JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lembaga pemantau penegakan hak asasi manusia dunia, Amnesty International menegaskan sikap kecewa mereka atas langkah represif yang diambil pemerintah Indonesia melaksanakan eksekusi mati dalam 72 jam ke depan. Amnesty mengingatkan, protes global melawan kembalinya hukuman mati saat ini cukup masif.

"Namun itu masih belum terlambat untuk Presiden Joko Widodo untuk menghentikan eksekusi ini dan membangun moratorium atas semua eksekusi mati menuju penghapusan hukuman mati," kata Direktur Riset Kantor Asia Tenggara dan Pasifik Amnesty International Rupert Abbott dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Minggu (26/4).  

Rupert menegaskan, semua individu yang akan eksekusi dihukum mati karena kejahatan narkoba, pelanggaran yang tidak memenuhi syarat sebagai "kejahatan paling serius" yang bisa diterapkan dengan hukuman mati berdasarkan hukum internasional. Selain itu, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati mencegah kejahatan lebih efektif daripada hukuman lainnya.

"Kalau eksekusi ini lanjut, Indonesia akan melanggar hukum dan standar HAM internasional. Standar internasional dengan jelas menetapkan bahwa tidak ada eksekusi harus dilakukan sementara masih ada proses hukum seperti dalam kasus Mary Jane Veloso dan Zainal Abidin," kata Rupert.

Selanjutnya, ujar dia, hukum internasional juga melarang penggunaan hukuman mati terhadap mereka yang memiliki gangguan mental atau pikiran, seperti dalam kasus Brasil Rodrigo Gularte yang telah didiagnosis dengan masalah skizofrenia paranoid. "Amnesty International menentang hukuman mati dalam semua kasus dan dalam keadaan apapun, terlepas dari sifat kejahatan, karakteristik pelaku, atau metode yang digunakan oleh negara untuk melaksanakan eksekusi," tegasnya.

Hukuman mati merupakan suatu pelanggaran terhadap hak atas hidup dan merupakan penghukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Sejauh ini 140 negara telah menghapuskan hukuman mati dalam hukum atau praktek.

Sebelumnya, Indonesia juga dinilai telah melakukan langkah mundur dalam penegakan dan perlindungan HAM di ASEAN dengan menjadi negara yang termasuk rajin melaksanakan hukuman mati. Wakil Indonesia di Komisi ASEAN untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak (ACWC) Lily Purba menjelaskan dari 10 negara anggota ASEAN, hampir semuanya memberlakukan hukuman mati dalam sistem peradilannya.

Tetapi dua negara yaitu Kamboja dan Filipina sudah tidak menerapkan hukuman mati di negaranya untuk pelaku kejahatan narkotika. "Hukuman mati ini merupakan hal yang memprihatinkan karena Indonesia bisa disebut sebagai negara yang cukup maju dalam penegakan HAM di tingkat ASEAN," ujar Lily dalam konferensi pers hukuman mati di gedung Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (24/4) kemarin.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Indonesia untuk Komisi HAM ASEAN (AICHR) Dian Ansyar mengatakan, kecenderungan hukuman mati di ASEAN sebenarnya sejalan dengan perkembangan global untuk menghapuskan hukuman mati. Dari 10 negara ASEAN, Kamboja dan Filipina sudah menghapus hukuman mati dan negara lainnya mengubah hukuman mati secara bertahap.

"Singapura yang sering dianggap sebagai negara yang keras menerapkan hukuman mati saat ini sejak 2013 sudah meninjau ulang kasus terpidana yang dihukum mati untuk kejahatan narkoba dan pembunuhan. Lalu hukuman mati juga sudah mulai diubah ke hukuman yang lebih ringan," ujar Dian pada kesempatan yang sama.

Ia mencontohkan Myanmar yang saat ini sedang melakukan reformasi politik dari pemerintah yang otoriter juga telah menghentikan eksekusi terhadap terpidana mati. Lalu Brunei Darussalam dan Laos juga mulai menghentikan praktik hukuman mati. Begitu Indonesia yang selama 5 tahun terakhir pemerintahan melakukan moratorium hukuman mati.

Menurut Dian, dengan kembali memulai eksekusi hukuman mati menjadi sebuah langkah mundur bagi Indonesia. Sebab Indonesia menjadi negara yang sejak lama mempromosikan HAM dan demokrasi di ASEAN. "Eksekusi mati ini mengakibatkan posisi wakil Indonesia di ASEAN menjadi sulit," ujarnya.

BACA JUGA: