JAKARTA, GRESNEWS.COM - Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini memang berbeda. Sebelumnya, penangkapan yang dilakukan penyidik menyasar kasus-kasus besar dengan jumlah hingga mencapai puluhan hingga ratusan miliar.

Selain itu, beberapa pihak yang ditangkap juga mempunyai nama besar. Contohnya Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang satu paket dengan suami Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, Tubagus Chaeri Wardhana atau Wawan. Dan pada perkembangannya, Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten yang juga kakak kandung Wawan juga ikut terseret.

Namun akhir-akhir ini, KPK seakan menyabet seluruh perkara korupsi hingga skala kecil. Mungkin untuk kasus Irman Gusman bisa sedikit dimaafkan, karena meskipun uang suap hanya Rp100 juta, Irman merupakan pejabat publik yakni Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Seakan tak sadar dengan segala kewenangannya yang lex specialis, KPK terus melakukan kesalahan yang sama dengan menjerat beberapa perkara yang seharusnya bisa ditangani penegak hukum lain seperti Kepolisian dan juga Kejaksaan Agung.

Hal itu terlihat dengan penangkapan yang dilakukan pada Sabtu lalu. Tim penyidik menangkap seorang anggota DPRD Kebumen dan pegawai dinas dalam dugaan kasus korupsi di wilayah setempat. Dan dari lokasi penangkapan, KPK mengamankan uang hanya sebesar Rp70 juta.

Ahli Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mempertanyakan berbagai penangkapan yang dilakukan KPK dengan hanya menggarap koruptor kelas teri. Menurut Zainal, seharusnya hal tersebut bisa dikerjakan penegak hukum lain seperti Kejaksaan ataupun Kepolisian.

"Mohon maaf kalau KPK rajin OTT kecil-kecilan di daerah kita belum lihat efeknya," terang Zainal saat diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Selasa (18/10).

Meskipun begitu, ia berharap tangkap tangan kelas teri ini bisa dirasakan efeknya di kemudian hari. "Tapi mungkin baru bisa terasa 1-2 tahun ke depan," pungkas Zainal.

SEMATA PENCITRAAN - Sementara itu Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif mempunyai alasan menggarap beberapa kasus korupsi kecil. Syarif menceritakan awal mula kejadian ini semenjak dirinya dan empat komisioner lain terpilih menjadi pimpinan KPK.

Tak lama setelah terpilih, ia dan koleganya berbicara dengan Presiden Joko Widodo. "Kami mau bahwa Index Perception Corruption (maksudnya Corruption Perception Index/CPI) bisa 50, terus (Presiden Joko Widodo tanya) apa tidak terlalu tinggi itu?" ujar Syarif menceritakan pertemuan tersebut.

Kemudian ia mencoba meyakinkan presiden jika pihaknya bisa mencapai angka tersebut asal mendapat dukungan penuh dari pemerintah. "Langsung beliau bilang kalau begitu 1000 persen, itu presiden saat pelantikan," tutur Syarif.

Para komisioner, kata Syarif berpendapat untuk memperoleh angka 50 dalam CPI pihaknya harus turun tangan menangani berbagai korupsi kecil. Salah satunya yaitu terkait dengan adanya berbagai pungutan liar baik di instansi maupun lembaga negara.

"Oleh karena itu kami berpikir bahwa untuk mendapatkan angka 50 itu yang paling berpengaruh sebenarnya adalah korupsi-korupsi kecil itu yang pungli-pungli itu," terang Syarif.

Direktur Program Transparency International Indonesia, Ilham Saenong, pada Rabu, 27 Januari 2016 lalu merilis Indeks Persepsi Korupsi di seluruh negara di dunia. Untuk Indonesia menempati peringkat ke 88 dengan skor CPI 36.

Skor tersebut meningkat dua poin dari tahun 2014 yang berada di peringkat ke 107. Ilham mengatakan, peningkatan CPI Indonesia ini dipengaruhi oleh akuntabilitas publik yang meningkat dan juga pencegahan korupsi yang dinilai efektif. "KPK sangat berperan," kata Ilham ketika itu.

Ilham menjelaskan, peringkat pada negara-negara tersebut merupakan gambaran terhadap daya tahan dan upaya pemerintah masing-masing beserta masyarakatnya dalam menekan korupsi. Skor rata-rata tahun ini adalah 43. Artinya skor Indonesia masih di bawah rata-rata skor persepsi dunia. Di Asia Tenggara, Indonesia ada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.

BACA JUGA: