JAKARTA, GRESNEWS.COM - Teror bom di terminal Kampung Melayu membuka mata agar pembahasan revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme segera dirampungkan. Harapannya dengan rampungnya UU Antiterorisme maka teror bom dapat dicegah.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Terorisme Muhammad Syafii mengatakan bahwa ada beberapa kendala teknis sehingga undang-undang ini belum terselesaikan. Kendala pada pembahasannya terus dilaksanakan secara maraton, namun cuma Rabu dan Kamis dalam sepekan. Hari tersebut merupakan hari Panja di luar hari itu tidak ada hari Panja.

Panja DPR dan pemerintah sangat serius namun menerapkan prinsip kehati-hatian dalam membahas revisi UU Antiterorisme. Saat ini menurutnya masih ada beberapa hal yang harus disempurnakan di dalam RUU tersebut, tidak ada perdebatan kontroversial. "Perdebatan tidak ada sudah tinggal mencari penyempurnaan saja, misalnya bagaimana yang lebih baik, bagaimana yang lebih sempurna," ujar Syafii, Minggu (28/5).

Misalnya, soal definisi terorisme yang awalnya menjadi perdebatan kini disepakati untuk ditunda sambil menunggu pasal-pasal lain rampung. Setelah itu baru nanti rumusan definisi terorisme akan disepakati. Tujuan menunda rumusannya lebih dulu supaya tidak tambal sulam. "Ya sudah diselesaikan dulu pasal-pasalnya baru nanti di rumuskan," ujarnya.

Ia menargetkan RUU terorisme ini rampung tahun ini. Menurutnya, pembahasan RUU terorisme ini cukup baik karena hampir selesai dalam setahun. Beberapa RUU ada juga yang hingga 30 tahun belum juga rampung seperti RUU KUHP.

"kita ini baru setahun sudah hampir selesai kan hebat, kita di paripurnakan Februari tahun lalu, baru di susun kepemimpinannya ketua, wakil ketua bulan April, Mei baru pembahasan kan baru setahun," imbuhnya.

ISU KONTROVERSIAL - Sejak dibahas di DPR pada 2016, ada sejumlah pasal dalam RUU Terorisme ini yang menjadi kontroversi. Kontroversi tak hanya di lingkup internal DPR, tapi juga di kalangan masyarakat dan stakeholders terkait.

Pembahasan juga sempat mandek karena pembahasan definisi terorisme sendiri. Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Antiterorisme, Arsul Sani, berkata, untuk definisi ´terorisme´, Panja DPR telah meminta pemerintah merumuskannya. Selain itu, dia berkata ´Pasal Guantanamo´ dan soal pelibatan TNI belum dibahas sampai akhir masa sidang lalu.

"Soal definisi, kami yang di Panja memang sepakat meminta tim pemerintah untuk merumuskannya. Sedang soal pasal ´Guantanamo´ serta peran serta TNI, belum dibahas sampai dengan akhir masa sidang lalu karena masih fokus dengan soal perpanjangan waktu penangkapan dan penahanan," ucap Arsul, Jumat (26/5) malam.

Berikut ini isu-isu RUU Antiterorisme yang menjadi kontroversi:

Definisi Terorisme

Salah satu yang membuat pembahasan RUU Antiterorisme ini tak kunjung selesai ialah soal definisi teroris. Perdebatan terkait dengan makna utuh teroris masih menjadi persoalan sendiri.

Anggota Panja RUU Antiterorisme, Arsul Sani, menyebut DPR telah meminta pemerintah merumuskan definisi tersebut. Perihal definisi terorisme sendiri ada di Pasal 1 UU Terorisme.

"Soal definisi, kami yang di Panja memang sepakat meminta tim pemerintah untuk merumuskannya," kata Arsul saat dihubungi, Jumat (26/5) malam.

Pelibatan TNI

Pelibatan TNI dalam menanggulangi teroris juga menjadi penyebab lamanya perampungan RUU Antiterorisme. Dalam draft revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kewenangan TNI diusulkan pemerintah agar terlibat menanggulangi teroris. Soal kewenangan TNI ini, dalam pembahasannya sempat ada perdebatan, tetapi kini Panja DPR telah menyepakati hal itu.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Terorisme Muhammad Syafii menyebut pembahasan revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya terkendala teknis, tidak ada perdebatan kontroversial. Salah satunya tentang kewenangan melibatkan TNI di RUU terorisme ini.

"Tidak ada juga (hambatan kewenangan TNI), sebenarnya semua sudah sepaham, tinggal bagaimana penempatannya, penempatan pasal-pasalnya itu. Kalau tentang kewenangan TNI tidak ada perdebatan," kata Syafii, Minggu (28/5).

Ia menyebut Panja DPR telah menyetujui TNI ikut dalam menindak teroris dalam tataran yang sesuai dengan pasal yang disusun. Dalam pasal itu, peran TNI dalam menanggulangi terorisme ikut dimasukan.

"Iya (setuju) dalam tataran yang sesuai dengan pasal yang kami susun, memang dimasukan peranan TNI," ujar Syafii.

Poin pelibatan TNI ini tercantum pada draf RUU Antiterorisme yang diusulkan pemerintah pada Pasal 43B yang berbunyi:

Ayat 1
Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme

Ayat 2
Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal ini kemudian mendapat penolakan dari kalangan masyarakat. LSM Koalisi Masyarakat Sipil tidak setuju apabila RUU yang tengah dibahas mengatur pelibatan TNI secara aktif dalam pemberantasan terorisme.

Koalisi yang terdiri dari Imparsial, ICW, Elsam, Kontras, LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, Setara Institut, Lingkar Madani Indonesia, dan lainnya ini menyebut pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dapat diatur dalam undang-undang lain.

"Sebaiknya militer diatur dalam UU perbantuan. Untuk itu, kami berharap DPR membentuk UU perbantuan," ujar perwakilan koalisi, Al Araf, saat menyampaikan aspirasi di Ruang F-Golkar, gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (9/2) lalu.

Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo berkata, jika TNI dilibatkan dalam pemberantasan terorisme secara utuh, itu akan lebih baik. Pemberantasan terorisme akan lebih optimal.

"Saya optimis teroris bisa diatasi apabila undang-undangnya (seperti itu)," ungkap Gatot di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (21/10/2016) lampau.

´Pasal Guantanamo´

Pasal 43A dalam RUU Antiterorisme, yang mengatur masa penahanan seseorang yang diduga terlibat jaringan teroris selama 6 bulan, juga menjadi perdebatan. Pasal ini disebut juga sebagai ´Pasal Guantanamo´.

Disebut ´Pasal Guantanamo´ karena merujuk pada nama penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba, di mana ratusan orang ditangkap dan disembunyikan karena diduga terlibat dalam jaringan teroris. Pasal ini mengatur kewenangan penyidik ataupun penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait dengan kelompok teroris selama 6 bulan.

Pasal itu berbunyi:

Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.

Salah satu pihak yang mempermasalahkan pasal tersebut ialah hakim agung Salman Luthan. Menurutnya, Pasal 43A itu sebaiknya dihapus karena tak relevan dengan kaidah hukum yang ada.

"Pasal 43A ini harusnya dibuang saja karena tidak sesuai dengan kaidah hukum yang adil, yakni terkait penahanan dan penangkapan. Ini tidak relevan," kata Salman di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (13/10/2016) malam. (dtc/mfb)




BACA JUGA: