadilan dengan pembuktian yang baik dan benar.

ICJR juga percaya bahwa dengan keputusan presiden mengeluarkan Perppu tentang Praperadilan, maka tidak hanya pertikaian antara KPK dan Polri yang akan berakhir, namun juga keadilan subtantif bagi para pemohon praperadilan. Lebih jauh, Supriyadi menilai, ini juga akan menjadi monumen bagi pencari keadilan di seluruh Indonesia, terutama masyarakat biasa yang sering kali menjadi sasaran tindakan kriminalisasi dan upaya paksa sewenang-wenang oleh penyidik maupun penuntut umum.

"Presiden Joko Widodo harus memastikan keadilan tegak di negara yang saat ini dipimpinnya berdasarkan amanat dari rakyat," tegasnya.

Oleh karena itu, kata Supriyadi, sekali lagi ICJR menyatakan, langkah-langkah kebijakan dari Presiden Joko Widodo yang hanya menunggu putusan praperadilan, sebagai syarat untuk melakukan upaya lebih lanjut atas penyelesaian konflik KPK vs Polri, tidaklah tepat. Sebab praperadilan secara praktik selama ini tidak akan mampu memberikan kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya.

"Presiden hanya akan membuang-buang waktu sehingga menurut ICJR, presiden lebih baik fokus membenahi problem hukum terkait dugaan kriminalisasi tersebut," ujarnya.

BACA JUGA: