JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wibawa dunia peradilan kembali tercoreng, setelah kasus tertangkapnya Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putra oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat menerima suap untuk "mengurus" kasus gugatan dana bantuan sosial Provinsi Sumatera Utara, kini, ada seorang hakim lagi yang tertangkap KPK karena kasus suap. Sang hakim adalah Kepala Sub Direktorat Perdata Mahkamah Agung Andri Setyawan.

Andri ditangkap KPK saat tengah melakukan transaksi suap pada Jumat (12/2) malam. Penangkapan dilakukan di sebuah tempat di kawasan Jakarta. Saat itu, seseorang yang ditengarai sebagai pihak swasta tengah melakukan transaksi suap. Suap diberikan kepada seorang hakim yang belakangan diakui MA sebagai Andri Setyawan. Diduga, suap yang diberikan ditujukan untuk pemulusan pengurusan kasus yang tengah ditangani di MA.

Dalam operasi tangkap tangan itu, penyidik KPK berhasil mengamankan uang senilai miliaran rupiah. Selain uang miliaran rupiah, tim KPK juga menyita dua unit mobil dalam penangkapan itu. Salah satu mobil merupakan milik sang hakim. Total ada 6 orang yang ditangkap KPK semalam. Kini, keenam orang tersebut tengah menjalani pemeriksaan intensif di KPK.

Diantara enam orang yang ditangkap salah satunya adalah seorang pengacara. Si pengacara diduga berperan sebagai perantara suap. Sang pengacar ditangkap bersama Andri, sementara seorang pengusaha yang diduga sebagai penyuap ditangkap di tempat terpisah.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengamini timnya telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kembali. Agus menjelaskan bahwa ada ada beberapa pihak yang ikut ditangkap, salah satunya Kasubdit MA. "Yang ditangkap salah satu Kasubdit MA, pengusaha, pengacara dan sopir," ujar Agus Rahardjo, Sabtu (13/2).

Mahkamah Agung juga membenarkan salah satu pejabatnya tertangkap KPK atas kasus suap. Juru bicara MA, Suhadi menyebut pejabat yang tertangkap MA adalah Kasubdit Perdata, Andri Setyawan. "Informasi memang Kasubdit Perdata, tapi dia itu bukan tangkap tangan," kata Suhadi Sabtu (13/2).

Suhadi menegaskan, MA menyerahkan segala proses hukum kepada KPK. Dia mengaku tidak tahu menahu kasus yang menjerat Andri. "Kami menyerahkan sepenuhnya kepada KPK meskipun yang ditangkap orang-orang kami juga," jelas Suhadi. "Soal penangkapannya terkait apa, itu nanti KPK yang jelaskan," imbuhnya.

Komisi Yudisial sangat menyayangkan peristiwa ini dan memandang kepercayaan publik terhadap institusi peradilan akan semakin tergerus. "Atas peristiwa tersebut Komisi Yudisial merasa prihatin dan sangat menyayangkan, sebab di tengah keinginan dan usaha banyak pihak dalam membenahi dunia peradilan, kinerja lembaga kembali tercoreng dan kepercayaan publik akan semakin tergerus akibat perbuatan tidak patut yang dilakukan segelintir oknum," kata pihak KY melalui siaran tertulisnya, Sabtu (13/2).

Peristiwa penangkapan oleh KPK ini harus menjadi pelajaran bagi seluruh aparat hukum. Jangan sampai ada lagi ada aparat penegak hukum yang tertangkap menerima suap terkait penanganan perkara. "Pada dasarnya pengawasan tidak tidur dan terus berjalan dalam berbagai bentuk," jelasnya.

"Menindaklanjuti hal ini, Komisi Yudisial meyakini Mahkamah Agung akan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana diatur dalam Undang-undang sekaligus pembenahan internal pengadilan yang lebih intens," tegas KY.

KPK UNJUK TAJI DI TENGAH ISU REVISI - Operasi tangkap tangan terhadap hakim MA ini sendiri terbilang istimewa lantaran terjadi di tengah isu revisi UU KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang ditengarai bakal melemahkan KPK. Ini seolah menjadi pesan bahwa KPK tetap bertaji dalam memberantas korupsi, meski ada upaya merongrong wibawa lembaga ini.

Ada beberapa poin revisi yang dinilai bakal mengurangi kedigjayaan lembaga antirasuah itu. Dua diantaranya yang paling disorot adalah keberadaan lembaga pengawas KPK dan masalah kewenangan penyadapan KPK.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, jangan sampai mekanisme berjenjang untuk menyadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi malah membuat kerja penindakan tidak membuahkan hasil. Pasalnya, selama ini, penyadapan menjadi senjata ampuh bagi KPK menjerat koruptor termasuk dalam operasi tangkap tangan.

"Selama ini dalam penyadapan KPK sudah sangat hati-hati dan selektif. SP3 dimungkinkan hanya untuk perkara yang tidak mungkin dilanjutkan karena tersangka meninggal dunia atau sakit keras sehingga tidak dapat diperiksa pada proses penyidikan atau persidangan. Sepanjang penyadapan sesuai SOP, menurut kami tidak perlu izin penyadapan ke Dewan Pengawas," kata Alexander.

Penyadapan ditegaskan Alex merupakan cara efektif mendeteksi gerak-gerik orang yang terduga melakukan atau berencana melakukan tindak pidana korupsi. Terbukti dari hasil sadapan, KPK selama ini berhasil melakukan operasi tangkap tangan dengan pembuktian kuat saat proses persidangan.

"Bila setiap menyadap harus izin Dewan Pengawas nanti malah memperpanjang rantai komando. Padahal dalam penegakan hukum kecepatan bertindak menjadi faktor yang menentukan keberhasilan. Sebaiknya Dewan Pengawas bertugas melakukan evaluasi tugas pimpinan KPK, bukan di tataran eksekusi atau operasional," imbuh mantan Hakim Pengadilan Tipikor ini.

Di DPR, fraksi-fraksi sendiri masih terus bermanuver antara mendukung dan menolak revisi UU KPK ini. Sebagian yang sudah menyatakan penolakannya adalah Partai Keadilan Sejahtera dan Gerindra plus Partai Demokrat. Sementara PPP khususnya kubu Djan Faridz masih mengambil sikap mengambang.

Sekjen PPP Kubu Djan Faridz, Dimyati Natakusumah menyatakan sejak awal PPP masuk dalam koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah (P4) sehingga fraksinya lebih dulu akan melihat political will presiden dalam menentukan dukungan revisi. "Kita mau lihat dulu arahan Pak Presiden bagaimana hasil pertemuan Ketum dengan Pak Jokowi di Istana," katanya di Gedung DPR RI, Senayan, Jumat (11/2).

Terhadap empat poin yang diusulkan direvisi, Dimyati pun menceritakan pengalamannya saat menjadi Ketua Panja harmonisasi RUU KPK periode lalu. Ia menyatakan saat itu membuat keputusan untuk mencabut revisi yang diusulkan Komisi III. Karena memang secara filosofis di tahun 2009-2014, pimpinan Baleg menyatakan KKN begitu masif dan menyeluruh.

Ditambah, saat itu secara psikologis rakyat terlihat sedang menderita kesulitan, baik layanan kesehatan maupun sosial yang sangat minim. "Atas dasar itulah saya memimpin panja perubahan menolak dan mencabut. Nah sekarang ini pada posisi wait and see bagaimana good will Presiden," ujarnya.

Mengenai wacana pelemahan KPK dalam 4 poin perevisian, Dimyati juga tak mau berkomentar banyak. Fraksinya, kata dia, lebih dulu akan melihat laporan anggotanya yang ada di Baleg. Sebab hingga saat ini ia menyatakan, anggota PPP di Baleg belum mereport hasil dari rapat intern yang digelar kemarin siang. "Tapi dasar kita hasil pertemuan dengan presiden. Jika presiden menolak maka kami akan ikut," ujarnya.

Khusus Partai Demokrat, meski dikabarkan menolak, namun sikap resmi fraksi sendiri belum jelas. Bahkan terkait hal itu, seluruh anggota Komisi III dan Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrat (PD) dipanggil sang Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Sekretaris Fraksi PD Didik Mukriyanto mengatakan, Fraksi PD belum mendapat draft revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 itu dari Baleg DPR, maka pengkajian belum sempurna.

Namun setelah akhirnya pada Rabu (10/2) naskah draft revisi UU KPK diberikan, Fraksi PD pada Kamis (11/2) melakukan pembahasan. "Kamis kemarin setelah rapat Bamus kita bahas substansinya semuanya. Karena kan dalam Bamus diputuskan draf revisi UU KPK akan dibawa ke Paripurna Kamis pekan depan," kata Didik. "Kita sudah lakukan kajian dan analisa. Dan tadi kita laporan ke Cikeas," sambung pria yang juga anggota Komisi III DPR itu.

Mereka yang menghadap ke SBY di Cikeas, menurut Didik adalah seluruh perwakilan Fraksi Demokrat di Komisi III DPR. Ia juga memastikan bahwa pertemuan bukan karena SBY marah setelah dalam Baleg, Fraksi PD memutuskan setuju draft revisi UU KPK dibawa ke Paripurna yang pada saat itu rencananya akan dilakukan Kamis (11/2) siang. "Datang untuk minta arahan. Nggak ada yang marah, atau dimarahi. Biasa aja, kita kan perpanjangan tangan DPP di DPR. Karena nggak mungkin kita putuskan sendiri untuk paripurna nanti tanpa minta arahan. Jadi tadi melaporkan kajian fraksi," sebutnya.

Ia menegaskan tak ada agenda lain dalam pertemuan selain pembahasan terkait revisi UU KPK. Ini diperlukan agar Fraksi Demokrat dapat menentukan sikap dalam sidang paripurna mendatang. "Minta arahan, tadi baru brainstorming aja, untuk membuat sikap saat rapat paripurna nanti," tutup Didik.

Sedang Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Mulfachri Harahap menyatakan hingga saat ini sikap partai-partai pendukung revisi masih sama ketika menyatakan pandangan fraksi di Baleg. Tak ada aksi balik badan, jikapun dinyatakan demikian maka hal tersebut hanyalah persepsi yang dibuat oleh publik. "Tidak ada. Saya belum dapat pemberitahuan," ujarnya singkat di Gedung DPR RI, Jumat (11/2).

TOLAK DI  PARIPURNA - Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz menyatakan walaupun mengapresiasi aksi balik arah yang ditunjukkan PKS dan Demokrat, namun ia meminta untuk partai-partai tersebut tak hanya membuat pernyataan lisan tapi harus secara sikap penolakan di paripurna. "Cara mereka menolak mungkin bisa diikuti partai lain, sebab draft yang ada jelas menghentikan kerja KPK," ujarnya kepada gresnews.com, Jumat (11/2).

Partai yang berbalik arah dapat menjadi pembuktian bahwa mereka mendengarkan kritik masyarakat, selain juga penolakan dari KPK sendiri. Donal menyatakan partai pendukung revisi, merupakan partai bebal.

Donal menduga, beberapa partai yang getol mendukung revisi UU KPK seperti PDIP memang memiliki sejarah kelam terhadap pemberantasan korupsi. Seperti diketahui, pada saat menjadi partai oposisi, PDIP begitu getolnya menolak revisi ini. Namun kini saat menjadi partai penguasa, sikapnya berubah 180 derajat. "Ini memang perilaku partai berkuasa, kencenderungannya ingin mempermudah mengumpulkan sumber pendanaan," katanya.

Keberadaan KPK tentu mengganggu pengumpulan dana dengan cara-cara ilegal. Menurutnya, tak hanya PDIP, partai lain yang termasik P4 dan mendukung pemerintahan juga dalam kondisi yang sama. Misal, contoh kasus korupsi yang ada di PDIP yang baru saja menjerat 2 orang kadernya. Atau banyaknya kader Demokrat yang ditangkap KPK saat berkuasa dahulu menjadi tolak ukur anggapan tersebut.

"Banyak partai berkuasa tak suka KPK. Ada lagi pertanyaan, partai yang lahir dari semangat reformasi seperti Hanura dan Nasdem seharusnya mendukung kerja pemberantasan korupsi. Tapi ini tidak?" tanyanya.

Sementara itu, Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM mengatakan, revisi UU KPK merupakan kesepakatan ´haram´ pemerintah dan DPR untuk membarternya dengan RUU Pengampunan Pajak. "Revisi ini patut diduga merupakan kesepakatan haram dua institusi yang melakukan barter sehingga secara langsung korbannya adalah institusi KPK," ujar salah seorang peneliti PUKAT UGM Fariz Fachryan.

Jika menengok kembali ke belakang, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK pada 13 Oktober 2015. Kesepakatan ini tercapai setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR bertemu dalam rapat konsultasi di Istana Negara.

"Pada 27 November 2015, DPR dan pemerintah melalui rapat baleg bersepakat membarter Revisi UU KPK yang tadinya merupakan inisiatif pemerintah dan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) merupakan inisiatif DPR menjadi sebaliknya," ulasnya.

Hingga pada 15 Desember 2015 rapat paripurna di DPR RI memutuskan untuk memasukkan keduanya dalam prolegnas 2015. Kemudian pada 26 Januari 2016 DPR menyepakati Revisi UU KPK masuk dalam prioritas Prolegnas 2016. "Dan mulai dibahas dalam rapat harmonisasi Baleg di DPR RI pada 1 Februari 2016," tutur dia.

PUKAT UGM kembali mengingatkan pada pernyataan Presiden Joko Widodo pada 2 Desember 2015 lalu. "Presiden berkata,´Soal Revisi UU KPK, inisiatif Revisi adalah dari DPR. Dulu juga saya sampaikan, tolong rakyat ditanya, semangat Revisi UU KPK itu untuk memperkuat, bukan untuk memperlemah´," kata Fariz menirukan Jokowi.

Atas pernyataan tersebut, muncul Petisi Online melalui situs change.org tentang penolakan Revisi UU KPK. Sebanyak 55.000 orang masyarakat, akademisi, aktivis menandatangani Petisi tersebut. Tak hanya itu, revisi ini juga tidak dibarengi dengan naskah akademik yang diamanatkan Pasal 19 UU No 12 Tahun 2011. "Sehingga substansi revisi ini tidak bisa dipertanggungjawabkan," imbuh Fariz.

"Alasan di atas sudah seharusnya menjadi alasan kuat bagi Presiden untuk tidak menandatangani surat Presiden untuk pembahasan tahap pertama revisi UU KPK. Selain itu masyarakat pun mengingatkan agar presiden tidak ragu-ragu menghentikan revisi ini," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: