JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Human Right Working Group (HRWG) dan Yayasan Auriga, mencurigai adanya patgulipat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan. Kecurigaan muncul karena cepatnya pembahasaan RUU itu berlangsung dan terkesan tertutup.

Baru dua bulan sejak ditetapkan sebagai RUU prioritas 2017, pembahasan RUU Perkelapasawitan ternyata sudah mencapau tahap harmonisasi di Badan Legislatif DPR. Peneliti ELSAM Andu Muttaqien mengatakan, perkebunan kelapa sawit di satu sisi memiliki manfaat secara nasional. Misalnya sebagai komoditas paling produktif diantara komoditas lain, menyerap banyak tenaga kerja, serta menjadi komoditas andalan nasional.

Namun, kata dia, perlu diingat di lain hal, perkebunan kelapa sawit kerap memberikan dampak buruk secara sosial atau lingkungan. Dari luas areal perkebunan kelapa sawit 11,4 juta hektare persegi (BPS, 2015), Ditjenbun pada tahun 2012 mencatat terdapat 739 kasus yang disebutnya sebagai gangguan usaha dan konflik perkebunan.

Rinciannya, 539 kasus adalah konflik lahan (72,25%), 185 kasus sengketa non lahan (25,05%), dan 15 kasus sengketa dengan kehutanan (2%). "Di tengah keadaan maraknya konflik lahan tersebut, kehadiran RUU Perkelapasawitan yang akan melegalkan perkebunan illegal sungguh tak masuk di nalar," kata Andi dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Selasa (7/2).

ELSAM, bersama AURIGA dan Human Right Working Group (HRWG) memandang terdapat beberapa hal penting yang perlu dicermati. Pertama, mengenai kesejahteraan petani khususnya pekebun mandiri, uraian Pasal demi pasal yang ada tidak mencerminkan apa yang disampaikan Komisi IV DPR RI.

Pasal yang menyebut atau mengatur secara khusus tentang petani atau yang disebut sebagai pekebun hanya ada di Pasal 29, yang menyebutkan beberapa kemudahan akses lahan bagi pekebun. “Hal itu pun masih perlu diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP), sehingga operasionalisasinya akan sangat bergantung pada kapan pembentukan PP dilakukan,” tegas Andi.

Pasal lain yang menyebutkan tentang pekebun, hanya membahas tentang kemitraan dengan perusahaan perkebunan. "Proses dan tata cara mensejahterakan petani ternyata hanya menjadi janji yang mungkin susah terealisasi," ujarnya.

Kedua, bertolak belakang dengan perlakuan kepada pekebun, RUU Perkelapasawitan ini memberikan perlakuan istimewa terhadap perusahaan perkebunan. Hal mana dapat dilihat pada Pasal 18 Ayat (4). Pasal tersebut memberikan beberapa privilege kepada perusahaan, diantaranya adalah pengurangan pajak penghasilan badan melalui pengurangan penghasilan bersih sampai jumlah tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu.

Kemudian, pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. Pasal tersebut juga menjamin pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu.

Berikutnya, pembebasan atau penangguhan pajak pertambahan nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu. Pasal tersebut juga memberikan jaminan keringanan pajak bumi dan bangunan, khususnya pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.

Terakhir, pasal tersebut memberikan bantuan pemasaran produk melalui lembaga atau instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Sehingga, patut dipertanyakan motif dari Komisi IV DPR RI, apakah benar-benar ingin mensejahterakan petani, atau hanya memfasilitasi perusahaan-perusahaan perkebunan ilegal yang beroperasi tanpa izin atau bahkan merambah hutan menjadi perusahaan yang legal?” terang Andi.

INSTRUMEN LEGALISASI SAWIT ILEGAL - Ketiga, menurut Andi, RUU Perkelapasawitan nampak sekali dijadikan instrumen memutihkan keterlanjuran atau memberi celah perusahaan-perusahaan untuk dapat beroperasi di areal gambut, hal mana terlihat pada Pasal 23 RUU tersebut. "Ini merupakan perlawanan terhadap upaya Negara dalam melindungi ekosistem gambut, yang juga menegasikan keberadaan PP No. 57 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut," terangnya.

PP Perlindungan gambut menyatakan bahwa setiap orang dilarang membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut untuk tanaman tertentu. Namun, hal ini takkan berlaku manakala RUU Perkelapasawitan disahkan menjadi undang-undang. "Pemulihan gambut yang ditargetkan Jokowi mencapai 2,4 juta hektare pun takkan terwujud," kata Andi Muttaqien.

Keempat, jika mengacu pada data Ditjenbun Kementerian Pertanian, niat dari legislator untuk “melegalkan” perkebunan sawit yang saat ini ilegal karena berada di kawasan hutan atau di areal lahan gambut, serta mungkin terdapat sengketa areal dengan warga setempat, maka inisiatif ini justru akan memperuncing masalah-masalah yang ada. “Konflik lahan dengan masyarakat lokal justru akan semakin meningkat, negara menjadi pihak yang merestuinya melalui RUU Perkelapasawitan,” ujarnya.

Sementara itu, Syahrul Fitra dari AURIGA mengatakan, mengenai isu kebun kelapa sawit yang berkelanjutan pun patut dipertanyakan dari keberadaan RUU Perkelapasawitan ini. Karena pada Pasal 78 RUU Perkelapasawitan ingin mewajibkan adanya sertifikasi bagi usaha perkebunan, dengan cara bertahap selama 5 tahun ke depan.

Padahal, alat sertifikasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia yakni ISPO telah melakukan sertifikasi sejak lama dan s/d Desember 2016 sudah ada 226 perusahaan sawit menerima sertifikat ISPO dengan luas 1.430.105,31 juta ha dan produksi CPO 6.746.321,93 juta ton. “Saat ini ada sekitar 600 perusahaan yang sedang proses audit oleh Lembaga Sertifikasi ISPO. Maka, jika RUU Perkelapasawitan ini disahkan akan menghambat proses sertifikasi yang telah berlangsung,” ujarnya.

Menurut M. Hafiz dari HRWG, hal lain yang juga patut menjadi perhatian adalah, guna meminimalisir risiko atau konflik yang kerap terjadi di perkebunan kelapa sawit, seharusnya RUU Perkelapasawitan dapat mengadopsi uji tuntas hak asasi manusia, sebagai satu bentuk implementasi dari pilar “Penghormatan” dari United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights.

Proses uji tuntas Hak Asasi Manusia setidaknya harus mencakup: (a) penilaian terhadap dampak yang ada dan berpotensi ada, (b) mengintegrasikan agar seluruh personel perusahaan sadar atas dampak tersebut, (c) mengambil langkah yang diperlukan terhadap dampak yang ditemukan, (d) menilai apakah langkah yang diambil telah sesuai dengan dampak, dan (e) mengkomunikasikan bagaimana dampak telah ditanggulangi.

Hafiz mengatakan, ada beberapa peluang HRDD yang bisa diterapkan di RUU Perkelapasawitan, secara mandatory, pelaksanaan audit HAM dapat dilakukan sebagai syarat izin usaha, di mana syarat penghormatan HAM bisa dijadikan syarat mendapatkan izin usaha. Secara voluntary, adopsi pelaksanaan audit HAM melalui mekanisme pemberian insentif penanaman modal dan dukungan ekspor.

"Jadi misalnya, dengan adanya hasil laporan uji tuntas HAM tersebut maka dukungan atau insentif bisa diberikan," ujarnya.

Terakhir, mekanisme disclosure (pelaporan). Hal mana pelaksanaan uji tuntas HAM dimasukkan dalam mekanisme disclosure produk kepada konsumen.

Dia menilai, jika dibaca keseluruhan, sebenarnya hampir tidak ada norma baru yang ditawarkan dalam RUU tersebut, apalagi yang ditujukan untuk menjawab persoalan perkelapasawitan yang ada saat ini. "Lebih banyak aturan-aturan tersebut justru akhirnya mengaburkan upaya yang dilakukan pemerintah saat ini," ujar Hafiz.

Selain hal substantif sebagaimana diuraikan di atas, hal lain yang patut menjadi catatan bagi DPR RI adalah minimnya keterlibatan publik dalam proses pembahasan RUU Perkelapasawitan. “Bahkan, instansi pemerintah terkait menyatakan bahwa Kementerian Pertanian sebagai pelaku teknis tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU Perkelapasawitan,” ujarnya.

Karena itu, ELSAM, AURIGA dan HRWG menilai, usaha untuk memperbaiki legalitas dan mengonsolidasikan regulasi terkait perkebunan sawit hanya menjadi retorika semata. "Keberadaan RUU Perkelapasawitan justru membuat regulasi ini makin carut marut, karena RUU ini melegalkan tindakan pelanggar hukum di areal gambut," kata Andi Muttaqien.

Usaha memperbaiki carut marut perizinan perkebunan kelapasawit-pun tidak akan dapat dilakukan. Pasalnya permasalahan di sektor perkebunan kelapa sawit sangat kompleks. Kemudian, regulasi terkait sektor perkebunan juga sangat banyak, seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Pokok Agraria.

Karena itu, Komisi IV DPR diminta untuk serius dalam membahas RUU Perkelapasawitan. Komisi IV DPR RI harus menjadikan kesejahteraan petani (pekebun) sebagai target sasaran dari pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Apabila target sasaran pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah perusahaan-perusahaan ilegal dan perambah hutan, maka Badan Legislasi DPR RI harus menghentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan. "Pemerintah sebagai pihak yang juga akan membahas RUU Perkelapasawitan ini dengan DPR-RI, harus menyatakan penolakannya atas inisiatif dilanjutkannya pembahasan RUU Perkelapasawitan," pungkasnya.

PENGUSAHA DUKUNG - Berbeda sikap dengan masyarakat sipil, pengusaha sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) justru mendukung RUU Perkelapasawitan. Direktur Eksekutif Gapki M Fadhil Hasan mengatakan, pengesahan RUU Perkelapasawitan akan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan dari industri kelapa sawit nasional.

Menurut Fadhil, saat ini industri kelapa sawit nasional memiliki banyak persoalan karena belum memiliki payung hukum yang kuat. "Ada urgensi bagi kita untuk memiliki UU Perkelapasawitan karena kita dihadapkan banyak persoalan yang tidak dapat diatasi kalau kita tidak memiliki payung hukum yang kuat," ujarnya beberapa waktu lalu di forum diskusi RUU Perkelapasawitan.

Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah penurunan harga kelapa sawit yang membuat perlambatan pertumbuhan ekonomi di daerah yang bergantung pada industri sawit seperti di Sumatera dan Kalimantan. "Malaysia sudah mengatur industri perkelapasawitan secara khusus karena mereka menganggap industri sawit penting," ujarnya.

Fadhil menegaskan, pihaknya juga mendukung pembentukan lembaga yang mengatur industri sawit secara terpusat. Lembaga ini, kata Fadhil akan berfungsi seperti Malaysia Palm Oil Board (MPOB). "Badan tersebut memiliki beberapa fungsi seperti melakukan pembinaan, penciptaan proses investasi yang kondusif, memperbaiki tata kelola dari hulu ke hilir, mendukung proses sertifikasi, melakukan promosi dan diplomasi, menghimpun dan mengelola keuangan sawit," pungkasnya.

Dukungan serupa juga diberikan Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI Daniel Johan. Dia mengatakan, ada tiga alasan utama pentingnya RUU Perkelapasawitan. Pertama, di bidang sosial ekonomi, ingin memastikan kesejahteraan petani. "Karena dalam RUU ini memprioritaskan PMDN. Sehingga ada serangkaian, insentif agar kelapa sawit menjadi maju," ujarnya.

Kedua, meningkatkan profesionalitas seluruh sektor di kelapa sawit, dari hulu hingga hilir. Ketiga, di bidang hukum, agar RUU Perkelapasawitan ini jadi jalan keluar terhadap carut marutnya perizinan, sehingga memberikan jalan keluar khusus bagi perkebunan ilegal. "Seperti misalnya perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan atau beroperasi tanpa HGU," jelas Daniel.

Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo mengatakan, RUU Perkelapasawitan merupakan RUU yang cukup mendesak untuk disahkan. Firman memastikan, RUU ini akan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi industri kepala sawit.

"Saya tidak akan mundur satu langkah pun dalam mengesahkan RUU ini. Saat ini RUU sudah masuk Prolegnas 2016, tapi ada penyempurnaan dan masuk lagi ke Prolegnas 2017. Insya Allah, pada tahun 2017 mendatang RUU ini bisa disahkan menjadi undang-undang," pungkasnya.

Firman Subagyo menjamin UU ini nantinya tidak akan diskriminatif dan tidak akan mematikan perkebunan rakyat. "Inti dari Undang-Undang ini adalah akan mengatur secara keseluruhan, jadi tidak ada satu pun dari petani sampai masyarakat besar yang dilakukan diskriminasi dalam Undang-Undang ini," tegas Firman.

Sawit dengan rokok, menurut Firman, menjadi dua komoditi yang sangat strategis bagi Indonesia saat ini. DPR akan melahirkan UU untuk memproteksi dan mengatur proses hulu sampai hilir dua komoditi ini. "Di dalam UU ini secara komprehensif mengatur hulu hilirnya. Dalam UU ini ada juga nilai-nilai idealismenya, yakni mengedepankan kepentingan nasional," tegasnya.

BACA JUGA: