JAKARTA, GRESNEWS.COM - Amnesty Internasional menilai, pihak berwenang di Indonesia telah meningkatkan penggunaan serangkaian undang-undang penodaan agama untuk memenjara para individu karena keyakinan mereka. Hal menurut lembaga yang kerap memperjuangkan isu hak asasi manusia itu, telah menyumbang iklim intoleransi secara intensif di negeri ini.

Lewat laporannya bertajuk "Prosecuting Beliefs" atau mengadili keyakinan, Amnesty International menunjukkan bahwa jumlah angka penghukuman penodaan agama menjulang tinggi selama satu dekade pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dibandingkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Jumlah para individu yang telah dipenjara – beberapa tidak lebih dari sekedar bersiul ketika sembahyang, menaruh opininya di laman Facebook, atau menyatakan bahwa mereka menerima "wahyu dari Tuhan".

"Undang-undang penodaan agama di Indonesia menantang hukum dan standar-standar hukum internasional dan harus dicabut segera. Kami telah mendokumentasikan lebih dari 100 individu yang telah dipenjara semata-mata hanya karena secara damai mengekspresikan keyakinan-keyakinan mereka. Paling tidak masih ada sembilan yang masih dipenjara,  mereka semua adalah tahanan nurani (prisoners of conscience) dan harus dibebaskan segera dan tanpa syarat," kata Direktur Riset Asia Tenggara dan Pasifik Amnesty International Rupert Abbott dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Sabtu (22/11).

Karena itu, kata Rupert, pemerintahan baru Presiden Joko Widodo punya kesempatan untuk membalik kecenderungan yang bermasalah ini dan mengawal era baru penghormatan terhadap hak asasi manusia. "Tidak ada satu orang pun harus hidup dalam ketakutan hanya karena mengekspresikan pandangan agama dan keyakinannya," ujarnya.

UU Penodaan Agama di Indonesia merupakan ketentuan hukum yang umum digunakan untuk mengadili orang-orang untuk penodaan agama. Beleid ini telah menjadi produk hukum sejak 1965 dan merupakan bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). UU ini menurut Amnesty International, sangat jarang digunakan hingga Presiden Yudhoyono berada di kekuasaan.

Sejak 2004, Amnesty International telah mendokumentasikan paling tidak 106 individu dipidana di bawah undang-undang penodaan agama, beberapa dipidana hingga lima tahun penjara. Banyak dari mereka yang dipidana dianggap memiliki pandangan dan keyakinan religius minoritas.

Kasus-kasus penodaan agama hampir semuanya diajukan pada tingkat lokal, di mana aktor-aktor politik, kelompok-kelompok Islam garis keras, dan aparat keamanan kadang-kadang berkolusi untuk menyasar para kelompok minoritas.  Sebuah tuduhan atau rumor kadang-kadang sudah cukup untuk membawa seseorang ke pengadilan atas tuduhan penodaan agama.

Banyak individu diganggu dan diserang oleh kelompok-kelompok garis keras sebelum mereka ditangkap, dan diadili dalam suatu persidangan dengan atmosfer yang intimidatif. Pemidanaan seringkali dijustifikasi atas dasar ´menjaga ketertiban umum´. "Pemerintahan Indonesia sebelumnya gagal untuk mengakhiri praktek semacam ini," ujar Rupert.

Kasus Tajul Muluk, seorang pemimpin Muslim Syiah dari Jawa Timur yang saat ini sedang menjalani hukuman empat tahun karena penodaan agama, menurut Rupert, merupakan kasus yang emblematik. Tajul Muluk mengelola pesantren di kampungnya di Sampang, ketika pada 2006 para pemimpin Muslim Suni lokal mulai menentang ajaran-ajarannya yang dinyatakan "menyimpang".

Pada Desember 2011, ratusan warga Syiah terusir dari rumah-rumah mereka dalam sebuah serangan massa. Pada Maret 2012, polisi lokal memulai kasus penodaan agama terhadap Tajul Muluk, dan dia dihukum dua tahun penjara, yang kemudian ditambah menjadi empat tahun.

"Kasus Tajul Muluk menggambarkan sebuah gambaran yang sangat jelas bagaimana kelompok-kelompok minoritas di Indonesia menghadapi ancaman dan serangan dari banyak pihak berbeda. Undang-undang penodaan agama menambah iklim ketakutan, dan memberikan kelompok-kelompok garis keras satu alat lagi untuk menindas mereka yang menjadi anggota kelompok minoritas agama," ujar Rupert Abbott.

UU Penodaan Agama telah menginspirasi sejumlah undang-undang yang baru, yang digunakan untuk melarang kebebasan beragama. Misalnya UU ITE, telah digunakan untuk menyasar orang-orang untuk konten-konten yang "menodai agama", yang diunggah ke dalam jaringan media social.

Alexander An, seorang calon pegawai negeri sipil berusia 30 tahun, pada Juni 2012 dipidana dua setengah tahun penjara karena mengunggah laman Facebook dari kelompok ateis setempat pada awal tahun tersebut. Sebelum vonis dijatuhkan, dia harus mendapat perlindungan polisi setelah sekelompok orang marah datang ke tempat kerjanya dan mengancam akan memukulinya.

Karena itu, Amnesty International mendesak pihak berwenang Indonesia  untuk mengambil langkah segera untuk mencabut undang-undang penodaan agama. "Ruang yang menyempit bagi kebebasan beragama di Indonesia selama dekade terakhir ini sangat mengkhawatirkan. Pemerintahan yang baru di bawah Presiden Joko Widodo memiliki sebuah kesempatan untuk membalik situasi untuk isu ini. Kesempatan ini tidak boleh dilewatkan," ujar Rupert.

UU Penodaan Agama sendiri pernah digugat beberapa lembaga hukum dan HAM seperti Elsam, PBHI dan beberapa tokoh agama ke Mahkamah Konstitusi. Pasal yang dimintakan untuk diuji diantaranya adalah Pasal 1, Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 4.

Pasal 1 berisi larangan untuk melakukan kegiatan yang dinilai menodai suatu agama. Sementara pasal-pasal berikutnya memuat sanksi-sanksi atas larangan itu termasuk sanksi pidana. Sayangnya gugatan ini dimentahkan MK. Majelis hakim MK berpendapat, para pemohon tidak dapat membuktikan pasal-pasal yang diujikan melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama, dan bersifat diskriminatif serta berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.

Majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Mahfud MD menyatakan, UU tersebut tidak membatasi kebebasan beragama, sebagaimana yang diargumentasikan pemohon. Sebaliknya, undang-undang ini melarang mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan atau penodaan agama atau pokok-pokok ajaran agama yang ada di Indonesia.

Majelis hakim juga menilai, undang-undang yang dibuat pada era demokrasi terpimpin pada 1965 ini bersifat antisipatif terhadap tindakan anarkis. Dengan adanya undang-undang ini, penegak hukum memiliki sandaran hukum ketika menyelesaikan adanya tindakan anarkis terhadap pelaku penganut agama di Indonesia.

BACA JUGA: