JAKARTA, GRESNEWSMCOM - Semende merupakan suku yang bermukim di Banding Agung, Bengkulu sejak ratusan silam. Komunitas adat ini bermula dari keberadaan Dusun Rantau Kendidai yang dilanda banjir besar pada 1807. Namun sejak berlakunya Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), komunitas ini mulai terancam dan terusir dari wiyah dan pranata adat mereka. Sejak 2012 mereka mulai ditakut-takuti oleh Polisi Hutan (Polhut). Tahun-tahun berikutnya rumah, kendaraan dan harta warga juga dibakar dan diusir.

Sukran Hawalin, saksi generasi ke-7 dari Puyang Intaran Dalam, Komunitas Adat di Semende, Banding Agung, Bengkulu ini mengungkapkan, pengusiran itu berlanjut pada penangkapan empat orang masyarakat Semende. "Ulu balang kami ditangkap bersama tiga orang lainnya dan sekarang belum dilepas. Mereka diduga melanggar UU P3H, padahal mereka tidak merambah hutan," kata Sukran Hawalin saat menyampaikan kesaksiannya dalam di sidang lanjutan pengujian UU P3H dengan agenda "Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi Pemohon (IV)" di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (20/11).

Permasalahan yang mengancam keberadaan masyarakat adat Dusun Lama Banding Agung berawal ketika pemerintah secara sepihak menentukan kawasan Bukit Barisan Selatan sebagai kawasan taman nasional. Pada kongres taman Nasional dunia ketiga di Bali tahun 1982, Depertemen Pertanian mengeluarkan SK Nomor 736/Mentan/X/1982 tentang calon taman Nasional di Indonesia.

Keputusan tersebut berdasarkan pada Staatblads Van Nederlansch Indie Nomor 621 tahun 1935 tentang Diirenschernings Benkoelen Lampongsche Districten yang menetapkan bahwa kawasan Bukit Barisan sebagai Suaka Alam dengan nama Sumatera Selatan I. Keputusan-keputusan lain yang ditetapkan oleh pemerintah dan tanpa diketahui oleh Masyarakat Adat Semende antara lain, Pertama, Keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam Nomor 46/KPTS/VI-sek/84 tentang Penunjukan Wilayah Kerja Taman Nasional.

Kedua, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185/KPTS-II/1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional. Ketiga, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 420/KPTS-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bengkulu seluas 920.964 Hektar.

Kemudian, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK : 784/Menhut-II/2012 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 420/KPTS-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bengkulu seluas 920.964 Hektar.

Akibat dari peraturan-peraturan tersebut, masyarakat adat Semende Dusun Lama Banding Agung mendapatkan perlakuan yang tidak adil, diusir, rumah-rumah dibakar, diancam, dan ditangkap dengan tuduhan sebagai perambah kawasan hutan negara. Pada 2012 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan jajaran lainnya melakukan operasi penurunan dan pengusiran masyarakat Adat Semende Banding Agung dengan melakukan pembakaran pondok-pondok yang ada di sekitar dusun.

"Hampir sekitar 115 rumah masyarakat dibakar, beserta 28 mesin diesel, 2 buah motor,  rumah adat dan satu bangunan SDN 07 Lokal Jauh Tebing Rambutan dirusak," jelas Sukran. Bahkan, lanjutnya, warung kelontong milik masyarakat dijebol oleh petugas polisi kehutanan (Polhut) untuk makan minum mereka selama 3 hari.

Berikutnya pada 22 Desember 2013 pagi, pihak Polhut kembali melakukan operasi gabungan dengan datang ke perkampungan masyarakat dan membakar empat rumah milik masyarakat. Salah satu masyarakat adat yaitu Bapak Haji Rahmat ditodong dengn senjata laras panjang pada bagian dada karena hendak memadamkan api. Pada sore hari TNBBS mengadakan sosialisasi, masyarakat tidak mengetahui tujuan sosialisasi ini. Kemudian pihak TNBBS yang diketuai oleh Pak Wawan Suparwan meminta masyarakat menandatangani daftar hadir, hampir 100 orang masyarakat yang hadir membubuhkan tanda tangannya.

Di akhir acara tiba-tiba daftar hadir tersebut diberi tanda oleh pihak TNBBS menjadi Daftar Hadir Perambah. Pada malam harinya TNBBS meminta empat orang perwakilan masyarakat datang ke tempat pertemuan berupa posko untuk menandatangani surat persetujuan bahwa wilayah Semende Banding Agung bukan wilayah adat, tetapi akhirnya tidak ada satupun yang berkenan hadir.

Pada 23 Desember 2013 pukul 07.50 Polhut kembali membakar sembilan rumah, satu motor dan satu buah genset milik masyarakat. Dalam operasi gabungan ini ada empat masyarakat yang ditangkap dengan tuduhan tertangkap tangan merambah hutan, padahal  waktu ditangkap mereka sedang berkumpul di rumah Heri.

Empat orang warga adat yang ditangkap dituduh sebagai perambah berkebun di dalam kawasan hutan tanpa izin melanggar Pasal  92 ayat 1 hurup (a) dan (b) UU P3H. Dan kini masih menjalani pidana kurungan selama 3 tahun dengan denda Rp1,5 miliar berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bintuhan.

Padahal kata Sukran, komunitas adat Semende Banding Agung ini bermula dari keberadaan Dusun Rantau Kendidai yang tahun 1807 dilanda banjir besar. Pada masa itu masyarakat dikepalai oleh Ratu Kendiran bermusyawarah untuk mencari tempat tinggal baru dan diputuskan untuk berpindah ke tiga tempat, yakni Muara Dua Ulu Nasal, Air Palawan, dan Ulu Benula Banding Agung. Ketiga dusun ini dipimpin oleh Ratu Kendiran dengan pusat pemerintahannya di Muara Dua Ulu Nasal.

Selanjutnya pada 1818, Pemerintah Belanda mengakuinya sebagai pemerintahan yang sah dan Aboestam diangkat Pasirah Kepala Marga Ulu Nasal. Pada 1890 Pesirah beserta Widana Kaur mengunjungi Dusun Banding Agung Ulu Benula, dan pada saat itu Pemerintah Belanda mengakui Dusun Banding Agung dengan resmi dan sah dengan dikeluarkannya Surat Pengangkatan kepada Nagaran sebagai Depati Dusun Banding Agung Ulu Benula, tertanggal 22 agustus 1891.

Berdasarkan naskah singkat yang dituliskan oleh Kepala Adat Semende Marga Oeloe Nasal yaitu Tjik Mamat bin Resajip bin Roeiddin tanggal 20 bulan Mei 1950. Tokoh masyarakat di Ulu Nasal yang menempati Ulu Benula Dusun Banding Agung pada masa itu adalah Puyang Intaran Dalam, Puyang Radin (Meramat), Puyang Dag (Djagoek), Hadji Rahman, Mantje Negara, Tragal, dan Puyang Rendipa.

Sedangkan wilayah dan pranata adat mereka meliputi Dusun Lama Banding Agung. Terbagi dalam lima talang, yaitu Talang Batu Betiang, Talang Kepahyang, Talang Tengah, Talang Sinar Semende, dan Talang Cemara, dengan batas-batas: Sebelah Barat: Provinsi Lampung; sebelah timur: Marga Ulu Nasal; sebelah selatan: Marga Nasal, dan sebelah Utara: Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan batas alam Barat: Air Menulah; batas alam Timur: Bukit Jabut lurus ke gunung Bulat; batas alam selatan: Bukit bulat lurus ke Air Benulah; dan batas alam Utara: dari Air Benulah lurus ke Bukit Jabut.

Cara hidup masyarakat adat Suku Semende sejak dahulu meramu dan berburu. Dalam perkembangannya, mereka kemudian mengenal sistem persawahan, menanam tanaman buah-buahan seperti durian, lemau, manggis, duku, dan tanaman kopi. Peninggalan yang masih bisa ditemukan saat ini adalah bekas persawahan dan irigasi, serta pohon-pohon durian yang tersebar hampir disemua wilayah Dusun Banding Agung.

Selain masyarakat Adat Semende, pemohon juga menghadirkan dua saksi lainnya. Mereka adalah Ust. Abdul Rahman Sembalun, pimpinan Kemangkuan Adat Tanaq Sembalun, warga Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dan Ismail, anggota suku Konjo Komunitas Adat Barambang Katute, Sulawesi Selatan.

Kesaksian itu dihadirkan Koalisi Anti Mafia Hutan untuk memperkuat dalili-dalil mereka yang menilai UU P3H merupakan produk legislasi yang buruk. Sehingga tidak bisa menjadi solusi dari penyelesaian masalah yang hendak diaturnya. Padahal pembentukan UU tersebut dalam konsiderannya dimaksudkan untuk mencegah perusakan hutan yang masif, transnasional dan menggunakan modus operandi canggih yang telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat.

Sebaliknya, UU P3H justru melanggengkan konflik kehutanan yang disebabkan tidak adanya jaminan kepastian pengelolaan hutan oleh masyarakat dalam UU. Pengaturan norma-norma dalam UU P3H sangat tendensius menyasar masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, penduduk desa di sekitar dan bersinggungan langsung dengan kawasan hutan sebagai pelaku perusakan hutan seperti yang terjadi di Bengkulu dan banyak tempat di Indonesia. Padahal, dalam banyak penelitian masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan justru punya peran penting menjaga keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya sejak ratusan tahun silam.

Karena itu, Koalisi Anti Mafia Hutan meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan UU P3H. "Jika MK tidak mengabulkan permintaan itu, minimal meminta ketentuan pidana terhadap perseorangan yang ada dalam undang-undang ini dibatalkan," kata kuasa hukum Koalisi Anti Mafia Hutan Andi Muttaqien dalam sidang Perbaikan Permohonan di gedung MK Jakarta , Selasa (28/10).

BACA JUGA: