JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah borok korupsi yang terjadi di PT Pos Indonesia kian terkuak. Setelah Kejaksaan Agung mengungkap kasus korupsi pengadaan Portable Data Terminal (DPT) di perusahaan negara itu, kali ini Kejaksaan Agung kembali menemukan dugaan korupsi terkait biaya pengiriman Kartu Perlindungan Sosial (KPS) tahun 2013.

Penyidik Kejaksaan Agung telah menyidik kasus ini sejak awal Januari 2016 berdasarkan Surat Perintah Penyidikan nomor Print-01/F.2/Fd.1/01/2016. Sejauh ini telah ada tiga orang yang ditetapkan tersangka. Mereka adalah Zulkifli Assagaf bin Salim (mantan Senior Vice President PT Pos), Arjuna (karyawan BUMN) dan Pamungkas Tedjo Asmoro.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung M Rum mengatakan, tim penyidik bahkan telah memeriksa dua tersangka Arjuna dan Zulkifli. Setelah dilakukan pemeriksaan secara intensif sejak pagi, tim penyidik akhirnya menahan keduanya dengan alasan untuk memudahkan pemeriksaan.

Keduanya digelandang ke Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung sekitar pukul 18.30 WIB. Arjuna maupun Zulkifli yang mengenakan rompi tahanan berwarna pink itu memilih bungkam saat dicecar wartawan soal kasus tersebut.

"Tersangka ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung sampai 20 hari ke depan atau 9 Agustus 2016, agar tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti," kata M Rum di Kejaksaan Agung, Kamis (21/7).

Menurut M Rum, kasus itu bermula dari munculnya Surat Izin Tambahan Biaya Pendistribusian KPS dari 10 wilayah area kantor pos sebesar Rp21,7 miliar. Surat ini ternyata tanpa adanya detail/rincian kekurangan biaya dimaksud dari UPT yang direkapitulasi oleh kepala area operasi.

Surat itu ditandatangani tersangka Zulkifli Assagaf selaku Ketua II Satgas KPS Pusat. Selanjutnya kepala area operasi menindaklanjutinya dengan mengeluarkan surat keputusan tentang izin tambahan biaya operasional pendistribusian kepada masing-masing UPT.

Atas dasar surat izin itulah, kepala UPT mengeluarkan kas perusahaan dengan alasan untuk pembayaran honor petugas pengantar KPS dan sewa kendaraan berdasarkan format yang dipresentasikan Tedjo ketika pertemuan di Hotel Bilique, Lembang.

"Namun pada kenyataannya sebagian dana itu digunakan antara lain untuk membeli telepon seluler dan diserahkan kepada pimpinan area operasi. Sebagai bukti pertanggungjawaban dana, para kepala UPT terpaksa membuat bukti dengan kuitansi palsu atau kuitansi pembayaran yang di-mark up," kata Rum.

KASUS PDT - Pada tahun yang sama, Kejaksaan Agung juga telah membongkar kasus pengadaan PDT. Dari hasil penghitungan BPKP ditaksir kerugian negara kasus ini mencapai Rp9,56 miliar.

Ada lima tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Direktur Utama PT Pos Indonesia Budi Setiawan, karyawati PT Datindo Infonet Prima Sukianti Hartanto, Direktur PT Datindo Infonet Prima Effendy Christina, dan Muhajirin selaku Penanggung Jawab Satuan Tugas Pemeriksa dan Penerima Barang di PT Pos Indonesia Bandung. Selain itu ada pula Senior Vice Presiden Technologi Informasi PT Pos Indonesia Budhi Setyawan.

Kasus ini telah disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung. Bahkan para terdakwa telah divonis bersalah dengan hukuman rata-rata satu tahun kurungan.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Senin, 26 Oktober 2015, majelis hakim menjatuhkan vonis 1 tahun penjara terhadap seluruh terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat portable data terminal (PDT) di PT Pos. Selain vonis kurungan, para terdakwa juga diwajibkan membayar denda Rp100 juta subsider satu bulan kurungan.

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa seluruh terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi pada dakwaan primer, namun terbukti melanggar Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 3 jo Pasal 18 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dalam dakwaan subsidair.

Sementara tim kuasa hukum PT Pos Indonesia (Persero) menyatakan akan mengajukan banding atas putusan terhadap bekas pejabat PT Pos tersebut.

Kasus pengadaan PDT berawal dari proyek pengadaan alat PDT yang dicanangkan pada Mei hingga Agustus 2013. Alat yang bentuknya mirip telepon genggam itu akan digunakan pengantar pos untuk mengirim barang kepada penerima. Nantinya, data yang berasal dari pengantar pos tersebut akan terkirim ke server pusat.

PT Pos menjalin kontrak dengan PT Datindo Infonet untuk pengadaan alat tersebut. Untuk pengadaan itu PT Pos mengeluarkan dana hingga Rp10,5 miliar. Dana itu didapat PT Pos dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Namun Kendala terjadi dari 1725 alat PDT yang dibeli hanya 50 alat yang berfungsi, dan alat tidak sesuai spesifikasi yang tertera dalam kontrak. Salah satu kekurangan dalam alat tersebut adalah tidak adanya GPS dan daya baterai yang hanya bertahan selama tiga jam. Padahal dalam kontrak, harusnya alat tersebut memiliki GPS dengan daya tahan baterai mencapai delapan jam.

BACA JUGA: