JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lowongan untuk menjadi hakim ad hoc untuk pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) ternyata sepi peminat. Mahkamah Agung pun sampai harus memperpanjang masa pendaftaran hakim ad hoc tipikor yang seharusnya terakhir ditutup pada hari ini, Kamis (23/10), menjadi tanggal 7 November mendatang. Pasalnya baru terdapat 19 hakim tingkat pertama yang mendaftar sedangkan untuk tingkat banding baru 12 orang.

Apa pasal sehingga lowongan menjadi hakim ad hoc sepi peminat? Ketua Tim 11 Hakim Ad Hoc Tipikor Gazalba Saleh menilai minimnya minat masyarakat untuk mendaftar menjadi hakim ad hoc tipikor dilatarbelakangi empat faktor. Faktor utamanya adalah terdapat dalam pasal 122 huruf e UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam beleid itu disebutkan, hakim ad hoc bukanlah pejabat negara.

"Saya pikir statusnya yang bukan lagi sebagi pejabat negara pasca terbitnya Undang-Undang ASN sangat berpengaruh pada peminat calon Hakim Ad Hoc," kata Gazalba kepada Gresnews.com, Kamis (23/10).

Karena itu, kata Gazalba, dia dan rekan-rekannya mengajukan permohonan pengujian pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK membatalkan Pasal 122 huruf e yang menyatakan hakim ad hoc bukan pejabat negara.

Para pemohon menilai pasal tersebut imperfect (tidak sempurna) karena materi muatan diatur dalam aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif. "Sedangkan hakim ad hoc termasuk dalam domain yudikatif yang sudah diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman," ujarnya.

Akibat pasal tersebut, menurut mereka, setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan hakim ad hoc menjadi ilegal dan batal demi hukum. "Karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara," ujar Gazalba menambahkan.

Selain faktor utama tadi, ada juga faktor lain yang sifatnya administratif yaitu waktu pendaftaran yang terlalu singkat, sementara dokumen yang diminta terlalu banyak. Kedua, calon pendaftar rata-rata sudah pesimis terhadap hasil seleksi karena jumlah yang lulus sangat sedikit.

"Dua tahun belakangan ini yang lulus sangat sedikit dibanding jumlah pendaptar. Tahun 2012 yang lulus hanya satu orang dan ditahun 2013 yang lulus  4 orang," kata Gazalba yang juga hakim ad hoc Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Alasan ketiga, ada kekwatiran ditempatkan jauh dari keluarga. Akibat alasan-alasan inilag banyak hakim yang enggan mendaftar sebagai hakim ad hoc tipikor. Padahal MA mencatat kebutuhan hakim ad hoc tipikor cukup tinggi. "Kebutuhan hakim ad hoc sangat diperlukan untuk mengadili perkara bersama-sama hakim karier. ," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur, Selasa (21/10) kemarin.

Saat ini, lanjutnya terdapat 33 Pengadilan Tipikor tingkat pertama dan 33 tingkat banding yang tersebar di ibukota provinsi. Keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan tindak pidana korupsi diatur dalam Undang Undang Nomor 46 Tahun 2009. Disebutkan, Pengadilan Tipikor bersidang dengan Hakim Majelis yang terdiri dari hakim karir dan hakim ad hoc. Mereka berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Hakim ad hoc ini berada di pengadilan tipikor tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul ketua Mahkamah Agung dalam masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat sekali lagi dalam satu masa jabatan. (dtc)

BACA JUGA: