JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung akhirnya mengantongi nilai kerugian dari  kasus restitusi pajak PT Mobile 8 Telecom (kini PT Smartfren).  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengaudit dan menghitung kasus korupsi restitusi ini memperkirakan nilai kerugian negara mencapai Rp86 miliar. Adanya hasil audit ini, penyidik akan mengambil sikap untuk menetapkan tersangkanya.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah sebelumnya menyatakan penyidik telah mengantongi nama-nama calon tersangka dalam kasus ini. Namun siapa tersangka-tersangkanya, kala itu  ia belum bersedia mengungkapnya. Alasannya masih menunggu perhitungan kerugian negara dari BPK. Dengan telah diperolehnya jumlah kerugian negara Kejaksaan mengaku akan segera mengumumkan siapa-siapa tersangkanya.

"Tunggu, Senin (hari ini) saya akan sampaikan (tersangka)," kata Armin dikonfirmasi gresnews.com, Minggu (24/10).

Arminsyah mengatakan, dari bukti dokumen dan keterangan saksi-saksi telah ditemukan benang merah yang mengarah pada siapa orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini. Penyidik Pidana Khusus juga makin percaya diri untuk mengungkap kasus ini hingga tuntas  setelah memeriksa mantan Dirut PT Djaja Komunikasi Nusantara (DNK) Hary Djaja. Hary juga mantan Komisaris PT Bhakti Investama yang merupakan bagian dari MNC Grup. Hary Djaja adalah adik ipar Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo.

Menurut Armin penyidik telah memverifikasi dokumen -dokumen transaksi antara PT DNK dengan PT Mobile 8 Telecom yang dipergunakan sebagai salah satu lampiran-lampiran data dalam pengajuan permohonan kelebihan pembayaran Pajak. Dalam lampiran tersebut terdapat transaksi yang diduga bukan berasal dari PT DNK melainkan oleh PT. Investasi Hasil Sejahtera yang ditandatangani oleh Hary. PT Investasi Hasil Sejahtera juga bagian dari MNC Grup setelah diambilalih pada 2010.

Dalam pemeriksaan sejumlah saksi-saksi juga disebut ada peran Hary Tanoe. Hary diduga memerintahkan Direktur Utama PT Mobile 8, Hidayat Tjandrajaja untuk mengajukan restitusi pajak.

Meskipun Hary Tanoe telah menyangkal kesaksian mantan Direktur Utama PT Mobile 8, Hidayat. Hary Tanoe telah diperiksa dua kali oleh Kejagung, yakni pada  Kamis (17/3) dan kedua, Senin (14/4), di Gedung Bundar. Pada kesempatan itu Hary dan kuasa hukumnya Hotman Paris Hutapea menepis kliennya memerintahkan untuk meminta restitusi pajak.

"Siapa bilang (ada instruksi)? Tidak ada," kata Hary Tanoe beberapa waktu lalu usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung.

Hary mengatakan, persoalan aliran dana perusahaan masuk dalam ranah operasional yang bukan urusannya. "Saya lebih pada arah kebijakan daripada grup itu harus dibawa kemana. Operasional saya tidak terlibat," katanya.

Dalam pemeriksaan itu, Hary Tanoe memang lebih banyak menjawab "tidak tahu" atau "lupa" ketika ditanya mengenai beberapa instruksi, laporan dan petunjuk terkait pencairan dan distribusi uang dalam permohonan restitusi pajak.

HARY TANOE MELAWAN - Hary Tanoe lewat kuasa hukumnya Hotman Paris  menyebut penyidikan kasus restitusi pajak bukanlah ranah Kejagung karena tidak ada unsur korupsi. Hotman mengatakan, Kejagung tak paham UU Pajak karena mengaitkan dua hal yang tidak ada kaitannya. Uang gratifikasi pajak Mobile-8 sebesar Rp10 miliar yang diterima Mobile-8 pada 2009 adalah pengembalian uang pajak terkait dengan kompensasi kerugian pada masa pajak 2004.

Sebaliknya, transaksi penjualan sebesar Rp80 miliar dari Mobile-8 yang dituduhkan oleh Kejagung sebagai fiktif terjadi pada 2007. Ada peningkatan penjualan sebesar Rp80 miliar. Terlepas apakah itu fiktif atau tidak justru menguntungkan negara.

Uang sebesar Rp10 miliar yang diterima Mobile-8 bukanlah kerugian negara dan restitusi bukan disebabkan transaksi penjualan sebesar Rp80 miliar pada 2007. "Jadi tidak ada kerugian negara dan karenanya bukan perkara korupsi dan bukan kewenangan kejaksaan," kata Hotman.

Dalam kasus pajak Mobile-8, negara malah untung sebesar Rp8 miliar dari hasil peningkatan penjualan sebesar Rp80 miliar yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen.

Kenapa timbul restitusi pajak? Hotman menjelaskan pada masa pajak 2004, Mobile-8 rugi. Karena rugi maka pada akhir tahun tidak wajib bayar pajak. Akan tetapi sebelum kerugian dihitung pada akhir tahun, Mobile-8 membayar pajak (prepaid tax), oleh karena itu Mobile-8 berhak meminta kembali uang yang dibayarkan. "Di sini kekeliruan besar dari Kejaksaan Agung yang tidak memahami tentang apa itu restitusi pajak," kata Hotman.

Selain itu, kata Hotman, restitusi pajak sebesar Rp10 miliar telah sesuai dengan ketetapan dari kantor pajak. Ditjen Pajak beberapa kali menegaskan tidak ada pelanggaran pajak atas restitusi pajak Mobile-8. Kalau surat ketetapan itu salah yang harusnya disidik adalah pejabat pajak yang menandatangani SKP tersebut. "Kenapa justru HT yang diburu oknum kejaksaan?" kata Hotman.

Jampidsus Arminsyah menanggapi santai apa yang disampaikan Hotman tersebut. Menurutnya, penyidik memiliki bukti kuat dalam kasus ini terdapat unsur korupsi. Ada rekayasa transaksi fiktif yang dilakukan Mobile-8 dengan PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK) untuk mendapatkan restitusi pajak. "Memang dalam dokumen ada transaksi, semua ada tapi itu fiktif," kata Arminsyah.

Kasus dugaan korupsi ini muncul setelah penyidik Kejagung menemukan adanya transaksi palsu terkait permohonan restitusi pajak antara PT Mobile 8 dengan PT Jaya Nusantara pada periode 2007-2009. Di mana, dalam kurun waktu tersebut, PT Mobile 8 diduga telah memalsukan bukti transaksi dengan PT Jaya Nusantara hingga mencapai Rp 80 miliar.

"PT Jaya Nusantara sebenarnya tidak mampu  membeli barang dan jasa telekomunikasi milik PT Mobile 8. Namun transaksi direkayasa, seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya," ujar ketua tim penyidik perkara tersebut, Ali Nurudin, 21 Oktober 2015 silam.

Temuan transaksi palsu diperkuat keterangan saksi dari Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK), Ellyana Djaja. Ellyana Djaya mengatakan ada traksaksi senilai Rp80 miliar yang merupakan hasil manipulasi untuk menyiasati seolah-olah ada transaksi sejumlah itu.

Bulan Desember 2007, PT Mobile-8 Telecom dua kali mentransfer uang, masing-masing sejumlah Rp50 miliar dan Rp30 miliar. Untuk menyiasati agar seolah-olah terjadi jual-beli, maka dibuat invoice atau faktur yang sebelumnya dibuat purchase order.

Setahun kemudian, yakni 2008, PT DNK, menerima faktur pajak dari PT Mobile8 Telecom yang total nilainya Rp114.986.400.000. Padahal, PT DNK tidak pernah melakukan pembelian dan pembayaran, serta menerima barang.

BACA JUGA: