JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi VIII DPR saat ini tengah menggodok revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam UU tersebut, terdapat beberapa pasal yang harus direvisi lantaran dikhawatirkan menimbulkan celah korupsi. Poin pertama yang disasar menyoal rekening haji para jamaah yang ditarik ke rekening Menteri Agama (Menag) yang tak berakad.

"Ke depan, rekening jamaah tetap menjadi rekening jamaah," ujar anggota Komisi VIII DPR Lalu Gede Syamsul Mujahidin di Gedung DPR, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Selama ini, total seluruh dana haji sebesar lebih dari Rp73 triliun dimasukkan ke dalam rekening Menteri Agama. Hasil dari penempatan sukuk (obligasi syariah) sebesar Rp4 triliun per tahun itu harusnya digunakan untuk mengurangi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) peserta haji setiap tahunnya.

Besaran BPIH yang awalnya berkisar antara Rp45-50 juta, saat ini menjadi sekitar Rp33 juta. Kekurangan ini ditutupi dari dana bagi hasil uang calon haji, singkatnya, calon haji yang belum berangkat mensubsidi calon haji yang berangkat setiap tahunnya. "Sebenarnya ini haram, sayang masyarakat tidak memahami. Para pemangku kebijakan jelas bersalah," kata Lalu Gede.

Ia berharap ke depan tak ada lagi pengalihan rekening dari calon haji ke rekening Menag. Namun, rekening para jamaah tetap dipegang masing-masing sehingga dana bagi hasil dari dana yang disetorkannya akan membawa manfaat langsung karena masuk langsung ke rekening sendiri.

Perhitungannya, jika jamaah menyetor dana haji sebesar Rp25 juta dan mendapat bagi hasil sukuk sebesar 8 persen per tahun, maka dana bagi hasil sejumlah Rp2 juta akan langsung masuk ke rekening jamaah per tahunnya. Dengan asumsi masa menunggu selama 15-25 tahun maka jamaah bisa mendapatkan Rp30-50 juta saat keberangkatan.

"Jamaah tidak lagi menambah biaya pelunasan, bahkan mendapatkan dana tambahan yang bisa digunakan," katanya.

SISTEM TAK ADIL - Ketua Komisi VIII Saleh Parthaonan Daulay mengatakan, pembayaran biaya haji selama ini dibagi menjadi dua, yakni direct cost yakni pembayaran jamaah yang diambil dari setoran jamaah murni dan indirect cost, yakni uang manfaat selama masa tunggu. "Masing-masing komponen diambil dari akumulasi keuntungan bunga bank yang diperoleh dari setoran jamaah," katanya kepada gresnews.com, Senin (20/7).

Dengan uang manfaat, tentu ada keuntungan setoran calon jamaah yang dibagikan sebagai penambahan untuk menutupi ke calon jamaah yang lain. Hal ini memang telah menimbulkan perdebatan sejak lama.

Namun, jika semua pembayaran dibebankan kepada jamaah tanpa menggunakan uang manfaat maka calon jemaah akan membayar lebih mahal dan memberatkan. "Yang ditambahkan manfaat setoran jamaah, bagi hasilnya diambil nanti. Ini harus membawa manfaat, seperti di Malaysia, sisa setoran dikembalikan ke jamaah," katanya.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Sri Hartati menyatakan, dana haji untuk subsidi silang tersebut seharusnya tak terjadi. Sebab, dana manfaat dari calon haji yang berangkat pun telah mengendap lama. Apalagi, saat terjadi kekurangan, para calon jamaah haji ini masih ditarik dana tambahan.

"Yang menjadi persoalan selama ini memang jumlah dana optimalisasi tak pernah terpublikasi," ujarnya kepada gresnews.com.

Dana optimalisasi berasal dari setoran awal seluruh para calon jemaah haji. Selama menunggu proses keberangkatan, Kemenag mengelola dana itu dalam dengan berbagai cara agar berakulumasi untuk kemudian dijadikan subsidi kepada jamaah haji saat tiba waktu keberangkatan.

Jadi, BPIH yang disepakati pemerintah dan DPR tidak berasal dari biaya setoran awal para jamaah. Tapi, mengambil dana dari setoran para calon jamaah haji yang sampai saat ini masih menunggu antrean atau masih berproses untuk mengumpulkan biaya haji.

Sayangnya, sistem ini dinilai tak adil lantaran setiap jamaah haji memiliki waktu penyetoran dan besaran yang berbeda. Seharusnya para calon jamaah mendapatkan biaya optimalisasi sesuai berdasarkan besaran setoran dan masa tunggunya. "Para calon jamaah yang mengetahui setoran awalnya digunakan untuk subsidi jamaah haji yang berangkat pun belum tentu rela," tegas Sri.

BADAN HAJI - Mengatasi berbagai kendala terkait pengelolaan dana haji yang tidak adil ini, Komisi VIII pun bertekad akan merealisasikan terbentuknya Badan Haji sehingga operator dan regulator tidak lagi tumpang tindih. "Kita juga akan berupaya untuk menambah kuota haji. Karena dibandingkan dengan China, Indonesia dengan populasi Muslim terbesar masih kalah banyak kuotanya," ujar Lalu Gede.

Penarikan ke rekening Menag yang selama ini dilakukan, menurut dia, memang rancu. Sebab tentu rekening ini bercampur dengan dana-dana dari rekening pembiayaan aktivitas lain.

Badan yang nantinya akan berdiri sendiri dan tak berada di bawah kementerian agama ini akan mengelola dana haji mulai dari jumlah setoran hingga dana optimalisasinya akan jelas dipublikasikan. "Pengelolaan dana haji yang tak atas nama perorangan ini yang harus dijelaskan," katanya.

Penyelenggraan haji dengan adanya badan haji tersebut menurutnya akan lebih bisa diefisiensikan. Badan tersebut dapat melobi penginapan atau fasilitas yang digunakan setiap tahunnya untuk membuat kontrak jangka panjang dengan potongan harga khusus. Dengan begitu, biaya haji akan lebih bisa diefisiensikan lagi.

Sementara itu, menurut Sri Hartati, selama ini, dana yang masuk ke rekening Menag termasuk dana optimalisasi dan dana umat. Sayangnya penarikan ini tak dibarengi transparansi, bahkan terkadang jamaah masih harus membayar biaya kekurangan. "Mana yang disubsidi harus dijelaskan, transparan, jika ada kelebihan pun maka harus dikembalikan ke jamaah," katanya.

Sri kemudian menceritakan panjang lebar, dari berbagai kasus, misalnya saja yang menimpa mantan Menag Suryadharma Ali dan Said Agil Munawar, yang sama-sama terjerat kasus korupsi dana abadi umat atau DAU.

Dalam kasus tersebut, SDA telah menyelewengkan DAU sebesar Rp1,2 triliun sedangkan Munawar diganjar hukuman 5 tahun penjara dalam kasus DAU tahun 2005 senilai Rp700 miliar. "Hampir setiap Menag berganti pasti bermasalah dengan dana haji, karena ini kurang transparan, sehingga banyak potensi celah penyelewengan," katanya.

CELAH KORUPSI - Korupsi di Kementerian Agama bukan lagi hal baru. Selain ada penyimpangan pada DAU yang dilakukan kedua menterinya berturut-turut. Komisi VIII pun mencium adanya dugaan permainan dalam daftar tunggu keberangkatan haji. Dengan uang Rp5-10 juta, seorang calon haji bisa memajukan daftar keberangkatannya.

Sistem pencegahan yang dibuat selama ini juga dianggap tak mampu mengatasi berbagai penyelewengan. "Sistem ini yang buat manusia, jadi tentu bisa diubah. Di Kemenag, orang cuma tidak berani mengubah isi Alquran saja," ujar Lalu Gede.

Biaya sogok untuk memajukan daftar tunggu ini juga disinyalir lebih besar untuk kepesertaan Haji Plus hingga mencapai Rp20 juta. Dugaan ini pun sudah pernah disampaikan bukti-buktinya ke KPK, tapi belum pernah ada tindak lanjut.

Mantan Dirjen Binmas Islam dan Urusan Haji (BIH) Departamen Agama Taufik Kamil pun terseret kasus korupsi sisa dana penyelenggaraan haji. Pada tahun 2011-2012, juga terdapat kasus Korupsi Pengadaan Kitab Suci Alquran. Dimana proyek pengadaan sebanyak 653.000 eksemplar. Dengan nilai proyek pada tahun 2011 sebesar Rp20,5 miliar dan tahun 2012 sebesar Rp55 miliar.

Dalam kasus ini, negara dirugikan Rp27 miliar, oknum yang berhasil diseret membawa nama Wakil Menteri Agama Abdul Karim, serta Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama Ahmad Jauhari. Status mereka divonis oleh Pengadilan Tipikor 8 tahun karena terbukti bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Selanjutnya, daftar kasus korupsi juga mampir di Depag Jayapura, Papua pada tahun 2009 untuk Dana bantuan Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI yang diperuntukkan bagi 22 pondok pesantren yang ada di Papua. Dana ini berdasar permohonan bantuan dana yang diajukan pondok-pondok pesantren kepada Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI.

Terakhir, kasus Korupsi pengadaan perlengkapan laboratorium IPA Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah 2010 yang nilainya mencapai Rp77 miliar. "Saya meminta aparat hukum membongkar segala praktik manipulasi maupun korupsi di lingkungan Kementrian Agama, terutama di Dirjen PHU," pungkas Lalu Gede.

BACA JUGA: