JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) mendapat tentangan dari sejumlah kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Namun tak semua kepala daerah menyetujui langkah tersebut bahkan menudingnya ada motif lain dibalik gugatan tersebut, bukan sekadar masalah demokrasi.

Salah satunya Bupati Lampung Timur non aktif Erwin Arifin justru menduga ada motif ekonomi dan politik kekuasaaan dibalik pengajuan judicial review yang dilakukan oleh APKASI dan sejumlah kepala daerah yang mengatasnamakan Kepala Daerah Seluruh Indonesia itu ke MK. Ia menilai sebenarnya tidak ada pemangkasan peran kepala daerah atau bupati dengan berlakunya Undang-Undang Pemda seperti yang dikhawatirkan oleh Kepala Daerah yang mempersoalkan Undang-Undang tersebut.

Menurutnya pemerintah sudah menetapkan kewenangan dan peraturan secara proporsional untuk kepala daerah atau bupati. "Artinya saya setuju-setuju saja dengan UU Pemda yang ada saat ini," kata Erwin Arifin kepada gresnews.com di Gedung MK, Selasa (24/11).

Ia pun membenarkan bahwa kepala daerah atau bupati bertanggung jawab untuk memajukan pembangunan serta mensejahterakan rakyat di daerahnya. Namun, untuk memajukan suatu daerah, politisi PDI Perjuangan itu menyatakan bupati atau kepala daerah tidak harus memiliki kewenangan 100 persen dalam mengelola seluruh potensi yang terdapat di daerahnya. Karena pemerintah pusat juga memilki program-program yang mendukung pembangunan di daerah-daerah.

Pemerintah propinsi dalam UU Pemda memiliki posisi yang sangat jelas yaitu sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Sementara, kementerian dalam konteks ini sebagai pemerintah pusat pun memiliki posisi yang juga jelas dalam menjalankan peran serta kewenangannya.

Calon bupati yang sudah dicoret oleh KPUD Kabupaten Lampung Timur karena ditinggal calon wakilnya meninggal dunia itu juga mengisahkan, beberapa kepala daerah memang merasa keberatan dengan kewenangan yang diatur dalam kepengurusan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang saat ini menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Maklum saja selama ini banyak para bupati maupun kepala daerah lainnya yang mengandalkan "pemasukan" dari usaha-usaha pertambangan.

Menurut Erwin pergeseran kewenangan tersebut bukan bermaksud untuk memangkas kewenangan bupati dalam menjalankan perintah konstitusi dalam menjalankan otonomi daerah. Ia menilai kebijakan itu dilahirkan lantaran pemerintah memiliki niat untuk mengelola potensi kekayaan alam yang dimiliki oleh negara melalui kepanjangan tangannya yaitu pemerintah propinsi.

Lagi pula, lanjut Erwin, kewenangan itu juga tidak ujug-ujug dimiliki oleh pemerintah pusat atau propinsi. Menurutnya, gubernur selaku pimpinan propinsi juga tidak bisa menentukan kebijakan tanpa melibatkan pemerintah kabupaten/kota.

"Untuk mengurusi SDA meskipun kewenangan ada di Gubernur kan juga sebenarnya gubernur tidak bisa melakukan apa-apa tanpa adanya rekomendasi dari bupati. Jadi tidak ada pemangkasan juga sebenarnya" ucap Erwin.

Lebih jauh ia menduga, gugatan yang dilayangkan oleh APKASI dan sejumlah perwakilan kepala daerah itu memiliki kepentingan politik tertentu. Menurutnya, gugatan ini berkaitan dengan sistem pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung. Dimana pemilihan langsung membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit.

"Sekarang ada apa dengan bupati yang ingin kewenangan itu menjadi kewenangan bupati sendiri, kenapa? Karena pemilihan bupati sekarang dipilih secara langsung!" ucapnya.

Kendati demikian, ia mengaku tidak ingin berspekulasi terlalu jauh terkait kepentingan apa dibalik gugatan yang dilakukan oleh APKASI dan sejumlah kepala daerah itu ke MK. "Mungkin saya agak berbeda dengan sebagian bupati yang menginginkan itu hanya menjadi kewenangan bupati saja karena yang membuat itu (ajukan judicial review) kan atas nama sendiri tidak atas persetujuan bupati seluruh Indonesia. Yaa kita tidak tahu apa alasannya, tapi yang jelas ini sarat dengan kepentingan politik," tutupnya.

DIGUGAT KE MK - Sejumlah bupati yang tergabung dalam APKASI serta walikota, mengajukan permohonan pengujian UU Pemda. APKASI yang diwakili kuasa hukumnya Andi Syafrani mempersoalkan ketentuan dalam UU Pemda yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah yang dinilai membatasi kewenangan pemerintah kabupaten/kota dengan cara memperluas campur tangan pemerintah pusat untuk membatalkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kabupaten/kota.

Andi mengatakan ada persoalan relasi yang sangat serius antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam UU Pemda ini. Beleid ini telah menjadi penghalang bagi kepala daerah atau bupati dalam melakukan pembangunan sebagaimana amanah konstitusi terkait dengan otonomi daerah.

"Akhirnya yang terlihat bagi mereka (kepala daerah) sekarang, pimpinan kabupaten/kota atau bupati itu tidak lebih hanya sebatas simbolik saja dengan kewenangan yang dipreteli oleh UU Pemda yang kita uji ini," kata Andi kepada gresnews.com di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (23/11) lalu.

Ia menambahkan, selain UU Pemda itu, kewenangan bupati juga dipreteli dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Sebab, dalam UU ASN menyatakan kewenangan pengaturan PNS saat ini berada ditangan Sekertaris Daerah (Sekda), dan bukan lagi ditangan kepala daerah selaku pimpinan pemerintah daerah setempat.

"Nah, Jadi posisinya kan agak janggal, padahal mereka dipilih secara langsung tapi kewenangannya dipreteli semua oleh UU ini, dan ini tidak baik untuk demokrasi kita," ucap Andi.

Disatu sisi, lanjut Andi, benturan kewenangan juga terjadi dalam sejumlah undang-undang khusus dalam sektor-sektor tertentu. Ia mengisahkan, dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan misalnya, bupati diberikan kewenangan dalam melakukan pembangunan infrastruktur listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerahnya, disatu sisi dalam UU Pemda mengatur kewenangan itu berada di pemerintah propinsi, dalam hal ini gubernur.

"Jelas itu juga menjadi pokok permohonan kita, bahwa undang-undang ini menciptakan ketidakpastian hukum. Sekarang Pasal mana yang mau dipakai? Semuanya spesialis, yang UU Pemda itu spesialis tentang daerahnya. Yang lain juga spesialis tentang bidang-bidangnya," ujarnya.

Selain itu, dalam UU Pemda Pasal 251 ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 8 juga mengatur tentang kewenangan pemerintah pusat melalui menteri, dan gubernur dapat membatalkan peraturan daerah (perda) dan peraturan kepala daerah (perkada).

Menurut Andi dengan berlakunya Pasal 251 UU Pemda itu, pihaknya juga telah mengalami kerugian konstitusional. Sebab, pasal tersebut telah menegasikan arti penting legitimasi dan suara rakyat yang secara langsung memilih kepala daerah dan wakil daerahnya di DPRD secara demokratis melalui pemilihan.

"Ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (6) dan Pasal 28D ayat (1), serta Pasal 28A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 terkait kewenangan mereka mengatur daerahnya masing-masing yang khas dan unik melalui Perda dan Perkada dalam rangka menjalankan prinsip otonomi daerah yang diberikan konstitusi," ucapnya menegaskan.

KEMBALI ZAMAN ORDE BARU – Dalam gugatan yang dilayangkan ke MK, para pemohon menilai bahwa UU Pemda Tahun 2014 ini telah menciptakan situasi orang-orang di daerah hanya menjadi penonton dalam proses pembangunan di daerahnya. Padahal situasi yang paling mengerti dan memahami tentang kebutuhan untuk memajukan daerah adalah orang yang berada di daerah itu sendiri.

"Jadi nanti orang-orang daerah hanya sebagai penonton dalam pembangunan sebagaimana yang pernah terjadi pada masa era Orde Baru (Orba), padahal ini adalah sesuatu yang telah diubah dan diamanatkan oleh perubahan konstitusi yang terakhir,” kata Andi Syafrani menyesalkan.

Adapun pasal-pasal yang dianggap menghilangkan peran Pemerintah Daerah dalam menjalankan otonomi daerah adalah Pasal 9 ayat (1), (2), (3), (4), (5), Pasal 11 ayat (1), (2), (3), Pasal 12 ayat (1), (2), (3), Pasal 13 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 14 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 15 ayat (1), (2), (3), (4), (5), Pasal 16 ayat (1), (2), Pasal 17 ayat (1), (2), (3), Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), 10 (2), Pasal 28 ayat (1), (2), dan Pasal 251 ayat (2), (3), ayat (4).

Menurut para pemohon, sejumlah Pasal yang termaktub dalam UU Pemda tersebut telah menutup ruang bagi terselenggaranya otonomi daerah secara luas, sebagaimana dimaksud oleh konstitusi Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, karena telah membatasi secara rigid dan tegas kewenangan, peran, serta keterlibatan pemerintah daerah dalam mengelola dan memaksimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing.

"Pasal 9 dan seterusnya itu, menurut kami ini adalah bentuk sentralisme kekuasaan pembatasan kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota, serta ini adalah model otonomi fiktif. Jadi tidak ada itu otonomi daerah yang telah diatur oleh konstitusi," tegasnya.

Dengan demikian, ia sangat berharap MK dapat menjadikan semangat pembangunan daerah melalui otonomi daerah seperti yang diamanahkan oleh konstitusi menjadi pertimbangan yang mendasar bagi memutuskan permohonan perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015 ini. Karena, otonomi daerah adalah salah satu amanah reformasi yang juga diatur dalam konstitusi dalam rangka mensejahterakan rakyat dalam pemerataan pembangunan. Sejarah historical berdirinya otonomi daerah dengan berkembangnya demokrasi, termasuk berdirinya Mahkamah Konstitusi yang juga diatur dalam konstitusi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan.

Untuk diketahui, permohonan uji materi UU Pemda ini dilakukan oleh 47 pemohon yang terklasifikasi menjadi beberapa unsur, pertama unsur organisasi ada APKASI, kedua unsur perorangan, yaitu Ibnu Jandi sebagai warga Negara Indonesia, dan unsur pemerintah daerah atau pemerintahan daerah.

Pantauan gresnews.com di lapangan, turut hadir beberapa pimpinan pemerintah daerah sebagai pemohon principal, diantaranya, Bupati Lamandau Ir. Marukan, Walikota Sukabumi Mohamad Muraz, Bupati Lampung Selatan Kherlani, Bupati Tangerang Ahmad Zaki,Bupati Batubara dan Anggota DPRD Kab. Batubara, serta utusan dari beberapa para pemohon yang juga ikut menyaksikan sidang pendahuluan di MK ini. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: