JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kaburnya sekitar 200 orang penghuni Rumah Tahanan (rutan) Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Riau, menunjukkan kasus kelebihan kapasitas penjara dan rumah tahanan semakin mendesak untuk diselesaikan. Sebelum melarikan diri, dikabarkan para penghuni Rutan sempat rusuh dan menjebol pintu keluar Rutan.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, Provinsi Riau memang menjadi salah satu sorotan dalam kelebihan kapasitas. Total dengan 14 Rutan dan Lapas, kelebihan penghuni yang terjadi mencapai 200%. Provinsi Riau juga memiliki salah satu rutan dengan kelebihan beban terburuk, yaitu Rutan Bagan Siapi-api yang kelebihan bebannya mencapai 700% dari kapasitas hunian.

"Untuk Rutan Pekanbaru sendiri, dari data Dirjen PAS, kelebihan beban mencapai 233% dair total hunian," kata Supriyadi dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Sabtu (6/5).

ICJR, kata Supriyadi, prihatin atas terjadinya kasus berulang yang selalu dialami oleh Lapas-lapas di Indonesia tersebut, meskipun kejadian kali ini adalah kasus kaburnya penghuni Rutan atau Lapas terbesar di Indonesia. "ICJR melihat bahwa masalah di lapas-lapas maupun rutan-rutan Indonesia, sudah dalam situasi yang mengkhawatirkan. Masalah utama terkait kelebihan penghuni yang dialami sebagian besar Lapas Indonesia sudah dalam kondisi akut. Ini akan menimbulkan krisis akibat kepadatan atau di kenal sebagai overcrowding," ujarnya.

Dia mengatakan, sampai dengan saat ini tidak ada solusi pemerintah yang jitu dan komprehensif atas hal tersebut karena selama ini pembenahan atas kondisi ini tambal sulam. ICJR melihat selama ini memang ada beberapa kebijakan kriminal telah berupaya mengurangi jumlah asupan narapidana ke penjara.

Misalnya, kebijakan Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung(PERMA) Nomor 2/2012 yang menaikkan batas minimal tindak pidana ringan dari Rp250,- menjadi Rp2.500.000,-. Perma ini bertujuan untuk mengurangi jumlah tahanan yang dirasakan berlebih. Kemudian ada juga kebijakan rehabilitasi dalam korban pengguna narkotika. "Namun kebijakan ini belum memberikan kontribusi bagi masalah Lapas," ujar Supriyadi.

Dia menilai, masalah terbesar tetap berada pada tujuan pemidanaan di Indonesia yang masih kental dengan penjeraan dengan menggunakan pidana penjara. Misalnya melihat Rancangan KUHP yang sering disebut-sebut oleh Pemerintah, meskipun ada ketentuan kerja sosial sebagai hukuman alternatif lain di luar pidana penjara, dalam hal Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan.

Yang menjadi soal adalah karena ancaman pidana penjara dalam RKUHP tergolong tinggi dan ketentuan ini sangat bergantung pada keputusan hakim untuk menjatuhkan pidana dibawah 6 bulan, yang juga bergantung pada tuntutan dari Jaksa. "Secara tehknis dan praktik, hakim akan susah menjatuhkan pidana rendah (di bawah 6 bulan), apabila Jaksa menuntut pidana penjara tinggi, yang juga bergantung pada ancaman pidana dalam Undang-undang," kata Supriyadi.

Berdasarkan temuan ICJR, hanya ada 59 tindak pidana yang dapat secara otomatis dapat dijatuhi pidana kerja sosial. Sedangkan 1.154 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara, lebih lanjut, ada 249 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana minimum dari 1 tahun sampai 4 tahun penjara. Temuan ini belum termasuk ancaman pidana dalam Undang-Undang sektoral lainnya seperti UU ITE, UU Narkotika dan lain sebagainya.

Atas situasi ini ICJR mendorong pemerintah melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan pemidanaan di Indonesia khususnya mengantisipasi overkapasitas untuk meminimalisir overcrowding dalam Lapas. Tindakan untuk situasi yang cepat juga di butuhkan untuk memprioritas penanganan pada sejumlah lapas-lapas besar yang mengalami kelebihan penghuni.

"Terhadap Lapas-lapas tersebut kebijakan transisi untuk mengurangi dampak kerusuhan dan problem keamanan seharusnya bisa di cegah dan diantisipasi. Rekomendasi yang sudah ratusan kali didorong oleh ICJR dan Masyarakat Sipil pada isu peradilan pidana dan reformasi tempat-tempat penahanan," pungkasnya.

POLISI AKUI OVERKAPASITAS - Masalah overkapasitas yang menjadi penyebab kaburnya tahanan Rutan Sialang, Pekanbaru ini diakui oleh pihak kepolisian. Karo Penmas Polri Brigjen Rikwanto mengatakan, ada lebih dari 100 tahanan yang melarikan diri. Kericuhan yang diduga karena over kapasitas ini berawal dari keributan di salah satu sel.

"Kerusuhan di salah satu kamar yang berisikan 100 orang tahanan laki-laki dikarenakan overkapasitas jumlah kamar sehingga menciptakan adanya bentrok fisik sesama tahanan dan tidak dapat dikendalikan oleh petugas sipir Rutan Kelas IIA Pekanbaru sehingga para tahanan melakukan aksi kabur dari rutan," ujar Rikwanto saat dimintai konfirmasi wartawan.

Polisi, kata Rikwanto, masih mencari tahanan yang masih berada di luar rutan. Sementara itu, Dirjen Pemasyarakatan (PAS) Kemenkumham I Wayan Kusmiantha Dusak mengatakan rutan yang berkapasitas 300 orang disesaki 1.870 tahanan.

Dari laporan awal yang diterima, para tahanan kabur setelah menyampaikan tuntutan, terutama soal fasilitas di rutan. Rutan yang kini disesaki 1.870 tahanan itu punya kapasitas hanya untuk 300 tahanan.

"Ada beberapa masalah, sesuai dengan tuntutan, misalnya air, masalah kamar, kan itu kapasitas 300 isi 1.800-an, tuntutan soal pungutan segala fasilitas semuanya menurut versi mereka. Ini akumulasi dari persoalan," kata Dusak secara terpisah.

Terkait masalah overkapasitas ini, anggota Komisi III DPR Taufiqulhadi menyebut salah satu yang bisa menjadi solusi dalam permasalahan ini adalah dengan mengurangi orang masuk ke dalam penjara. "Memang itu problem klasik. Sekarang ini masalah tahanan kita itu adalah over-capacity. Paling banyak tahanan narkoba, kemudian mereka itu di dalam itu membuat blok di sana. Di dalam kasus Riau, antara blok itu berkelahi karena overcapacity dan tidak nyaman," ungkap Taufiqulhadi.

Komisi III yang membidangi masalah hukum sebenarnya sudah memberi alokasi anggaran besar untuk masalah lapas ini. Namun menurut Taufiqulhadi, anggaran besar itu belum menyelesaikan permasalahan overkapasitas.

"Kita tahun anggaran sekarang ini kita berikan dukungan dana besar untuk bangunan kamar, itu sudah dilakukan, tapi masih kurang. Harus 10 kali lipat lagi dari sekarang baru mencukupi," kata anggota Fraksi NasDem itu.

Sampai semua masalah sarana prasarana pemasyarakatan selesai dibenahi, Taufiqulhadi yakin peristiwa kericuhan dan tahanan kabur akan kembali terulang. Namun dia punya sedikit pendapat yang dinilainya bisa mengurangi masalah, paling tidak dalam hal overkapasitas.

"Kalau kasus-kasus kecil itu penggelapan misalnya cuma uang Rp 10 juta, nggak usah dipenjarakan. Dengan pidana lain, apakah disuruh bekerja sosial, jadi sanksi sosial," sebut Taufiqulhadi.

Selain itu, dia juga menyarankan agar aturan yang melarang narapidana mendapat remisi harus dihapuskan. Selain terkait dengan hak asasi manusia (HAM), remisi disebut Taufiqulhadi, bisa mengurangi kelebihan kapasitas di lapas.

"Di seluruh dunia, kalau napi berkelakuan baik dikurangi. Di Indonesia tidak bisa, maka mereka (koruptor), tidak mau berbuat baik. PP 99 harus dicabut. Kalau napi korup berkelakuan baik harus diberikan keringanan," paparnya.

"Nah kalau kejahatan kecil nggak ada pengurangan tahanan, dan hukuman orang-orang berkelakuan baik nggak ada, penjara nggak akan muat, penuh, itu problemnya," imbuh Taufiqulhadi. (dtc

 

BACA JUGA: