JAKARTA, GRESNEWS.COM – Keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam seleksi pengangkatan hakim dinilai berbenturan dengan peran Mahkamah Agung (MA) yang selama ini merekrut dan mengangkat sendiri hakim-hakimnya. Dengan keterlibatan KY itu, perekrutan dan pengangkatan hakim justru dinilai menjadi tidak optimal karena ada dua lembaga yang mengatur proses yang sama.

Ketua I Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Suhadi mengatakan, semangat reformasi menangkap ketika suatu hal ditangani banyak pihak maka hasilnya akan lebih baik. Tetapi dalam konteks seleksi pengangkatan hakim, dia tidak menilai seperti itu. Menurutnya, dengan adanya dua lembaga yang mengatur soal pengangkatan hakim maka bisa terjadi kemungkinan bentrokan kepentingan dan kewenangan.

"Dua kepala itu akan sulit disatukan. Pimpinan MA berpikir seperti ini, pimpinan KY berpikir lain. Apalagi pimpinan KY ada tujuh orang yang antara satu dengan yang lainnya omongannya berbeda-beda dalam satu hal. Jadi sulit dicapai hasil optimal," ujar Suhadi saat dihubungi Gresnews.com, Sabtu (18/4).

Suhadi membandingkan persoalan sengketa pengangkatan hakim dengan kewenangan pemberantasan korupsi antara polisi, kejaksaan, dan komisi pemberantasan korupsi (KPK). Menurutnya, dengan mengambil contoh kasus penetapan tersangka dugaan korupsi Komjen Budi Gunawan, menunjukkan dalam satu pekara jika ditangani dua lembaga maka kemungkinan terjadi bentrokan besar seperti yang dialami kepolisian dan KPK.

"Padahal semangat reformasi dengan banyak yang menangani kasus korupsi maka akan lebih banyak menangkap pelaku korupsi," kata Suhadi berargumen.

Suhadi menceritakan saat era Orde Baru, seleksi hakim dilakukan melalui Departemen Kehakiman dan Departemen Agama. Lalu sejak reformasi 1999, penyelenggara negara ditertibkan dan MA yang memimpin badan yudikatif diserahi tugas melakukan seleksi hakim terkait tiga aspeknya yaitu man, money, material.

"Dengan diserahkannya seluruh persoalan seleksi hakim ke MA, persoalan hakim menjadi satu atap di bawah MA. Sejak reformasi hingga kini MA berhasil membenahi semua hal terkait kehakiman mulai dari fasilitas gedung pengadilan hingga pendidikan hakim," tegas Suhadi.

Untuk pendidikan hakim, misalnya, sebelum reformasi hakim hanya memiliki pegangan dari satu lembar surat dari kementerian kehakiman. Kini hakim dididik 2,5 tahun sehingga badan peradilan lebih terjamin dan terpelihara independensinya.

Ia juga mencontohkan lembaga lainnya dalam konteks criminal justice system, polisi dan jaksa direkrut sendiri oleh lembaganya masing-masing dan tanpa campur tangan pihak lain sehingga ia mengharapkan hal serupa pada lembaga kehakiman yang berada di bawah MA. "Kenapa MA yang murni ini dicerai-berai?" lanjutnya.

Saat ditanya gugatan IKAHI terkait dengan menghindarnya MA dari pengawasan KY, ia membantahnya. Menurutnya seleksi hakim sama sekali tak ada hubungannya dengan pengawasan KY. Sebab selama ini Majelis Kehormatan Hakim (MKH) di dalam MA juga lebih banyak terdiri dari unsur KY sebanyak empat orang dan unsur MA hanya tiga orang.

Menanggapi hal ini, pada kesempatan terpisah Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri menjelaskan persoalan seleksi pengangkatan hakim sebenarnya sudah diatur dalam draf kesepakatan peraturan bersama antara KY dan MA. Ia mengklaim baik KY maupun MA sudah sama-sama menyetujui substansi draf tersebut dan hanya tinggal menunggu tandatangan dari kedua belah pihak. Tapi pihak MA tidak juga mau menandatangani draf tersebut hingga akhirnya muncul gugatan uji materi untuk menghapus kewenangan KY dari seleksi pengangkatan hakim di MK.

"KY dianggap tidak perlu terlibat dalam rekrutmen hakim karena hanya berwenang dalam pengawasan kode etik hakim. Tapi kewenangan menjaga bisa dilakukan dari sejak awal untuk mendapatkan ‘bayi’ hakim yang sehat," ujar Taufiq.

Taufiq pun menyatakan dalam konteks perekrutan sebenarnya justru KY yang lebih berwenang dibandingkan MA. Sebab seleksi hakim agung yang merupakan ‘bapak’ dari semua hakim saja diangkat oleh KY. Apalagi hakim yang berada di bawah hakim agung.

Untuk diketahui, sejumlah hakim agung yang tergabung dalam IKAHI diantaranya Imam Soebechi, Suhadi, Abdul Manan, Yulius, Burhan Dahlan, dan Soeroso Ono mengajukan gugatan uji materi Pasal 14A Ayat (2) UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A Ayat (2) UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara di Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut diajukan lantaran KY dianggap tidak berwenang dalam seleksi pengangkatan hakim.

BACA JUGA: