JAKARTA, GRESNEWS.COM – Ada sisi menarik dari kasus pembunuhan bocah berusia 8 tahun Angeline Margriet Megawe yang sepertinya luput dari perhatian publik. Sisi menarik itu adalah masalah warisan yang diduga sebagai motif sang ibu angkat Angeline, Margriet untuk membunuh gadis kecil itu.

Dugaan itu terkuak dari adanya dokumen perjanjian adopsi yang dibuat pada 24 Mei 2007 silam. Pasal 2 dokumen perjanjian adopsi Angeline yang disahkan notaris Anneke Wibowo menyebutkan: "Pihak kedua (Margriet) akan dianggap menjadi ahli waris dari anak yang diangkat tersebut, bila anak tersebut meninggal dunia tanpa meninggalkan surat wasiat," tulis dokumen tersebut.

Yang jadi soal dalam kasus pembunuhan Angeline ini bukanlah masalah warisan itu sendiri, tetapi soal status ibu angkat Angeline yang merupakan seorang WNI yang menikah dengan warga negara asing bernama Douglas. Douglas menikah dengan Margriet Christina Megawe dan bekerja pada bidang sistem seismik dan eksplorasi minyak. Pasangan tersebut diketahui memiliki sejumlah properti di Bali.

Salah satu harta Douglas berdasarkan keterangan dari Kepala Dinas Desa Canggu, Putu Siarta, adalah Villa di Jalan Raya Babakan Desa Canggu, Kabupaten Badung, Bali yang diperkirakan luasnya mencapai 100 meter persegi. Selebihnya kepolisian masih menelusuri harta Douglas yang bisa jadi ada kaitannya antara harta tersebut dengan kemungkinan motif pembunuhan karena persoalan warisan.

Di sinilah timbul pertanyaan mendasar terkait hak Douglas selaku warga negara asing untuk bisa memiliki properti dan tanah yang sebenarnya dilarang dalam hukum Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria mengatur larangan kepemilikan tanah dan hak guna bangunan oleh warga negara asing. Dan sepanjang yang diketahui hingga kini, Douglas hingga wafatnya tak pernah mengubah status kewarganegaraannya menjadi warga negara Indonesia.

Pasal 21 Ayat (1) UU Agraria berisi ketentuan hanya warga negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hak milik. Pasal 21 Ayat (3) UU Pokok Agraria berisi aturan bagi orang asing yang setelah UU ini disahkan mendapatkan hak milik karena warisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan dan bagi WNI yang mempunyai hak milik tapi kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut.

Jika dalam waktu satu tahun maka hak tersebut terhapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara dengan hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Lalu Pasal 36 Ayat (1) UU Pokok Agraria mengatur pihak yang mempunyai hak guna bangunan yaitu WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Pasal-pasal di atas jelas melarang adanya kepemilikan baik dalam status hak milik dan hak guna bangunan bagi warga negara asing. Nasib Margriet yang masih bisa menguasai harta milik Douglas setelah suaminya meninggal menjadi berbeda 180 derajat dengan nasib yang dialami Ike Farida, seorang WNI yang menikah dengan WN Jepang. Karena status pernikahannya, hak Ike terhalang oleh pasal-pasal di atas untuk membeli rumah susun (rusun) yang diidamkannya.

Karenanya dia menggugat pasal-pasal tersebut plus pasal dalam UU Perkawinan. Ike menikah pada Agustus 1995. Pasca menikah, Ike sama sekali tidak melepas kewarganegaraan Indonesianya dan tetap menetap di Indonesia. Pada 26 Mei 2012, Ike pun membeli rusun. Setelah ia membayar lunas, ternyata rusun tersebut tidak juga diserahkan padanya. Pengembang rusun malah membatalkan secara sepihak pembelian rusun tersebut.

Pengembang melakukan pembatalan dengan alasan suami Ike adalah warga negara asing dan mereka dituding tidak memiliki perjanjian perkawinan. Alasan tersebut tercantum dalam surat pembatalan pengembang pada Oktober 2014. Pengembang menggunakan Pasal 36 Ayat (1) UU Pokok Agraria soal hak guna bangunan.

Pengembang juga menggunakan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 35 Ayat (1) UU Perkawinan mengatur soal harta bersama. Menurut pengembang, pasal tersebut berisi ketentuan perempuan yang menikah dengan warga negara asing dilarang membeli tanah atau bangunan dengan status hak guna bangunan. Atas dasar pasal-pasal tersebut, pengembang membatalkan perjanjian lantaran khawatir akan melanggar pasal di atas.

Dalil pengembang ini pun dikuatkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim). PN Jaktim telah menetapkan hak Ike musnah karena Pasal 36 Ayat (1) UU Pokok Agraria dan Pasal 35 Ayat (1) UU Perkawinan. Merasa dirugikan atas pasal-pasal ini sehingga tak bisa memiliki tanah akibat kawin campur, Ike pun mengajukan gugatan uji materi atas pasal-pasal ini ke Mahkamah Konstitusi.

Ia merasa dirugikan atas sejumlah pasal tersebut lantaran mengakibatkan dirinya tidak akan pernah mempunyai hak milik dan hak guna bangunan seumur hidup karena bersuaminkan orang asing. Akibatnya ia merasa haknya sebagai warga negara Indonesia didiskriminasikan.

Menurutnya setiap warga Indonesia seharusnya memiliki hak yang sama seperti dijamin dalam pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 bahwa tap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga Ike merasa seharusnya ia tetap mempunyai hak milik tanah dan hak guna bangunan.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya, mengapa penerapan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan dalam kedua kasus itu bisa berbeda? Ike dan Margriet sama-sama menikah dengan warga negara asing. Berdasarkan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, keduanya jelas dilarang memiliki properti dan tanah. Namun mengapa Ike terkena dampak UU tersebut sementara Margriet tidak?

"OrangDalam banyak kasus, penerapan aturan dalam UU tersebut juga terkesan diskriminatif karena tanpa diketahui, sebenarnya banyak warga negara asing yang bisa memiliki tanah dan bangunan di Indonesia lewat perkawinan campuran. Kasus Margriet bisa menjadi salah satu contohnya.

Terkait hal ini, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, data langsung yang menunjukkan warga negara asing memiliki hak atas tanah dan hak guna bangunan di Indonesia bisa dipastikan tidak ada. Alasannya semua yang memiliki hak milik dan hak guna bangunan pasti menggunakan data warga negara Indonesia.

"Karena tidak boleh ada warga negara asing mempunyai hak milik dan hak guna bangunan di Indonesia. Warga negara asing melakukan penyelundupan hukum biasanya dengan menggunakan nama pembantunya atau nama orang lain yang berwarganegara Indonesia. Sehingga data tidak ada. Tapi fenomena di Kemang, Bali, Lombok, dan Jepara itu banyak sekali kita lihat orang-orang asing tidak hanya mempunyai rumah bahkan punya vila, hotel, dan unit-unit usaha. Tapi atas nama orang lokal," ujar Iwan saat dihubungi Gresnews.com, Kamis (18/6).

Ia menjelaskan, penyelundupan hukum atas hak milik dan hak guna tersebut juga bisa terjadi dengan jalan perkawinan. Iwan mencontohkan jika seorang warga negara Indonesia menikah dengan warga negara asing maka rumah yang mereka beli bisa menjadi harta bersama. Lalu ketika mereka bercerai, maka harta tersebut harus dibagi.

Dihubungkan dengan kasus yang dialami Douglas dan Margriet, menurutnya pasangan tersebut memang seharusnya tidak diperbolehkan memiliki tanah atau properti lainnya. Kalaupun bukan atas nama mereka, maka ada kemungkinan hak milik tanah tersebut memiliki nomini atau diatasnamakan dengan perjanjian. Menurutnya pengatasnamaan tersebut harus segera diselesaikan.

"Misalnya ada perjanjian seseorang yang memiliki tanah dan bangunan hanya atas nama saja, tetapi sesungguhnya ada orang lain yang memilikinya dan membayar tanah tersebut. Itu namanya nomini, mengatasnamakan orang. Lalu apakah itu bisa diwariskan ke orang asing? Ya tidak bisa," ujar Iwan.

Menurutnya, kalau ada orang asing yang ingin memiliki hak atas tanah dengan mengakali hukum maka sesungguhnya yang akan rugi adalah warga negara asing bersangkutan. Sebab tanah yang diatasmakan tidak bisa diwariskan atau tidak bisa langsung dijualbelikan atas nama warga negara asing tersebut.

Ketika akan diwariskan atau dijualbelikan, nomini atau pemilik atas nama mau tidak mau harus selalu diikutkan dalam tiap proses. Ia mengatakan secara hukum keperdataan nomini yang berhak mendapatkan harta atau hak milik secara keseluruhan.

"Kalau ada perjanjian lain dan yang diatasnamakan jujur maka nggak akan melakukan perlawanan lantaran hanya atas nama. Tapi bagaimana kalau warga negara asing tersebut bertemu dengan orang jahat atau jika 10 tahun lagi orang berubah pikiran? Jadi yang rugi orang asing itu sendiri sebenarnya," katanya.

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ahmad Riza Patria mengatakan hingga kini DPR juga belum memiliki data soal berapa banyak warga negara asing yang memiliki hak atas tanah dan hak guna bangunan di Indonesia. Menurutnya memang sejauh ini tidak ada yang memiliki data tersebut. Sebab warga negara asing biasanya menggunakan nama istri untuk mempunyai hak milik tanah atau hak guna bangunan.

"Tapi aturan yang ada, warga negara asing tidak boleh mempunyai hak milik. Jadi hanya hak pakai," ujar Riza saat dihubungi Gresnews.com pada kesempatan terpisah, Kamis (18/6).

Riza mengatakan komisi II DPR sebelumnya memang sempat didatangi istri-istri yang memiliki suami berkewarganegaraan asing. Para istri tersebut meminta agar mereka bisa mempunyai hak milik untuk rumah. Sebab hingga kini karena aturan yang ada, mereka tidak bisa mempunyai hak milik.

Terkait dengan harta kekayaan yang dimilik Douglas dalam kasus Angeline, ia mengatakan hingga kini masih belum diketahui bentuk harta tersebut berupa tanah, rumah, uang atau logam mulia. Menurutnya kalau harta tersebut berupa tanah maka memang akan menjadi masalah lantaran orang asing memiliki tanah.

"Tapi kalau hanya uang atau logam mulia maka hal tersebut dimungkinkan dan menjadi hak bagi anaknya," ujarnya.

Menyangkut persoalan kepemilikan tanah oleh warga negara asing tersebut, kini DPR sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang mengatur sejauh mana sebuah tanah bisa dimiliki orang asing atau perkawinan campur.

"Mungkin sampai batas-batas yang sedikit, sejauh itu hak milik atas rumah tinggal bisa saja diberikan, tapi tidak untuk investasi atau bisnis. Itu yang akan nanti kita rumuskan. Bisa saja atas nama istri atau atas nama suami hanya sebatas rumah tinggal dan sebatas berapa ratus meter," ujar Riza.

Saat ditanya soal kemungkinan kepemilikan tanah oleh asing akan lebih banyak jika ada aturan dalam RUU Pertanahan, ia menyangkalnya. Menurutnya, jumlah orang asing tidak terlalu banyak dan memang perlu dibatasi soal luas kepemilikan rumah tinggal tersebut.

Menyambung hal ini, menurut Iwan, konstitusi dan UU Pokok Agraria sudah jelas melarang warga negara asing memiliki tanah di Indonesia. Pihak asing yang ingin memiliki tanah dimungkinkan melalui badan usaha atau badan hukum yang didaftarkan di Indonesia.

Sehingga yang bersangkutan bisa memiliki hak guna usaha untuk pertanian, perkebunan, tambak, atau saham di dunia properti. Lalu warga negara asing sebenarnya punya hak untuk satuan rusun atau apartemen dengan persyaratan tertentu sesuai dengan undang-undang Satuan Rumah Susun.

Berbeda dengan hak milik atas tanah, menurutnya kalau warga negara asing diperbolehkan memiliki tanah maka bisa dianggap bertentangan dengan konstitusi. Sebab kepemilikan tanah oleh asing akan menimbulkan permasalahan agrarian menjadi lebih pelik.

Ia mencontohkan kalau pemerintah membutuhkan tanah untuk kepemilikan umum dan tanah tersebut dimiliki asing yang secara politik negaranya lebih kuat dari Indonesia maka bisa jadi masalah hubugan diplomatik. Sehingga memang banyak negara lazim membuat aturan bahwa hak milik atas tanah, tidak boleh diberikan pada warga negara asing. Kalaupun ada hak, maka haknya lebih rendah dari hak milik misalnya hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. "Kalau rumah maka bukan rumah yang ada tapaknya di atas tanah," lanjutnya.

Terkait kasus Angeline sendiri, Hotma Sitompoel, pengacara tersangka Margriet angkat bicara soal tudingan ke kliennya. Menurut Hotma, isu warisan yang selama ini digembar-gemborkan hanya isapan jempol belaka. Isu warisan di kasus Angeline hanya mengada-ada. "Nggak ada isu warisan," jelas Hotma, Kamis (18/6).

"Memang Angeline dapat warisan darimana? Kalau Ibu Margriet meninggal baru dapat warisan," jelas Hotma lagi.

Hotma juga menepis ada surat wasiat dari suami Margriet, Douglas yang juga ayah angkat Angeline. Tidak pernah ada surat wasiat seperti itu.

Hotma menegaskan, isu soal warisan ini karena ada tulisan di akta adopsi. Di sana tertulis kalau Angeline meninggal maka seluruh harta diwariskan ke Margriet. "Angeline masih kecil, pertanyaannya harta warisan dari mana? Nggak ada itu. Saya akan tuntut yang bicara dan menuding soal warisan, saya inventaris ini," tutup dia. (dtc)

BACA JUGA: