JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dianggap menderita gangguan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas, seorang siswa Sekolah Dasar (SD) Budi Luhur, Pondok Aren, Tangerang Selatan, dikeluarkan dari sekolahnya. Pihak orang tua siswa berinisial Ts itu, Tri Rizky, yang merasa tidak terima dengan perlakuan sekolah, kemudian melayangkan somasi kepada pihak sekolah melalui pengacaranya dari kantor hukum Dhani, Ahmad and Partners.

Salah satu tim pengacara, Antony Prana Simanihuruk, pun meminta penjelasan alasan perlakuan pihak sekolah SD Budi Luhur yang dinilai sepihak. Untuk itu pihak pengacara telah melayangkan surat undangan untuk membicarakan masalah tersebut secara musyawarah. Hanya saja, surat yang dikirimkan tertanggal 21 Juni 2016 itu tidak mendapat tanggapan. Hingga, seminggu kemudian atau 29 Juni 2016, tim kuasa hukum mengirimkan surat somasi pertama untuk meminta dilakukannya pertemuan untuk bermusyawarah.

Namun, lagi-lagi usaha ini kandas, surat somasi kedua tertanggal 12 Juli 2016 pun dikirim. "Namun pihak SD Budi Luhur tetap dengan sikapnya, tak mengindahkan somasi," kata Antony kepada gresnews.com ditemui di kantornya, di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (29/7).

Antony mengatakan, sebelumnya dalam surat yang diterima kliennya, pihak sekolah meminta agar Ts mengundurkan diri. Alasannya, SD Budi Luhur tidak lagi memiliki kemampuan untuk mendidik yang bersangkutan di sekolah tersebut,  karena alasan keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM). "Ini memberatkan klien kami. Akibat dari ini, klien kami terganggu dari segi psikis," ujar Antony.

Antony mengaku sebelum adanya permintaan pengunduran dari sekolah,  sejauh ini tidak ada proses musyawarah dengan Tri Rizky selaku ibunda Ts. "Klien kita tidak ceritakan itu, tidak ada upaya selanjutnya," terang Antony.

Selain mengalami kerugian secara psikis, Antony juga mengatakan kliennya juga dirugikan dari segi materi. Penyebabnya selain harus mengeluarkan biaya untuk masuk ke sekolah yang baru, kliennya itu juga sudah membayarkan uang sekolah sekaligus kebutuhan lainnya yang nilainya mencapai Rp9,6 juta.

"Status (Ts) sudah keluar, SPP sudah dibayar, full 1 tahun, biaya ekskul sudah dibayar juga," tuturnya.

Antony tetap menaruh harapan akan ada niat baik SD Budi Luhur untuk melakukan musyawarah demi mencari jalan keluar terbaik. Tujuannya agar kejadian seperti ini tidak lagi muncul di masa mendatang.

"Kita bukan mau anak klien kami sekolah lagi, bukan itu. Kami tidak mau saja ada korban-korban lainnya," kata Antony. Antony pun mengancam,  jika dalam beberapa hari mendatang tidak juga ada tanggapan, pihaknya berencana mengadukan persoalan ini ke Dinas Pendidikan DKI Jakarta atau pun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


ATURAN HUKUM - Antony menilai tindakan sepihak yang dilakukan SD Budi Luhur bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan mengenai pendidikan. Aturan tersebut, secara garis besar dijelaskan bahwa setiap anak berhak mengenyam pendidikan yang layak di Indonesia.

Seperti pasal dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional dan pendidikan sekolah dasar, yaitu untuk mewujudkan suasana belajar dan proses kegiatan pembelajaran dengan tujuan agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang nantinya akan diperlukan oleh dirinya dan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selanjutnya dalam UU Nomor 23/2002 tentang perlindungan anak, Pasal 9 Ayat (1) yang berbunyi, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.


GANGGUAN HIPERAKTIF - Sementara itu, Kepala Sekolah SD Budi Luhur Pondok Aren, Sofiandi, menanggapi tudingan ini, menjelaskan duduk persoalan antara sekolah dan orang tua Ts. Menurutnya, pihak sekolah pada awalnya tidak mau menerbitkan surat permintaan pengunduran diri kepada Ts.

Alasannya, selama ini sekolah yang dipimpinnya belum pernah mengeluarkan surat tersebut. Namun ada permintaan dari orang tua Ts agar menerbitkan surat sebagai tanda anaknya tidak lagi bersekolah di tempatnya.

Pria yang kerap disapa Andi ini menjelaskan, pada awalnya ibu Ts, Tri Rizky, sudah berencana anaknya akan mengundurkan diri dari sekolah tersebut. Penyebabnya, Tri merasa tidak enak hati karena kerap diprotes orang tua murid atas tindakan yang dilakukan Ts.

"Dia sudah gak enak hati, bilang sama saya pengen keluar baik-baik. Lalu saya bilang, oke, kita bicarakan baik-baik," kata Andi dikonfirmasi gresnews.com melalui telepon selulernya.

Tetapi, tiba-tiba saja niat itu berubah, Tri Rizky membatalkan niat dan ingin anaknya tetap bersekolah di SD Budi Luhur. Alasannya, ia mengaku tidak lagi mempunyai biaya untuk memasukkan anaknya di sekolah tingkat internasional yang biayanya puluhan juta. Tri  beralasan tidak ada biaya pindah sekolah karena biayanya puluhan juta. Mereka sebelumnya hendak pindah ke sekolah lebih tinggi, Global atau Mentari.

"Saya bicara, dengan wakil saya untuk menemani bicara dengan ibunda Ts. Karena mereka berubah dan enggak jadi ngundurin diri, saya bilang kita keberatan," tutur Andi.

Menurut Andi, pihaknya kerap menerima protes dari para orang tua murid atas tindakan yang dilakukan Ts di sekolah. "Anak ini (Ts) terbukti secara klinis didiagnosa ADHD. Kami yang meminta diperiksa ke dokter karena tingkah laku anak itu  berbeda. Mudah menendang, memukul tanpa rasa bersalah. Lalu setelah dicek ada diagnosa ADHD, harus ada treatment khusus. Saya panggil psikolog, dan disampaikan boleh keras kepada Ts," imbuhnya.

ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau dalam bahasa Indonesia, ADHD disebut Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). Sebelumnya, pernah ada istilah ADD, kependekan dari Attention Deficit Disorder yang berarti gangguan pemusatan perhatian.

Istilah ADHD memberikan gambaran tentang suatu kondisi medis yang disahkan secara internasional mencakup disfungsi otak. Dimana individu mengalami kesulitan dalam mengendalikan impuls, menghambat perilaku, dan tidak mendukung rentang perhatian atau mudah teralihkan. Jika hal ini terjadi pada seorang anak dapat menyebabkan berbagai kesulitan belajar, kesulitan berperilaku, kesulitan sosial, dan kesulitan-kesulitan lain.

Andi mengaku telah beberapa kali berdialog dengan Tri Rizky mengenai tindakan-tindakan Ts yang dianggap sudah di luar batas. Bahkan, pihak sekolah pernah meminta Ts untuk dimonitor secara khusus oleh orang tuanya. Sebab, tidak mungkin ia meminta seorang pengajar hanya untuk memantau perilaku Ts.

Tetapi, setelah beberapa kali berdialog Ts masih belum juga ada perubahan. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan untuk kepentingan bersama maka dengan berat hati pihak sekolah meminta Ts mengundurkan diri. Apalagi, tindakan TR pernah membuat salah satu tulang rusuk murid lainnya terluka dan lebam.

"Saya berharap Ts bisa mendapat sekolah yang lebih baik. Kami pernah menyarankan untuk home schooling, karena salah satu psikolog sekolah kenal dengan Kak Seto untuk pendidikan home schooling, kita sudah rekomendasikan itu," tutur Andi.

Andi juga menjelaskan bahwa biaya Rp9,6 juta memang telah diterima sekolah dari orang tua Ts. Namun uang sebesar Rp9,6 juta itu digunakan untuk tahun ajaran 2015-2016 yang telah berlalu proses belajarnya. Bukan untuk tahun ajaran baru 2016-2017.

"Sekarang ini sudah ganti tahun ajarannya. Saya sudah tanya bagian keuangan, untuk tahun ajaran ini belum ada pembayaran, dan memang kalau ada untuk tahun ajaran ini pasti kita kembalikan," jelas Andi.

BACA JUGA: