JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komnas HAM mengharapkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tetap independen dalam menjatuhkan putusan kasus pelecehan seksual di TK Jakarta International School (JIS), Senin (22/12). Anggota Komnas HAM Nurcholis mengatakan vonis yang akan dipersiapkan harus berdasarkan fakta di persidangan.

"Kita harapkan majelis hakim kasus JIS tetap independen sesuai proses persidangan," kata Nurcholis di Jakarta, Jumat (19/12).

Dia mengakui, Komnas HAM sudah melakukan investigasi terhadap kasus JIS. Dalam kasus JIS ada tiga tahapan yang menjadi perhatian lembaganya. Pertama, kebenaran peristiwa pelecehan seksual terhadap MAK, murid TK JIS.

Tahapan kedua, proses penyelidikan di kepolisian. Apalagi salah satu tersangka mengalami penganiayaan hingga meninggal dunia. Ketiga, adalah proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pihaknya sudah melakukan pemantuan proses persidangan kasus JIS.

"Kami sedang menyusun laporan dan sudah dalam tahap akhir. Perdebatan di antara kami cukup alot," jelasnya.

Nurcholis mengakui salah satu perdebatan tersebut adalah tidak adanya bukti yang kuat saat proses persidangan. Hal itu terungkap oleh saksi ahli yang diundang dalam persidangan seperti ahli forensik dan psikologi anak.

"Untuk itu, sangat diperlukan independensi majelis hakim supaya vonis sesuai fakta walaupun tuntutan JPU begitu," paparnya.

Komnas HAM menegaskan hasil investigasi tersebut selesai sebelum putusan majelis hakim. Hal ini untuk memberikan masukan penting terhadap kasus JIS tersebut.

"Kita usahakan hasilnya bisa selesai sebelum putusan majelis hakim, supaya bermanfaat. Kita akan berikan hasilnya ke majelis hakim, kejaksaan, kepolisian, JIS, kedutaan-kedutaan besar," tegasnya.

Sementara itu pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Akhir Salmi ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Kamis (18/12) kemarin, juga mengatakan hakim jangan sampai membuat putusan yang ceroboh karena ditekan oleh pihak-pihak tertentu. Hakim harus jujur memutus berdasarkan alat bukti dan fakta persidangan.

"Putusan yang ceroboh akan menjadi preseden buruk. Apalagi kasus ini menyangkut persoalan yang sangat sensitif yakni dunia anak-anak dan pendidikan. Keputusan ini akan berimplikasi besar," kata dia.

Akhir menekankan pentingnya proses peradilan yang bebas dari segala bentuk rekayasa dalam kasus tersebut. Persoalannya, kata Akhir, apakah alat bukti dalam perkara JIS itu kuat atau tidak? Putusan yang diambil harus berdasarkan alat bukti tersebut.

"Hakim bisa mempertimbangkan ada tidaknya rekayasa dalam kasus tersebut," kata dia.

Sebelumnya, dalam persidangan kasus JIS ke-17, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta dengan subsidier tiga bulan kurungan terhadap Zainal, Afriska, Awan, Agun dan Syahrial.

JPU menggunakan Pasal 82 UU 23/2002 tentang Perlindungan anak juncto 55 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Para terdakwa diduga melakukan sodomi terhadap MAK sebanyak 13 kali dalam periode Desember 2013 hingga bulan Maret 2014.

Patra M. Zen, kuasa hukum Virgiawan Amin dan Agun Iskandar mengaku tak habis pikir dengan jalan pikiran jaksa. "Bagaimana mungkin seorang perempuan terbukti melakukan sodomi? Kasus ini bisa masuk guiness books of records karena berbagai macam keanehannya," tandas Patra.

Selama 19 kali persidangan, seluruh fakta dan saksi kunci tidak berhasil membuktikan adanya dugaan sodomi seperti yang dituduhkan. Secara medis, empat lembaga kesehatan yaitu SOS Medika, RSCM, RSPI dan RS Bhayangkara Polri menegaskan peristiwa sodomi itu tidak ada.

Kondisi dubur korban MAK normal dan tidak ada luka. MAK juga bersih dari penyakit menular seksual. Fakta ini sangat tidak tidak lazim mengingat korban dikatakan telah disodomi 13 kali.

Secara psikologis, Seto Mulyadi seorang psikolog senior yang hadir sebagai saksi menegaskan, karena faktor traumatik, tidak mungkin seorang anak setelah disodomi akan kembali ke lokasi dimana peristiwa itu terjadi. Sementara faktanya, selama periode Desember 2013-Maret 2014, masa dimana kasus sodomi diduga terjadi, korban MAK tetap ceria ke sekolah.

"Kami berharap semua kebohongan ini terungkap dan majelis hakim dapat memberikan keadilan. Masa depan pekerja kebersihan dan keluarganya kini ada di tangan yang mulia majelis hakim," tutur Patra.

BACA JUGA: