JAKARTA, GRESNEWS.COM - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mempertanyakan komitmen Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perlindungan hak asasi warga negara Indonesia pasca putusan uji materi Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Udang Hukum Acara Pidana (KUHAP). MK dianggap telah melakukan blunder dengan menafsirkan kata segera selama 7 hari sekedar memberikan surat tembusan pada keluarga tersangka.

Direktur Komite Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono
Supriyadi menilai putusan MK atas perkara Nomor 78/PUU-XI/2013 membuktikan MK tidak memahami permasalahan frasa ´Upaya Paksa´ dalam KUHAP yang erat kaitannya dengan perlindungan HAM di Indonesia. Sebab, MK hanya berpendapat ketentuan jangka waktu 7 hari masa untuk mengjukan sidang praperadilan dianggap memadai. Padahal jangka waktu 7 hari bisa terlewati karena ketidakhadiran  penyidik atau penuntut untuk memberi keterangan di sidang praperadilan, akibatnya sidang praperadilan tertunda dan pada akhirnya  gugur dengan sendirinya.

Menurut Mahkamah permohonan pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, tetapi persoalan implementasi norma dalam praktik peradilan. Padahal gugurnya upaya praperadilan seringkali disebabkan tindakan sengaja para penyidik atau penuntut umum yang tidak menghadiri sidang praperadilan untuk menyampaikan keterangan.

Menurut Supriyadi, dalam putusannya MK juga sama sekali tidak menyinggung tafsir kapan pemeriksaan selambat-lambatnya 7 hari praperadilan dimulai, kapan dapat dilakukan tanpa dihadiri oleh pejabat yang berwenang dan kapan dapat menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pejabat yang berwenang.  "MK sepertinya lupa bahwa praperadilan hadir dalam KUHAP pertama kali pada tahun 1981 adalah untuk menjunjung martabat manusia, menguji dan mengontrol upaya paksa yang dilakukan oleh aparat negara," tegasnya.

Ia menilai, pendapat MK yang menyatakan persoalan praperadilan dapat diselesaikan pada saat pokok perkara diperiksa di pengadilan hanya membuka jalan untuk melegalkan seluruh potensi kesewenang-wenangan yang dilakukan aparat negara pada saat melakukan upaya paksa.  "Sekali lagi, MK telah melegalkan praktik pelemahan praperadilan," tegasnya.

Putusan yang dibacakan pada Kamis (20/2) dimohonkan oleh direktur eksekutif WALHI Sumatera Selatan Anwar Sadat (Pemon I) dan Perkumpulan Masyarakat Pembaruan Peradilan Pidana (pemohon II).

Para pemohon mengajukan uji materi terhadap ketentuan tentang jangka waktu pemeriksaan pra peradilan  pada Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d UU Hukum Acara Pidana. Mereka meminta majelis hakim MK menguji pasal tersebut terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.

Pasal 82, ayat (1) berbunyi: ´Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
Huruf b. ´Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;

Huruf c. pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;

Huruf d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur´.

Argumen pemohon, bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf b, c, dan d memiliki ketidakjelasan dalam aturan praperadilan yang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan jaminan serta perlindungan di muka hukum. Akibatnya, pasal tersebut telah merugikan hak konstitusional Anwar selaku Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan yang telah dipidanakan akibat membela demonstran.

"Ketidakseragaman interpretasi huruf b KUHAP yang selama ini menjadi dasar tafsir bahwa Hakim praperadilan “wajib” mendengar keterangan kedua belah pihak dalam sidang praperadilan termasuk pejabat yang berwenang, telah mengakibatkan seringnya praperadilan tidak dapat dimulai karena pejabat yang berwenang tidak hadir dalam sidang perdana, yang berakibat gugurnya permohonan praperadilan," jelasnya.

Begitu juga terhadap pengaturan yang terdapat dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP, menimbulkan berbagai penafsiran dan potensi ketidakpastian hukum sepanjang mengenai kapan dimulainya waktu 7 hari sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut.

Pengaturan praperadilan dalam KUHAP,  menurut Supriyadi, diperparah dengan kehadiran huruf d KUHAP, gugurnya permohonan praperadilan sebelum adanya keputusan berkekuatan tetap oleh hakim praperadilan, jelas tidak selaras dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia.

Harusnya, kata dia, pemeriksaan pokok perkara menunggu praperadilan selesai memeriksa dan memutus sah tidaknya penangkapan dan penahanan. Sebab, gugurnya praperadilan saat dimulainya pemeriksaan pokok perkara, jelas menghilangkan hak tersangka untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan yang berdampak pada terancamnya hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum, penjaminan dan perlindungan di muka hukum sebagaimana disebutkan Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28 D ayat (1) jo. Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.

Hanya saja pada  Kamis (20/2), MK dalam amar putusannya menolak untuk seluruhnya permohonan pengujian Pasal 82 ayat (1) huruf b, c, dan d UU KUHAP yang dimohonkan pemohon. Pertimbangan majelis hakim, Pasal 82 ayat (1) huruf b, c, dan d yang mengatur acara pemeriksaan praperadilan  justru memberi kepastian hukum, termasuk bagi pemohon yang merasa penangkapan dirinya oleh Polda Sumatera Selatan tidak sesuai prosedur.

BACA JUGA: