JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemberitaan media massa kembali menjadi objek pelaporan ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Bakal calon Walikota Bandar Lampung Maruly Hendra Utama mendadak melaporkan redaksi Majalah Tempo atas pemberitaan yang dimuat pada edisi 13-19 Juli 2015.

Pemberitaan berjudul Kriminalisasi KPK yang dimuat di halaman 20-31 ini dituding menyebarkan fitnah dan jauh dari kebenaran. Maruly menganggap pemberitaan ini menurunkan elektabilitas PDI Perjuangan karena seakan tidak pro pemberantasan korupsi. Hal itu dinilai merugikan dirinya sebagai satu-satunya calon yang di usung PDIP. Maruly sendiri memang diusung oleh partai berlambang Banteng ini.

Namun Maruly sendiri tak bisa menunjukkan jika elektabilitasnya menurun akibat pemberitaan tersebut. Namun, menurutnya, pemberitaan tersebut setidaknya telah merugikan partainya. Dosen di Universitas Lampung ini menuding berita di majalah Tempo tersebut isinya penafsiran semua dan merugikan baginya.

Namun, menariknya, nama Maruly sama sekali tidak tertera dalam pemberitaan itu. Keterkaitan Maruly dalam pemberitaan itu hanya karena ia diusung oleh Partai PDI perjuangan yang menyokongnya dalam pencalonannya sebagai  walikota. Nama yang tercantum dalam pemberitaan itu justru nama Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Sementara Maruly tidak bersentuhan langsung dengan pemberitaan tersebut.

Namun dari hasil penelusuran gresnews.com, antara Maruly dan Hasto diketahui memiliki hubungan khusus. Maruly yang merupakan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik  Universitas Lampung itu kepada media lokal setempat,  sempat mengakui, karena campur tangan Sekjen PDIP  tersebut pencalonannya sebagai Walikota Lampung bisa terwujud.

Menurut Maruly, semula namanya dalam pembukaan fit and proper test calon kepala daerah Bengkulu, Sumsel, dan Lampung di Hotel Aston, Palembang, Sumatera Selatan namanya tak muncul, sebagai calon Walikota Kota Lampung.  
Maruly Hendra Utama, dosen FISIP Unila yang maju sebagai bakal calon wali kota Bandar Lampung mengklaim, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memajukan namanya dalam bakal calon kepada daerah Bandar Lampung dari DPP. Namun belakangan,  Hasto memberi tahu panitia bahwa namanya dimasukkan lewat jalur DPP.

LAPORAN DISAYANGKAN - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Suwarjono tampak geram dengan pelaporan tersebut. Pria yang akrab disapa Jono ini menganggap hal tersebut sebagai upaya kriminalisasi terhadap media. Terlebih lagi, insan pers mempunyai wadah untuk menyelesaikan sesuatu mengenai pemberitaan yaitu melalui Dewan Pers.

"Ini bentuk kriminalisasi terhadap media. Aturannya kan kalau mereka merasa dirugikan bisa minta hak jawab, kalau tidak puas melaporkan ke Dewan Pers, bukan seperti ini," kata Jono kepada gresnews.com, Minggu (12/7).

Menurut Jono, sang pelapor kemungkinan besar tidak mengerti bahwa pemberitaan media dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu ia meminta Maruly untuk mempelajari lagi Undang-Undang Pers agar mengerti dan tidak asal main lapor.

Jono bahkan menuding, bahwa yang dilakukan Maruly hanya mencari sensasi semata. Pasalnya, saat ini ia sedang maju dalam bursa pencalonan Walikota Bandar Lampung. Selain itu, namanya juga sama sekali tidak ada dalam pemberitaan.

"Hasto aja kelihatan santai kok, gak seperti Maruly yang langsung melapor. Bisa saja dia memang sengaja supaya dilirik sama pusat (DPP PDIP)," ujar Jono.

Untuk itu, ia meminta Bareskrim tidak menerima laporan tersebut begitu saja. Sebab, hal ini sangat merugikan insan media yang memang dalam setiap pemberitaannya menyebut nama seseorang, instansi, atau lembaga tertentu. Jono mengaku yakin media juga tidak sembarangan memberitakan, melainkan telah mengkonfirmasi kepada yang bersangkutan.

"Kita meminta Bareskrim obyektif dengan tidak menindaklanjuti laporan itu. Lagipula ada MoU (Memorandum of Understanding) antara Polri dan Dewan Pers pada 2012 lalu yaitu jika ada laporan terkait pemberitaan harus dilaporkan ke Dewan Pers," cetus Jono.

POLISI DIMINTA CERMAT - Dikonfirmasi terpisah, pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar berpendapat yang sama mengenai hal tersebut. Bambang meminta Kepolisian secara cermat meneliti suatu laporan yang masuk dari masyarakat, apalagi jika laporan itu ditujukan bagi media tertentu.

Pasalnya, media juga punya lembaga yang menaungi untuk menyelesaikan masalah pemberitaan yaitu Dewan Pers. "Jangan ditelan begitu saja, harus diteliti secara cermat," pungkas Bambang.

Ketelitian itu, kata Bambang menyangkut barang bukti serta pasal yang dilaporkan. Misalnya Maruly menganggap Tempo melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP. Pasal tersebut mengenai tuduhan yang dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan menista dengan surat.

"Ini kan masuk pencemaran nama baik, setahu saya pencemaran nama baik itu terkait seseorang, bukan partai atau lembaga," pungkas Bambang.

Selain itu, jika memang terbukti dari laporan tersebut, maka seyogyanya Kepolisian bisa berkoordinasi dengan Dewan Pers yang menaungi masalah pemberitaan dan kode etik. "Kalau memang terbukti, Polri bisa memediasinya. Permasalahan diselesaikan di Dewan Pers," cetus Bambang.

Kepolisian sendiri memang telah menolak laporan tersebut. Pasalnya, Maruly datang tanpa membawa bukti yang kuat mengenai dugaan pencemaran nama baik dan berita bohong tersebut. Namun hal itu tidak membuat Maruly menyerah. Ia mengaku akan kembali melaporkan perkara tersebut.
 
"Senin saya akan kembali dan melengkapi berkas yang diminta," cetus Maruly.

TEMPO MINTA KE DEWAN PERS - Menanggapi laporan Maruly ini Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli melalui situs www.tempo.co, mengatakan menghargai tindakan Maruly. Namun menurutnya kasus yang berkaitan dengan media, seharusnya diselesaikan melalui mediasi dengan Dewan Pers. "Sesuai dengan nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri tahun 2012, sengketa pers harus diselesaikan dulu di Dewan Pers," katanya, Sabtu (11/7).

Tempo sendiri menurutnya belum menyiapkan langkah tertentu untuk menyikapi laporan tersebut. "Kami akan ikuti dulu prosesnya," ujarnya. Arif, mengungkapkan dalam nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri diatur dengan jelas mengenai sengketa yang menyangkut pers. Misalnya, Pada pasal 3 ayat 1 nota itu  bahwa kepolisian baru bisa melakukan penyidikan kasus pers setelah mendapat saran  dari Dewan Pers. Sementara Dewan Pers, bertugas mengkaji apakah berita yang dilaporkan melanggar kode etik atau tidak.

Ia memastikan bahwa laporan Tempo itu sudah melalui proses verifikasi yang berlapis. "Laporan itu sudah berdasarkan kerja jurnalistik profesional dan mematuhi kode etik," ujarnya.

Dalam laporan utamanya, Majalah Tempo edisi 13-19 Juli 2015 itu memuat dugaan kriminalisasi yang dilakukan politikus PDI Perjuangan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam laporan tersebut dibeberkan sejumlah transkrip percakapan orang yang diduga Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dengan orang yang ditengarai anggota Divisi Hukum PDI Perjuangan, Arteria Dahlan.

Juga dibeberkan transkrip percakapan pembicaraan Hasto dengan Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Yogyakarta Komisaris Besar Karyoto serta mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Abdullah Makhmud Hendropriyono.

Dalam pemberitaan Tempo tersebut, Hasto bersama anggota Tim Advokasi hukum PDI Perjuangan, Arteria Dahlan dianggap telah merencanakan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Hal ini tercermin dan transkip yang sempat beredar di kalangan wartawan.

"Yang menulis Kotawaringi, semua sudah bergerak," ungkap transkrip yang beredar itu itu. Sengketa Pilkada Kotawingin memang menyangkut Bambang Widjojanto. Bambang ketika itu masih menjadi advokat dari salah satu pemohon.

Kemudian untuk Abraham Samad, Hasto juga dituding telah merencanakan hal itu dengan cukup matang. "Kabarnya AS (Abraham Samad-red) telah membantah dan bilang itu fitnah. Nanti xxx saya akan suruh bantu buat testimoni," kata orang yang diduga Hasto dalam transkrip percakapan yang ditulis Majalah tersebut.

BACA JUGA: