JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dimulai sejak, Selasa (6/10) kemarin. Sayangnya upaya revisi yang dilakukan DPR ini alih-alih memperkuat KPK secara kelembagaan, malah disinyalir menjadi upaya berjamaah untuk mempreteli kewenangan KPK bahkan membubarkannya.

Hal ini terlihat dari berbagai usulan yang muncul terkait kewenangan KPK semisal kewenangan penyadapan yang diusulkan agar dibatasi yaitu harus seizin ketua pengadilan negeri setempat. Bahkan ada juga usulan agar usia KPK dibatasi selama 12 tahun saja.

Wakil Ketua Badan Legislatif DPR Firman Subagyo mengatakan, revisi ini perlu untuk menjaga keseimbangan antar lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Dia mengatakan, tak perlu ada lembaga hukum yang dinilai lebih kuat di atas lembaga penegak hukum lainnya.

Firman meminta masyarakat tak khawatir soal revisi ini. "Yang jelas ada pasal-pasal, tidak semuanya seperti yang dikhawatirkan masyarakat ini terjadi penggembosan, melainkan membuat keseimbangan antara penegak hukum lainnya sehingga korupsi bisa dilakukan secara bersama-sama di kemudian hari tidak ada satu lembaga penegak hukum yang lebih superbody di atas penegak hukum lainnya," sebutnya.

Toh, tak serta merta ucapan Firman itu dipercaya publik. Banyak yang menilai revisi kali ini memang kental aroma niatan membubarkan KPK atau setidaknya mendegradasi lembaga antirasuah itu menjadi sekadar lembaga pencegahan korupsi. Hal itu terlihat dari pasal-pasal yang diajukan untuk direvisi. (lihat tabel 1)

Tabel: Pasal Krusial Revisi UU KPK

 No.

 

Masalah krusial

 

Pasal  RUU Revisi 2015

 

 1

 KPK sengaja dibuat secara adhoc, (sementara waktu) dengan jangka waktu yang terbatas.

 

Ketentuan ini Menyederhanakan masalah penanganan korupsi Indonesia, seakan-akan masalah korupsi yang dapat diselesaikan dengan 12 tahun

 

Ketentuan ini juga menitikberatkan bahwa masalah penanganan korupsi hanya kepada penegakan hukum, bukan hanya kepada pencegahan dll (sesuai fungsi KPK)

 

 

Pasal 5.

Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan

Pasal 73.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berakhir setelah 12 tahun sejak diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

 2

Kewenenagan KPK  hanya terbatas kepada Korupsi paling sedikit Rp. 50 miliar.

 

Kondisi ini akan mengecilkan jumlah kasus yang akan di tangani oleh KPK.

 

 

 

Pasal 13.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, tindak pidana korupsi yang: (b) menyangkut kerugian negara paling sedkit Rp 50.000.000.000,00 (c) dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara drngan nilai dibawah 50.000.000.000, maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

 3

Pilihan untuk membuat struktur “Dewan Eksekutif “ tidak sesuai dengan struktur KPK sebagai lembaga Negara dan justru membuat birokrasi baru.

 

Ketentuan ini sengaja melemahkan fungsi pimpinan-komisioner KPK

 

Pasal 22

(1)  Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:

Dewan Eksekutif yang terdiri dari 4 anggota

 4

“Dewan Eksekutif” yang hanya di angkat dan di berhentikan presiden, juga akan memberikan ruang intervensi yang besar dari eksekutif kepada KPK

 

 

Pasal 23

(1)     Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, dibantu oleh Dewan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh Panitia Seleksi Pemilihan

(6)    Dewan Eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

Pasal 24

Dewan Eksekutif berfungsi menjalankan pelaksanaan tugas sehari-hari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dan melaporkannya kepada Komisioner Komisi Pemberantasan

 5

Pengaturan Dewan Kehormatan yang berlebihan

 Pasal 39

(1)     Dalam melaksanakan tugas dan penggunaan wewenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi maka dibentuk Dewan Kehormatan

(2)     Dewan Kehormatan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi administrasi dalam bentuk tegoran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian dari pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK dan pegawai pada KPK

(3)    Dewan Kehormatan bersifat AdHoc yang terdiri dari 9 anggota, yaitu 3 unsur dari pemerintah, 3 unsur dari unsur aparat penegak hukum dan 3 orang unsur dari masyarakat. 

 6

KPK tidak memerlukan SPDP karena penyidikan yang dilakukannya sudah bersifat khusus dan  terbatas

 

 

Pasal 52

(2)    Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan kepolisian atau kejaksaan belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut wajib memberitahukan kepada kepolisian atau kejaksaan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan

 7

Penindakan KPK secara materi dan administrasi sangat tergantung kepada usulan Pihak ketiga, KPK harusnya diberikan mandat  secara khusus untuk mengangkat penyidik atau penuntutnya sendiri. 

 

Pasal 45

(1)    Penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 (3) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas usulan dari kepolisian atau kejaksaan

Pasal 53

(3)    Penuntut adalah jaksa yang berada dibawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 

 8

KPK harusnya tetap dalam posisi kekhususannya dalam hal memastikan suatu kasus Korupsi, memberikan kewenangan SP3 justru mengurangi tingkat kekhususan penyidikan KPK. KPK pada prinsipnya tidak boleh menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara yang sudah ditetapkan oleh KPK sebagai objek penyidikan.

Pasal 42.

Komisi Pemberantasan Korupsi BERWENANG MENGELUARKAN Surat Perintah Penghentian Penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat (2) KUHP

 Sumber: draf revisi UU KPK


MEMBAJAK KPK - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) misalnya, menilai dalam draf revisi UU KPK itu ada hal-hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK. "Bahkan menurut ICJR ada niat untuk membajak KPK dalam pasal-pasal Revisi tersebut," kata peneliti ICJR Erasmus Napitupulu dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (7/10).

Ada beberapa hal krusial yang disoroti ICJR terkait revisi UU KPK ini. Pertama adalah soal usulan KPK dibuat secara ad hoc (sementara waktu) dengan jangka waktu yang terbatas yaitu 12 tahun. "Ketentuan ini menyederhanakan masalah penanganan korupsi Indonesia, seakan-akan masalah korupsi yang dapat diselesaikan dengan 12 tahun," kata Erasmus.

Ketentuan ini juga menitikberatkan bahwa masalah penanganan korupsi hanya kepada penegakan hukum, bukan hanya kepada pencegahan dan lain-lain sesuai fungsi KPK.

Kedua, Kewenangan KPK sengaja dibuat secara terbatas hanya untuk menangani kasus – kasus korupsi paling sedikit 50 miliar. "Kondisi ini akan mengecilkan jumlah kasus yang akan ditangani oleh KPK," ujarnya.

Ketiga, naskah DPR membuat struktur "dewan eksekutif" di KPK, berada di bawah Komisioner. Pilihan ini dinilai tidak sesuai dengan struktur KPK sebagai lembaga negara dan justru membuat birokrasi baru. "Ketentuan ini sengaja melemahkan fungsi pimpinan-komisioner KPK," kata Erasmus.

Berdasarkan hal-hal tersebut, ICJR melihat materi dalam naskah RUU revisi yang diinisiasi oleh DPR sudah pada taraf digunakan untuk melemahkan atau membajak KPK. ICJR, kata Erasmus, merekomendasikan DPR sebaiknya menghentikan seluruh inisiatif untuk merevisi UU KPK.

"Baik dari segi momentum dan keutuhannya Revisi UU KPK belum diperlukan," tegas dia.

Kritik serupa juga disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). "Dari substansinya kita khawatir kalau sampai disahkan, bisa jadi kiamat buat pemberantasan korupsi karena kan salah satu isi revisi UU KPK itu menyebut sejak UU disahkan 12 tahun kemudian KPK bubar permanen. Jadi kalau bisa jangan dibahas apalagi disahkan," ujar peneliti ICW La Lola Easter, Selasa (7/10).

"Ini patut diduga yang mengusulkan adalah pihak-pihak yang pro dengan korupsi. Siapapun yang ngusulin patut diduga," imbuhnya.

Dia menyebut, KPK meski merupakan lembaga ad hoc, tetapi tidak memiliki batasan waktu tertentu. Selama praktik korupsi itu masih merajalela di Indonesia maka alasan keberadaan KPK pun menjadi kuat.

"Ad hoc dibentuk untuk tujuan tertentu jadi bukan sifatnya sementara. Dia ditujukan untuk pemberantasan. Jadi selama korupsi masih ada, KPK masih diperlukan. Itu kerja yang sangat panjang. Tidak relevan sekali kalau kita bicara membubarkan secara permanen," terang Lola.

DPR JALAN TERUS - Meski kritik terus bermunculan, DPR sendiri sepertinya tetap jalan terus dengan rencana merevisi UU KPK tersebut. Rancangan revisi ini sendiri diajukan oleh 45 orang anggota dewan dari 6 fraksi.

Dari jumlah itu, yang terbanyak adalah dari FPDIP dan F Nasdem. Ada 15 orang anggota F-PDIP yang mendukung revisi UU KPK, 11 orang F-NasDem, 9 orang F-Golkar, 5 orang F-PPP, 3 orang F-Hanura, dan 2 orang F-PKB.

Dari FPDIP ada beberapa nama beken yang mengusulkan revisi UU KPK ini diantaranya Masinton Pasaribu, Junimart Girsang, Arteria Dahlan, Ihsan Yunus, dan Charles Honoris. Dari Fraksi Nasdem ada nama-nama seperti Taufiqulhadi, Donny Imam Priambodo, Amelia Anggraini dan Ali Mahir. Fraksi Golkar ada Tantowi Yahya, Kahar Muzakir dan Misbakhun.

Terkait usulan ini, anggota FPDIP yang ikut dalam rapat Baleg DPR terkait revisi UU KPK, Rieke Diah Pitaloka menyatakan, revisi tersebut bukan sebagai langkah pelemahan KPK melainkan dalam rangka penguatan KPK.

Menurutnya tidak ada alasan untuk tidak mendukung revisi tersebut agar terdapat kepastian dalam pemberantasan korupsi. "Saya dukung untuk memperkuat UU KPK. Pembahasan akan terbuka. Harus dipastikan apakah pemerintah juga punya komitmen yang sama, atau membiarkan kegaduhan politik," ujar Rieke.

Kolega Rieke, Hendrawan Supratikno juga mengatakan, pemberantasan korupsi tetap harus diberi masukan. Menurutnya revisi UU KPK ini bisa menjadi bola panas dan bola liar. Berdasarkan pengalamannya, dari perhitungan waktu lebih cepat inisiatif DPR karena daftar inventaris masalah pemerintah tunggal, sedangkan dari parlemen meski berbeda tiap fraksi, namun bisa di harmonaisasi di rapat badan legislatif.

"Kita harus bisa egaliter, transparan terbuka dan akuntabel, terkait cara pemberantasan korupsi harus kita beri masukan," ujar Hendrawan.

Sementara menurut Henry Yosodiningrat, alasan pertama dalam revisi UU KPK adalah bahwa hukum mengikuti perkembangan masyarakat. Henry menjelaskan kondisi masyarakat tahun 2002 berbeda dengan saat ini. Ia pun menilai dalam perjalanannya banyak ditemukan hal yang tidak sejalan dengan semangat saat KPK dibentuk.

Selain itu, ia menegaskan tidak ada upaya untuk pelemahan terhadap KPK. Sehingga ia pun berharap agar masyarakat umum untuk tidak mudah mengatakan bahwa pihak yang ingin merevisi mengatakan pelemahan. KPK. "Tidak ada keinginan lemahkan KPK, ini merupakan upaya kita membangun sistem ideal. Memperkuat lembaga KPK," kata Henry.

KPK MELAWAN - Upaya revisi UU KPK yang dinilai bakal melemahkan lembaga antirasuah itu mendapat penentangan dari KPK sendiri. Pelaksana tugas pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji menegaskan revisi ini tidak perlu.

Terlebih jika dalam revisi itu kewenangan KPK seperti soal penyadapan dikoreksi. Dia mengingatkan agar jangan ada yang mengutak-atik kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Jika masih ada yang ngotot mempersempit kewenangan penyadapan, diduga ada pihak yang takut terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK karena percakapannya tersadap.

"Saya kurang paham pihak-pihak yang bersemangat untuk revisi UU KPK khususnya terkait marwah KPK berupa penyadapan, kemungkinan ada rasa kekhawatiran akan maupun telah jadi korban OTT," kata Indriyanto.

Pengaturan soal kewenangan penyadapan ini termaktub dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf a draft RUU KPK usulan DPR. Di sinilah ada pembatasan terkait harus ada izin dari ketua pengadilan negeri. "Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri." demikian bunyi usulan pasal revisi tersebut.

Jika diberlakukan, maka KPK baru bisa melakukan penyadapan pada tingkat penyidikan. Padahal, selama ini KPK banyak menyadap saat kasus berada di tingkat penyelidikan. Di tahap penyelidikan itu pulalah KPK kerap melakukan OTT. Rekaman sadapan menjadi senjata ampuh dalamOTT.

Sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 huruf a UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang berlaku saat ini, KPK tak perlu izin hakim untuk melakukan penyadapan. Hasilnya, para koruptor termasuk sejumlah oknum hakim berhasil ditangkap, salah satunya berdasarkan rekaman sadapan.

Inilah yang menjadi alasan utama KPK menentang pembatasan tersebut. "Perlu diketahui (yang juga tidak dipahami penegak hukum lainnya) bahwa sesuai Pasal 26 UU Tipikor/ penjelasannya (yang tidak pernah dihapus sejak UU 31/1999 yang diperbaharui di UU 20/2001) sejak proses penyelidikan/penyidikan/penuntutan, diperkenankan melakukan penyadapan atau wiretapping," tegas Indriyanto.

Wajar jika KPK sangat keberatan dengan revisi UU ini. Sebab jika jadi disahkan, maka bukan kewenangan terkait penyadapan saja yang bisa hilang. Pasalnya, revisi itu juga berpotensi mempreteli kewenangan KPK lainnya seperti mengangkat penyidik sendiri, merekrut pegawai, sampai batasan usia hanya 12 tahun.

"UU sekarang sudah cukup baik terkait teknis pencegahan dan penindakan. Memang masalah manajemen struktural saja yang perlu di evaluasi," kata Indriyanto Seno Adji.

SEBAGIAN FRAKSI DUKUNG KPK - Memang tak semua fraksi di DPR yang setuju dengan revisi UU KPK ini. Diantara fraksi-fraksi yang menolak revisi UU KPK, ada Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang paling santer menyuarakan penolakan itu.

PKS beralasan, masih ada agenda penting lainnya yang mesti dibahas. Mulai dari urusan pangan sampai asap. Juga soal ekonomi.

"DPR dan Pemerintah harus berempati dengan kondisi rakyat. Kita tidak boleh berpolemik di tengah rakyat sedang menderita," terang Ketua DPP PKS Bidang Polhukam, Almuzzammil Yusuf, Rabu (7/10).

Menurut Muzzamil, memasukan RUU KPK tiba-tiba di tengah jalan, seakan-akan darurat akan menimbulkan perdebatan yang kontraproduktif. DPR dan Pemerintah harus berempati dengan kondisi rakyat. Kita tidak boleh berpolemik di tengah rakyat sedang menderita.

"Selama korupsi merajalela kita sangat membutuhkan KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan yang bersinergi memberantas korupsi," terang dia.

Al Muzammil mengatakan, kewenangan KPK tidak boleh dikurangi supaya tidak ompong. Malah harus kita perkuat dengan Komite Etik yang permanen supaya jika ada penyelewengan oknum KPK bisa langsung ditindak.

Karena itu, PKS menolak usulan perubahan UU KPK. "Saya melihat perbedaan antar fraksi terlalu tajam dan bisa menjadi bola liar," tutupnya.

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Martin hutabarat juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap usulan revisi UU KPK ini. Ia menilai persoalan revisi ini adalah masalah lama. Ia meminta agar tidak ada lagi upaya untuk mempreteli kewenangan KPK. "Kewenangan KPK jangan dipreteli, karena ini amanat reformasi," kata Martin.

Adapun Jefri Riwu Kore dari Partai Demokrat mengaku heran atas usulan ini. Alasannya, revisi UU KPK menurutnya sudah disepakati akan masuk prolegnas prioritas pada tahun 2016. Namun, saat ini usulan revisi itu kembali menyeruak di tahun 2015.

"Kenapa dipaksakan? Ini akan jadi preseden buruk. Sudah hampir selesai prolegnas. Apakah ada hubungannya dengan Komisi III yang memilih capim KPK?" ungkap Jefri. (dtc)

BACA JUGA: