JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tertangkap tangannya hakim konstitusi Patrialis Akbar dengan dugaan menerima suap terkait perkara gugatan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, memang praktis membuat Mahkamah Konstitusi pincang. Kondisi ini dinilai sangat memprihatinkan lantaran sebentar lagi pemilihan kepala daerah serentak 2017 akan berlangsung.

Pincangnya MK dikhawatirkan akan berdampak pada kinerja MK dalam menangani sengketa pilkada 2017. Bukan semata pada soal teknis penyelesaian perkara, namun kasus Patrialis membuat banyak pihak mempertanyakan bagaimana integritas hakim-hakim MK nanti dalam menghadapi gugatan sengketa pilkada.

"Padahal sudah pasti, mengingat kasus Akil Mochtar, godaan selama menangani kasus perselisihan hasil pilkada 2017 akan lebih besar daripada sekadar kasus mengamankan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945," kata Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Andrian Habibi, kepada gresnews.com, Kamis (2/2).
 .
Kondisi ini, menurut Habibi sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang revisi kedua Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, MK menjadi pihak yang berwenang menangani sengketa pilkada. "Sungguh MK harus belajar untuk keduali. Sebelum PA, sudah ada Akil Mochtar sebagai pembuka pintu busuk masuknya godaan bagi pejabat negara berstatus Hakim MK," ujar Habibi.

Karena itu, kata Habibi, MK wajib memberikan kepastian untuk siap dan sanggup menjalankan amanah dalam PHPkada 2017. MK secara keseluruhan wajib mengungkapkan dengan sungguh-sungguh untuk tetap adil dalam mengambil keputusan.

"Bila ada yang tergoda layaknya Akil Muchtar dan Patrialis Akbar, maka siap menerima hukuman dan bila perlu meminta kepada pengadilan tipikor untuk menjatuhkan vonis terberat," tegasnya.

Selain itu, kata Habibi, dalam mengambil keputusan membutuhkan komposisi ideal berjumlah 9 (sembilan) orang Hakim MK. Karena itu, KIPP meminta Mahkamah Kehormatan dan Dewan Etik MK bekerja secepat mungkin untuk memilih pengganti Patrialis Akbar. "Hal ini demi menjamin tingkat kepercayaan publik bahwa MK siap untuk menjaga dan mengawal konstitusi Indonesia," tegasnya.

Habibi juga mengingatkan, Patrialis Akbar menjabat sebagai Hakim MK melalui usulan pemerintah. Dengan demikian, pemerintah wajib secepatnya melakukan tahapan seleksi untuk menentukan pengganti kekosongan satu Hakim MK.

"Tentu saja, ketergesa-gesaan tidak harus dengan memilih tanpa kehati-hatian. Jangan sampai Hakim MK sebagai bentuk ´terima kasih´ atas jasa seseorang dalam persoalam pemilihan presiden," pungkasnya.

MK memang bakal dihadapkan pada ratusan kasus sengketa pilkada dalam Pilkada Serentak 2017 yang akan berlangsung di 101 daerah ini. Sebagai perbandingan, padal POlkada Serentak 2015, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, terdapat 150 gugatan yang dilayangkan di sepanjang tahun 2016 lalu. Padahal, UU MK sudah memberikan pengaturan yang ketat terkait masalah sengketa hasil bisa yang bisa diserahkan ke MK.

Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, apapun hasil pemeriksaan Mahkamah Kehormatan MK kelak, kasus Patrialis tidak mengganggu kinerja MK dalam memeriksa dan memutus perkara Pilkada 2017. Menurutnya, andai hingga pelaksaan Pilkada presiden belum mengisi kekosongan yang ditinggalkan Patrialis, maka MK terpaksa harus bersidang hanya dengan delapan orang hakim konstitusi.

Meski hakim berjumlah genap, yakni delapan orang, Arief menyebut hal itu tidak menyalahi undang-undang. Secara teknis, menurutnya, akan ada proses tersendiri yang bisa dilakukan para hakim agar putusan yang diambil tetap sah.

"Bisa ada proses tersendiri. Bisa saja ketua nanti diatur, kalau imbang yang menentukan ketua ikut di mana, ya itu bisa saja. Nanti itu RPH (rapat pleno hakim-red) yang memutuskan, jadi tidak ada masalah saya kira," kata Arief.

HATI-HATI CARI PENGGANTI - Sementara itu, mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Harjono meminta, belajar dari kasus Akil dan Patrialis, pemerintah harus berhati-hati dalam memilih hakim konstitusi pengganti Patrialis Akbar. Saat ini, kata Harjono, memang tak ada lagi larangan sosok berlatar belakang partai politik untuk menduduki kursi hakim konstitusi.

Namun, setelah kasus Patrialis Akbar mencuat, MK jadi punya catatan pengalaman buruk kedua setelah Akil Mochtar, yang juga berkasus. "Sekarang pengalaman kedua, Pak Patrialis. Ini memang menjadi satu catatan. Apa yang diduga dulu kok terjadi juga," kata Harjono di Kantor Kepresidenan, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (1/2).

Yang dia maksud dengan dugaan terdahulu adalah soal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu ´penyelamatan MK´. UU itu mengatur agar seseorang yang menjadi hakim MK harus lepas dari parpol minimal setelah 7 tahun. Kini UU itu telah dibatalkan MK sendiri.

"Itu dulu kan saat Pak SBY (presiden ke-6) membuat putusan, kualifikasi itu kan agar tidak dari kalangan parpol. Itu karena Pak Akil dulu dari parpol," kata Harjono.

Akil adalah sosok yang pernah menjadi kader Partai Golkar. Adapun Patrialis adalah nama yang pernah menjadi kader PAN. Harjono menjelaskan, UU Nomor 4 Tahun 2014 itu dibatalkan karena pertimbangan bahwa tak semua orang parpol itu jelek.

"Bahwa itu (orang parpol itu jelek) stigma saja. Masak karena orang parpol maka jelek? Dan itu ada masalah diskriminasinya. Oleh karena itu, (UU itu) dinyatakan batal," kata Harjono menceritakan soal pembatalan UU itu beberapa tahun lalu.

Patrialis sendiri, menurut Harjono, punya dua beban. Pertama beban dari parpolnya. Apalagi di masa lalu, Patrialis juga terlibat pembahasan amendeman UUD 1945 yang memasukkan adanya MK bersama-sama dengan Hamdan Zoelva dan Harjono sendiri. Beban kedua, dia adalah sosok yang ditunjuk oleh Presiden untuk menjadi hakim MK.

"Jadi ini ada beban-beban yang harusnya dipertimbangkan. Saya tidak salahkan siapa saja. ´In reality´ itu ada di Pak Patrialis semua," kata mantan anggota Utusan Daerah di MPR yang kemudian dulu bergabung dengan Fraksi PDIP ini.

Harjono menegaskan, dia mendukung Jokowi dalam merekrut hakim MK secara transparan. Namun sistem perekrutan tak perlu diubah, cukup praktiknya saja yang diperbaiki. "Ya harus terbuka. Pak Presiden kan sudah mengatakan akan dilakukan secara transparan," kata Harjono.

Soal perlu atau tidaknya Presiden Jokowi menerbitkan perpu penyelamatan MK, serupa dengan yang dilakukan SBY pascakasus Akil, Harjono menyerahkan itu kepada Presiden. Soalnya, keputusan demikian adalah subjektif tergantung Presiden. "Kembali lagi kepada Presiden, apakah ini dianggap sesuatu hal yang harus dianggap perlu membuat perpu," kata Harjono.

SESUAI PROSEDUR - Sementara itu, terkait kasus Patrialis sendiri, Hakim Mahkamah Konstitusi Manahan Sitompul mengaku tidak tahu bocornya putusan uji materi MK ke masyarakat. Sebagai hakim drafter dirinya telah bekerja sesuai prosedur.

"Kita kan kerja sudah ada apa namanya itu, sudah ada SOP-nya, istilahnya itu. itulah yang kita ikuti. Begitu," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul usai pemeriksaan sidang MKMK di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (1/2).

Manahan mengatakan dirinya diperiksa oleh MKMK karena bertugas sebagai hakim drafter. Dan setelah menyusun putusan uji materi yang sudah final diserahkan ke panitera. "Setelah tugas saya membuat draft itu itu setelah diserahkan kepada panitera tidak akan kembali lagi ke saya jadi Selanjutnya saya itu enggak tahu," imbuhnya.

Manahan juga menampik kalau draft putusan tersebut diserahkan ke Patrialis. Bahkan sekalipun mantan Menkumh HAM itu meminta tidak mungkin diberikan. "Tidak ada. Tidak ada sama sekali kepada saya dia minta draftnya putusannya, itu nggak ada dimintanya sama sekali dengan saya," bebernya.

Terkait bocornya draf putusan, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Sukma Violeta mengaku belum menemukan benang merah keterkaitan draf putusan MK yang bocor terhadap saksi dalam OTT Patrialis Akbar. Oleh karena itu pihaknya belum dapat menentukan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Patrialis.

"Masih dalam melihat proses pemeriksaan benang merah keterangan saksi kami dengar," ujar Ketua Majelis MKMK, Sukma usai persidangan MKMK dengan agenda pemeriksaan saksi di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakpus, Rabu (1/2).

"Semua bukti terkait," tambah Sukma terhadap hasil pemeriksaan saksi dalam sidang MKMK.

Sukma mengatakan dalam pemeriksaan saksi di sidang MKMK, belum dapat menemukan pelangaran etik yang dilakukan oleh Patrialis. Oleh karena itu pihaknya masih membutuhkan keterangan saksi-saksi lainnya.

"Bisa saja tindakan membocorkan putusan, itu akan didalami. Apakah hal tersebut dilakukan hakim terduga atau ada tindakan lain. Pada saat ini kami akan mendengarkan keterangan saksi dan kategorisasi pelanggaran sehingga terus berkembang selain bukti-bukti," ujarnya Sukma.

Sementara Sekretaris MKMK, Anwar Usman mengatakan dengan dilakukan pemeriksaan secara estafet terkait pemeriksaan etik Patrialis. Pihaknya berharap MKMK dapat segera memutuskan rekomendasi sanksi terhadap mantan Menkum HAM itu. "Insya allah (dalam dua minggu), yang bisa buat ini lebih cepat karena beliau sudah menyatakan mundur," ungkap Anwar. (dtc)

BACA JUGA: