JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keberadaan vaksin palsu yang diduga telah terdistribusi ke sejumlah wilayah Indonesia terus ditelusuri. Sejauh ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengidentifikasi 12 jenis vaksin yang diduga dipalsukan.

Para pelaku diduga telah memalsukan sejumlah jenis vaksin yang diproduksi oleh perusahaan obat resmi, seperti PT Biofarma, PT Sanofi Grup dan  PT Glaxo Smith Kline (GSK).

"Untuk menelusuri dan mengidentifikasi keaslian produk vaksin di lapangan yang diduga palsu, Maka kami (BPOM) bekerjasama dengan tiga perusahaan farmasi tersebut," kata Bahdar di sela-sela konferensi pers di Aula Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN), Gedung BPOM, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, Selasa (28/6).
 
Bahdar menjelaskan, sejak tahun 2013 perusahaan farmasi GSK pernah melaporkan adanya pemalsuan vaksin yang diproduksi GSK. Laporan tersebut juga telah ditindaklanjuti dan dilakukan proses hukum. Selanjutnya, pada tahun 2016 BPOM kembali mendapatkan laporan dari perusahaan farmasi lainnya yakni, PT Sanofi terkait peredaran vaksin produksi Sanofi yang dipalsukan, langkah yang sama juga dilakukan pihak BPOM untuk menelusuri keberadaan vaksin palsu tersebut.

Seperti tak ingin disalahkan dengan munculnya kasus vaksin palsu. Badar mengklaim, selama ini BPOM tidak tinggal diam. Mereka telah bekerja secara maksimal dalam pengawasan produk vaksin, mulai dari proses produksi hingga dipasarkan ke masyarakat.

Namun terkaitnya adanya kasus vaksin palsu  saat ini, pihaknya telah meminta seluruh balai besar BPOM agar melakukan pemeriksaan dan menelusuri terjadinya vaksin palsu.

Berdasarkan hasil koordinasi dengan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dan BPOM, diketahui daerah-daerah yang ditemukan vaksin palsu diantaranya di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.

Dari hasil penyelidikan sementara adapun produk vaksin yang dipalsukan dari perusahaan PT Biofarma, PT Sanofi Group dan PT. Glaxo Smith Kline, diantaranya;

1.      Vaksin Pediacel

2.      Vaksin Engerix B

3.      Vaksin Tripacel

4.      Vaksin Eruvax

5.      Vaksin PPDRT23

6.      Vaksin TT

7.      Vaksin Penta Bio

8.      Vaksin Campak

9.      Vaksin Herpatitis

10.  Vaksin Polio bOPV

11.  Vaksin BCG

12.  Vaksin Harvix

BIO TERORISME - Mantan Ketua Umum IKatan Dokter Indonesia, Zaenal Abidin menilai   pemalsuan vaksin merupakan tindakan yang sangat jahat dan merusak generasi muda Indonesia. Abidin menyayangkan beredarnya vaksin palsu di tengah-tengah masyarakat.

"Ini sangat bahaya jika pemerintah tidak mengambil tindakan secara tegas, karena akan berdampak pada pertumbuhan anak-anak di Indonesia," kata Zainal kepada gresnews.com,Selasa (28/6).

Untuk itu dia meminta pemerintah bersama instansi terkait untuk memperketat pengawasan bersama, sehingga bisa mengurangi dampak terjadinya peredaran vaksin palsu. "Harus ada  cara deteksi obat atau vaksin illegal serta selundupan obat dari luar," ujarnya.

Sebelumnya pakar kesehatan dr. Dirga Sakti Rambe kepada wartawan mengatakan bahwa pemberian vaksin palsu kepada anak-anak jelas akan sangat berbahaya. Anak-anak yang diberikan vaksin palsu berisiko besar terkena infeksi.

Sebab vaksin palsu tentu tidak dibuat dengan standar kesehatan dan prosedur yang sesuai dan memadai, bahkan dikhawatirkan sama sekali tidak steril. Sehingga jika vaksin diberikan kepada anak-anak berisiko besar masuknya kandungan bakteri dan kuman sehingga anak pun bisa terkena infeksi.

Sementara itu, pengamat ekonomi dan politik Salamuddin Daeng melihat kasus Vaksin palsu yang terjadi saat ini karena lemahnya tanggung jawab pemerintahan terhadap masalah ketahanan dan keamanan nasional.

"Vaksin palsu dapat dikategorikan sebagai tindakan  bio terorisme yang jahat dan pemerintah tidak melakukan pengawasan dengan ketat, entah karena tidak mampu atau sengaja melakukan pembiaran," kata Salamuddin kepada gresnews.com, Selasa (28/6).

Dia menegaskan, kasus vaksin palsu merupakan kegiatan yang membahayakan, jika dibiarkan akan meracuni jutaan anak-anak hanya untuk uang. "Ini merupakan serangan nasional untuk menghancurkan generasi muda," ujarnya.

Salamuddin menduga kasus tersebut melibatkan sindikat yang besar di Kementerian Kesehatan ( Kemenkes) dengan Perusahaan farmasi yang selama ini menjadi sekutu Kemenkes."Jadi mengubah Kemenkes menjadi Toko Obat," jelasnya.

AWAL MULA KASUS - Seperti diketahui Kepolisian melalui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) terus melakukan penelusuran terkait produk vaksin palsu yang telah beredar ke sejumlah apotek, rumah sakit dan Puskesmas di beberapa daerah di Indonesia.

Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar mengungkapkan terungkapnya kasus vaksin palsu ini berawal dari laporan masyarakat yang mengeluhkan balita mereka tetap sakit meski telah divaksinasi. Dari laporan itu, polisi kemudian melakukan penyelidikan.

Pada tanggal 16 Mei 2016, polisi pun menemukan vaksin yang diduga palsu yang dijual oleh sebuah apotek di Bekasi, Jawa Barat. Polisi akhirnya menahan seorang lelaki berinisial  J, yang diduga bertindak sebagai distributor.

Selanjutnya  polisi yang mengembangkan temuan tersebut pada 21 Juni 2016 kembali menemukan vaksin palsu dijual di Apotek Ibnu Sina di kawasan Kramatjati, Jakarta Timur. Dari lokasi itu polisi menangkap seorang pengelolanya.

Dari penelusuran tempat penjualan polisi akhirnya berhasil menangkap salah seorang pembuat vaksin palsu di kawasan Puri Hijau Bintaro, Tangerang. Di lokasi ini polisi menangkap pasangan suami istri yang diduga memproduksi vaksin palsu secara rumahan.

Selanjutnya polisi juga mengungkap pelaku pembuat vaksin palsu lainnya di sebuah rumah di Jalan Serma Hasyim dan Kemang Regency, Bekasi, Jawa Barat. Kedua rumah tersebut diketahui menjadi lokasi pembuatan vaksin palsu, dari lokasi ini polisi menangkap 3 orang tersangka, yang diantaranya merupakan pasangan suami istri.

Selain menangkap distributor dan produsen, penyidik juga mengamankan sejumlah kurir dan pihak percetakan label. Seorang Kurir ditangkap di Jalan Manunggal Sari dan lainnya di Jalan Dilampiri Jatibening, Bekasi.

Para pelaku ini akan dikenakan Pasal 197 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Selain itu juga dikenakan pemberatan Pasal 62 jo Pasal 8 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tak hanya itu, untuk mengusut aset hasil penjualan vaksin palsu itu para tersangka juga sekaligus akan dikenakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)


BACA JUGA: