JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang kasus suap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait reklamasi di Teluk Jakarta dengan terdakwa Mohamad Sanusi terus mengungkit persoalan tambahan kontribusi sebesar 15 persen yang diminta Pemprov DKI Jakarta.

Mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) terpidana 3 tahun penjara dalam kasus ini sempat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi. Dalam keterangannya, Ariesman mengungkap besarnya biaya yang dikeluarkan perusahaannya untuk membayar kontribusi tambahan kepada Pemprov DKI Jakarta.

"Ada tambahan kontribusi dari APL Rp1,6 triliun. Itu di luar kewajiban dan kontribusi 5 persen," ujar Ariesman dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (26/9).

Menurut Ariesman, uang sebesar itu merupakan bagian awal bagian dari tambahan kontribusi untuk dua anak perusahaan milik APL yaitu PT Muara Wisesa Samudra dan PT Jaladri Kartika Ekapakci. Keduanya diketahui mendapat jatah lahan di pulau reklamasi masing-masing di Pulau G seluas 161 ha dan Pulau I sebesar 405 ha.

Saat ditanya secara rinci mengenai pembayaran uang tersebut, ia mengaku tidak mengetahuinya. Menurut Ariesman, uang Rp1,6 triliun merupakan bagian dari tambahan kontribusi yang dibayarkan di muka. Tak hanya itu, ia juga mengaku tidak tahu apakah setelah pembayaran dua anak perusahaan APL itu mendapatkan berbagai izin yang diperlukan.

"Saya tak ingat pastinya. Izin ini izin lama, saya tidak hafal pastinya. Tapi saya pernah dengar dari pendahulu-pendahulu, bahwa ada semacam setoran ke Pemprov DKI," ujar Ariesman.

Ariesman Widjaja dan pegawainya Trinanda Prihantoro telah divonis bersalah menyuap anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Partai Gerindra Mohamad Sanusi sebesar Rp2 miliar agar mengubah pasal yang mengatur kontribusi tambahan dalam Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta (RTRKSP) dari tadinya 5 persen menjadi 15 persen kontribusi.


ALASAN AHOK - Sebelumnya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok saat menjadi saksi untuk Ariesman beberapa waktu lalu memberikan alasan mengapa dirinya bersikeras meminta kontribusi tambahan sebesar 15 persen kepada para pengembang. Ahok mengklaim, angka tersebut didapat setelah meminta saran dari staf ahli.

"Kami ngotot kalau tidak 15 persen tidak mungkin. Dari simulasi hitungan staf saya saja, kalau 15 persen dan langsung terjual pada 2016 dengan NJOP sekarang, kita dapat kontribusi Rp84 triliun yang bisa digunakan untuk membangun 120 ribu rusun unit," kata Ahok.

Kemudian, kalau menjualnya pada 2027 maka nilainya akan berlipat-lipat yaitu menjadi Rp158 triliun dan dana itu bisa digunakan untuk mengatasi persoalan banjir di Jakarta. "itu alasan kenapa eksekutif tidak mau kompromi soal kontribusi tambahan yang menurut kami dasar hukumnya sangat jelas," ujarnya kala itu.

Namun menurut Ahok karena legislatif tidak setuju. Kemudian dirinya mengatakan kepada bawahannya.  Karena ini jelang pilkada, ada potensi DPRD akan jualan pergub (peraturan gubernur), misalnya dengan mendukung siapa saja yang mau menghilangkan 15 persen ini akan kami dukung. Tapi menurut Ahok, pihaknya tidak bicara ke DPRD, hanya ke staf-stafnya bahwa ini ada niat nakal dari pihak tertentu.

"Jadi kalau DPRD memang mau 15 persen diatur di pergub maka saya minta ke bawahan untuk menyiapkan draft pergub mumpung saya jadi gubernur, jadi kalau saya tidak lagi jadi gubernur maka saya akan tuntut orang itu untuk ganti kerugian negara. Tapi begitu saya tawarkan, Taufik (Mohamad Taufik, ketua Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta) berubah pikiran dan malah menulis 5 persen itu," ungkap Ahok.

Maksud Ahok adalah rumusan penjelasan Pasal 110 Ayat (5) huruf c yang semula ´cukup jelas´ menjadi ´tambahan kontribusi adalah kontribusi yang dapat diambil di awal dengan mengkonversi dari kontribusi (yang 5 persen) yang akan diatur dengan perjanjian kerja sama antara gubernur dan pengembang´.

"Bu Tuty (Kepala Bappeda) membawa tulisan draft katanya dari Pak Taufik mengusulkan 15 persen itu dihilangkan menjadi semua kewajiban dan kontribusi yang menambah daratan tadi dia ingin menggunakan 5 persen yang diputuskan dari Bappenas. Jadi harusnya 5 persen tanah pulau ditambah 15 persen NJOP tiba-tiba 15 persen hilang mau ditukar dari tanah kami 5 persen maka saya marah malam itu dan saya bilang ke Bu Tuti ini gila, bisa pidana korupsi, balikin. Saya bilang dia gila kalau dia usulin begitu," jelas Ahok saat memberikan kesaksiannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Dalam beberapa kesempatan Ahok juga mengungkapkan alasan dirinya ngotot menerapkan pengenaan kontribusi tambahan. Bahwa dalam perjanjian antara pengembang dan para pendahulunya (gubernur sebelumnya) telah ada perjanjian untuk menyerahkan kontribusi tambahan itu.

Hanya saja dalam perjanjian itu tidak ditulis besaran dari nilai kontribusi tambahan tersebut. Ia menilai tidak disebutkannya besaran kontribusi tambahan itu berpotensi menjadi lahan korupsi bagi pejabat yang nakal. Untuk itu ia berfikir harus mencantumkan dengan jelas besaran angka kontribusi tambahan yang harus dibayarkan para pengembang reklamasi. Sehingga nantinya bisa dilakukan audit.

Selain itu kontribusi tambahan itu menurut Ahok juga tidak diambil Pemda DKI dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk proyek, seperti pembangunan turap, rumah susun, jalan dan perbaikan irigasi. Dimana penentuan nilai proyeknya ditentukan berdasarkan penilaian  appraisal independen.

Namun belakangan usulan pemberian kontribusi tambahan sebesar 15 persen dalam Raperda justru ditentang DPRD. Diduga ada sejumlah oknum DPRD ingin menjegal usulan tersebut karena berkomplot dengan para pengembang.


LUBANG KORUPSI - Namun sebelumnya Ketua KPK Agus Rahardjo menilai tambahan kontribusi sebesar 15 persen yang diminta Pemprov DKI Jakarta belum mempunyai payung hukum. Oleh karena itu, Pemprov seharusnya tidak boleh sembarangan meminta jumlah itu kepada para pengembang.

Menurut Agus, suatu perjanjian antara pihak pemerintah dengan swasta harus dituangkan secara resmi dalam perjanjian tertulis. "Perjanjian Preman" seperti yang dilakukan Pemprov DKI dengan salah satu pengembang yaitu PT Manggala Kriya Yudha sebenarnya tidak diperbolehkan.

"Kalau dirasakan pengembang menikmati untung terlalu besar dan kompensasi perlu ditambah, harusnya dibuat dulu peraturan daerah (perda). Lah ini, perdanya belum ada, tapi tambahan kompensasi sudah diminta. (Tambahan) itu diwujudkan dalam bentuk jalan, rumah susun dan lain-lain," tutur Agus.

Selain itu, Agus juga mempertanyakan mengenai besaran kontribusi tambahan awal yang dibayarkan para pengembang ternyata tidak dimasukkan ke dalam kas daerah. Padahal, nilai yang diberikan para pengembang dari pembayaran tersebut jumlahnya cukup besar.

KPK kata Agus, saat ini sedang mengkaji dan mendalami berbagai kejanggalan yang ada dalam besaran dan pembayaran kontribusi tambahan itu sendiri. "Pelaksanaan juga off budget lagi. Kemudian tidak tercatat sebagai pemasukan di APBD. Ini memang agak kurang tepat. Ini yang sedang kita dalami," pungkasnya.

BACA JUGA: