JAKARTA, GRESNEWS.COM - Saat ini sangat sulit mencari pejabat yang hidup sederhana. Umumnya para pejabat bergaya hidup mewah demi gengsi dan memuaskan nafsu serakang mereka.

Sebut saja Gubernur Banten non aktif Ratu Atut Chosiyah yang mempunyai tas berharga puluhan juta rupiah. Selain itu, Atut juga mempunyai kerudung seharga Rp7 juta. Keluarga Atut lainnya Tubagus Chaeri Wardhana yang merupakan adiknya juga mengoleksi puluhan mobil sport berharga ratusan miliar rupiah.

Tidak hanya itu, dua pekan lalu sejumlah anggota DPRD memamerkan mobil mewah mereka ketika pelantikan. Diantaranya politisi Partai Gerindra M Sanusi yang membawa Jaguar hitam bernomor polisi B 123 RX, serta politisi PPP Abraham Lunggana atau yang dikenal dengan nama Haji Lulung. Ironisnya, mobil Haji Lulung itu belum memiliki surat-surat dan akhirnya terparkir di Ditlantas Polda Metro Jaya.

Dan baru-baru ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik yang menjadi tersangka kasus pemerasan, disinyalir membayar tagihan belanja istrinya Triesna Wacik sejumlah Rp1 miliar. Parahnya lagi, uang tersebut diduga berasal dari hasil pemerasan yang dilakukan Jero.

Fenomena gaya hidup borjuis yang dilakukan sejumlah pejabat negara dan keluarganya tersebut menurut pengamat sosial Universitas Nasional Nia Elvia mencerminkan para pejabat tersebut belum memahami Pancasila yang merupakan dasar negara. Karena, dengan bergaya hidup mewah, mereka seakan tidak peduli jika masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan.

"Nilai kehidupan mereka liberal, hedonisme. Para pejabat itu lupa hidup di Indonesia yang berbasis Pancasila. Maka pejabat, para elit, nilai-nilai itu mestinya menjadi acuan untuk bertindak," kata Nia kepada Gresnews.com, Senin (8/9).

Seharusnya, mereka memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila seperti peduli kepada sesama, apalagi sebagai pejabat negara, mereka menjadi contoh bagi masyarakat.

Nia mencontohkan, ada pejabat yang membeli tas seharga puluhan juta, padahal di daerah perbatasan masih banyak masyarakat yang belum berpendidikan, pelayanan kesehatan yang belum layak, bahkan untuk makan pun mereka cukup sulit.

"Posisinya saat ini nilai pancasila tinggal sebagai pemanis bibir. Hampir semua lini tidak mengimplementasikan ini. Padahal itu fundamental. Itu acuan, norma. Apa yang dilakukan pejabat diikuti masyarakatnya," cetusnya.

Nia berpendapat, gaya hidup seperti itu berpotensi merusak moral masyarakat. Padahal, selama para pejabat merupakan suri tauladan dan menjadi acuan bagi masyarakat. Tidak hanya itu, gaya hidup pejabat di tingkat pusat juga berindikasi akan menular ke para pejabat daerah.

Dan hal ini tentu saja memicu terjadinya korupsi, karena dari gaji dan biaya operasional yang didapat, gaya hidup seperti itu tidak mungkin bisa dilakukan. Untuk mendapatkannya, para pejabat tersebut dikhawatirkan mencari ´obyekan´ dengan bermain proyek, pemerasan, atau korupsi.

Seperti sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad angkat bicara mengenai kasus pemerasan yang dilakukan Jero Wacik. Bahkan ketika itu, Abraham menyebut perbuatan korupsi yang diduga dilakukan politisi Partai Demokrat itu mencerminkan keserakahan.

"Orang ini punya hasrat ingin hidup bermewah-mewah, serakah. Itu bawaan manusia. Tidak terkontrol," kata Abraham.

BACA JUGA: