JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pentingnya syarat pendidikan serendah-rendahnya sarjana atau setara dalam pengisian jabatan kepala daerah di Provinsi Papua. Syarat minimal ini berlaku sama bagi semua warga di Provinsi Papua yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Selanjutnya, kata MK, perbedaan pengaturan mengenai syarat pendidikan minimal sebagaimana diatur dalam UU Otsus Provinsi Papua tidak dapat diperlakukan secara sama dengan pengaturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Seperti pengaturan syarat pengisian jabatan kepala daerah dalam Undang-Undang khusus seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebab, masing-masing daerah memiliki keragaman dan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Pengaturan yang berbeda ini dinilai pilihan kebijakan hukum yang diambil berdasarkan kebutuhan khusus masing-masing daerah. Terkait dengan pengaturan di Propinsi Papua, maka syarat serendah-rendahnya sarjana atau setara diberlakukan di Provinsi Papua untuk kebaikan masyarakat serta upaya percepatan pembangunan di Papua.

Mengacu pada pertimbangan itu, MK menolak permohonan yang diajukan oleh Paulus Agustinus Kafiar, warga Papua. MK menilai syarat pendidikan serendah-rendahnya sarjana untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

“Menolak untuk seluruhnya pemohon berkeberatan atas Pasal 12 huruf c UU Otsus Provinsi Papua terkait syarat pendidikan serendah-rendahnya sarjana,” kata Ketua MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan perkara nomor 33/PUU-XII/2014 di Gedung MK, Jakarta, kemarin.

Sebelumnya, Paulus mengajukan uji materi syarat calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua ke MK yang menyatakan: “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: c. berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara.”

Menurut Paulus, ketentuan “berpendidikan serendah-rendahnya sarjana atau yang setara” bukanlah bagian dari kekhususan dari Otonomi Khusus Papua sehingga tidak ada dasar hukumnya untuk dipertahankan karena sangat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat

Karena itu, ia meminta norma tersebut diuji dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3). Beleid ini berisi tentang persamaan hukum, bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Kemudian setiap orang memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

"Ketentuan minimal pendidikan yang dapat menjadi atau dipilih menjadi gubernur atau wakil gubernur dengan syarat-syarat berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau setara, inkonstitusional karena berpotensi merugikan atau merugikan hak-hak konstitusional pemohon," ujar Habel Rumbiak, kuasa hukum Paulus dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, sebelumnya.

Menurut Habel, ketentuan Pasal 12 huruf c UU Otsus sangat diskriminatif dan tidak adil. Apalagi secara yuridis tidak ada landasan hukum membatasi seseorang untuk maju mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Secara hukum perdata, seseorang dianggap dewasa apabila sudah berusia 17 tahun sehingga memiliki kewenangan hukum untuk menjalankan dan melakukan tindakan hukum.

Ketentuan sarjana atau setara pada Pasal 12C UU Otsus Papua, kata Habel, bukanlah kekhususan bagi otonomi khusus Papua dan syarat tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam Putusan Nomor 81/PUU-VIII/2010 dan Nomor 3/SKLN-X/2012 disebutkan bahwa kekhususan Provinsi Papua berkenaan dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur hanyalah berkaitan dengan syarat calon tersebut harus asli orang Papua dan bukan tentang syarat minimal pendidikan.

BACA JUGA: