JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung melakukan penyerahan tiga tersangka dan barang bukti (tahap dua) kepada Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat atas perkara dugaan korupsi pengadaan rompi, topi, tas dan ATK petugas Daerah (INDA) dan Panitia Sensus Ekonomi 2016 Badan Pusat Statistik (BPS). Kasus pengadaan barang dan jasa yang merugikan negara hingga Rp10 miliar ini akan dibawa pengadilan untuk disidangkan. Sayangnya pihak yang diduga menjadi aktor utama kasus ini belum terungkap.

Ketiga tersangka itu adalah Lukcy ‎Permana selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di BPS, ‎Birman Warganegara (BW) selaku Direktur PT Pyramida Karya Mandiri dan Pantun Banjar Nahor selaku Dirut CV Elya Berkat. Ketiganya dilakukan penahanan oleh Penuntut Umum pada tahap penuntutan di Rumah Tahanan Negara Kelas I Cipinang selama 20 (dua puluh) hari terhitung mulai tanggal 17 Januari 2017 sampai dengan 5 Februari 2017.

"Kami lakukan tahap dua kasus BPS, satu perkara korupsi selesai disidik dibawa ke pengadilan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum, Kamis  (19/1).

Rum mengatakan untuk menguatkan bukti-bukti keterlibatann tersangka, penyidik telah memeriksa 29 saksi. Dalam kasus ini ditemukan sejumlah bukti perbuatan melawan hukum. Di antaranya pengaturan pemenang lelang. PT Pyramida Karya Mandiri yang dinyatakan menang sejak awal telah masuk daftar blacklist menang pada lelang kedua. PT Pyramida telah memalsukan dokumen. Namun akhirnya rekanan ini menang paket pengadaan tas dan Alat Tulis Kantor (ATK) senilai Rp27 miliar.

Awalnya panitia membuka lelang dengan memasang nilai paket atau harga perkiraan sendiri (HPS) sebesar Rp81 miliar lebih. Dan panitia telah menetapkan pemenang lelang yakni PT CBJ dengan harga penawaran Rp68 miliar lebih, meskipun ada penawaran terendah yakni PT PKM senilai Rp 52 milliar lebih. PT PKM tidak menang karena pokja menemukan bukti adanya pemalsuan kwitansi kepemilikan mesin.

Pada lelang kedua atau pada saat proyek dipecah, ternyata paket-paket tas dan ATK dimenangkan oleh PT PKM senilai Rp27 miliar lebih. Sedangkan pengadaan proyek rompi dan topi dimenangkan oleh CV EB senilai Rp 26 miliar lebih.

PT PKM bukan kali ini saja tersandung kasus korupsi. Pada 2013 silam Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dit Tipikor) Bareskrim Mabes Polri mengusut dugaan korupsi dalam proyek pengadaan Rompi, Topi Petugas dan Instruktur Daerah untuk Sensus Tahun 2013 pada Badan Pusat Statistik (BPS). Proyek yang dimenangkan PT Pyramida Karya Mandiri dengan kontrak Rp20,8 miliar tersebut diduga kuat sarat muatan korupsi. Selain itu, proses tender sejak awal ditengarai sudah bermasalah, karena dilakukan dengan praktik persekongkolan.

Salah satu penyimpangan yang akan mengakibatkan kerugian negara dalam pengadaan rompi dan topi tersebut adalah manipulasi jenis dan mutu bahan yang digunakan. Dalam pelaksanaannya, PT Pyramida Karya Mandiri diduga kuat menggunakan bahan kain ‘abal-abal’ dengan harga miring.

"Dalam pemeriksaan saksi terakhir bernama Wilson Tambunan yang menjadi pemodal untuk PT. Piramida Karya Mandiri menyatakan jika Birman Warganegara selaku Direktur Utama PT. Piramida Karya Mandiri sama sekali tidak mempunyai modal sumber daya manusia dan fasilitas untuk mengadakan tas dan ATK di Badan Pusat Statistik Tahun Anggaran 2015," tandas Rum.
BELUM SERET AKTOR UTAMA - Penuntasan perkara korupsi oleh Kejaksaan Agung patut diapresiasi. Hanya saja, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia meminta penyidik jangan melakukan tebang pilih. Siapapun yang diduga terlibat tim penyidik wajib menetapkan tersangka.

Dalam kasus pengadaan barang dan jasa di BPS ini diduga belum sentuh aktor utamanya. Mereka yang telah tersangka dan siap diadili hanya pion. "Pasti ada lagi di atasnya, sekelas pejabat pembuat komitmen (PPK) hanya bawahan yang melaksanakan perintah," kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.

Terlebih sebelumnya muncul tudingan jika penetapan tersangka bentuk kriminalisasi. Sebab saat penetapan tersangka belum ditemukan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut.

Seperti diketahui PPK dalam dunia pengadaan barang dan jasa adalah pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran sebagai pemilik pekerjaan, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang dan Jasa (Pasal 1 angka 7 Perpres No.4 Tahun 2015). Sehingga PPK bertanggung jawab secara administrasi, teknis dan finansial terhadap pengadaan barang dan jasa.

Dengan demikian PPK mewakili SKPD-nya dalam membuat perikatan atau perjanjian dengan pihak lain, tanpa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berarti instansi tersebut tidak bisa melakukan perjanjian dengan pihak lain. Berhasil dan tidaknya proses suatu pengadaan barang dan jasa pada satu instansi tergantung pada Pejabat Pembuat Komitmen.

Ini berarti bahwa tugas pokok Pejabat Pembuat Komitmen berkaitan erat dengan penggunaan anggaran negara atau pengelolaan keuangan, karena itu dalam pelaksanaannya menuntut suatu keahlian dan ketelitian serta tanggung jawab yang berbeda dengan tugas pokok seorang pegawai administrasi lainnya. Kesalahan dalam pelaksanaan tugas PPK akan berakibat timbulnya kerugian negara yang berujung pada tuntutan ganti rugi atau tuntutan lainnya.

Dalam Perpres 54 Tahun 2010 disebutkan bahwa untuk Peningkatan kualitas pelayanan publik yang menekankan prinsip good governance and clean government, perlu didukung dengan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Untuk meningkatkan efisien dan efektifitas penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses pengadaan/jasa pemerintah, diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabel serta prinsip persaingan yang sehat dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai oleh APBN/APBD, sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung jawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dalam pelayanan masyarakat.

Banyak anggapan jabatan PPK merupakan "lahan basah", karena ‘memakmurkan’ orang yang menjabatnya. Sehingga banyak pejabat struktural kadang berlomba-lomba untuk menjadi PPK. Tetapi di era reformasi saat ini, jabatan PPK menjadi momok bagi birokrat. Alasannya tidak lain karena PPK sangat rentan dengan masalah hukum, terkait dengan pelaksanaan kontrak.

Tugas lainnya dari PPK adalah menyusun HPS. PPK menyusun HPS yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan dan riwayat HPS harus didokumentasi oleh PPK secara baik.

Dalam banyak kasus, yang paling sering terjadi, entah sengaja atau karena ketidaktahuan, PPK menyerahkan perhitungan HPS kepada penyedia barang/jasa atau malah kepada broker yang melipatgandakan harga tersebut untuk memperoleh keuntungan. PPK langsung mengambil harga tersebut tanpa melakukan cek and recheck lagi. Akibatnya pada saat pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksanaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau aparat hukum lainnya, ditemukan mark up harga dan mengakibatkan kerugian negara.
 

BACA JUGA: