JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah putusan Makamah Konstitusi (MK) terkait pengajuan uji materi dinilai kerap menimbulkan pro-kontra dan multi tafsir. Terutama bagi para pihak yang terkait dengan uji materi tersebut, baik masyarakat, birokrat hingga DPR. Dua contoh kasus putusan MK dinilai multi tafsir dan menimbulkan pro-kontra adalah putusan terkait perkara nomor: 83/PUU-XI/2013 dan nomor: 100/PUU-XI/2013 tentang penanganan lumpur lapindo dan perkara nomor 100/PUU-XI/2013 tentang sosialisasi "Empat Pilar Kebangsaan dan Bernegara"

Putusan perkara nomor: 83/PUU-XI/2013 terkait uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2013, terkait penanggulangan lumpur Lapindo. Serta putusan nomor: 100/PUU-XI/2013 terkait uji materi Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (Parpol), terkait sosialisasi ´Empat Pilar ´. Hingga kini putusan tersebut menjadi polemik.

Menurut peneliti pada Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar ada tiga hal yang menyebabkan putusan MK diinterpretasikan berbeda. Pertama,  putusan MK itu sendiri yang multiinterpetatif. Kedua, MK lepas tangan terhadap putusannya sendiri. Ketiga, budaya para birokrat, DPR hingga pihak terkait uji materi di Indonesia sendiri yang tidak taat terhadap hukum.

"Menurut pandangan saya, faktor ketigalah yang paling dominan terjadi sehingga penafsiran dilakukan menurut versinya sendiri," kata Erwin kepada Gresnews.com, Rabu (16/4).

Erwin mengatakan,  birokrat, DPR dan pihak terkait uji materi cenderung tidak bisa berlapang dada menerima putusan MK yang telah membatalkan undang-undang tertentu. Dikarenakan berkaitan  kepentingan birokrat,  DPR atau pihak terkait uji materi itu sendiri. Akibatnya, dalam tataran praktek, terjadi upaya mengakali putusan MK dengan menafsirkan putusan tersebut sesuai kepentingan mereka.

Agar multitafsir atau multiinterpetatif itu tidak terus berulang, Erwin mengusulkan agar MK membuat semacam tim dan juru bicara yang berada di bawah pengawasan hakim-hakim konstitusi. Fungsinya bisa berupa perangkat MK untuk menganalisa ditaati atau tidaknya putusan-putusan MK oleh pihak yang terkait dengan putusan tersebut.

"Kemudian untuk mengingatkan dan menjelaskan kepada pihak terkait dan masyarakat luas bahwa pandangan resmi MK sebagai lembaga terhadap suatu putusan adalah sebagaimana yang disampaikan oleh juru bicaranya itu," katanya. Dengan begitu, menurut Erwin, tidak akan ada lagi putusan MK yang multi tafsir seperti putusan ´Lapindo´ dan ´Empat Pilar Kebangsaan dan Bernegara´.

MK  pada Rabu (26/3) lalu mengabulkan permohonan uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf a UU APBN Tahun Anggaran 2013. Lembaga ini menilai, norma ini bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai: ‘Negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah Peta Area Terdampak (PAT) oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu’.

Pasal 9 Ayat (1) huruf a yang berbunyi ‘Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2013, dapat digunakan untuk: a. pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan); dan sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi)’.

Dalam uji materi pasal ini MK  berpendapat, permohonan dilatarbelakangi semburan lumpur Sidoarjo yang disebabkan pengeboran PT Lapindo Brantas Inc., sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan itu kemudian mengakibatkan kerugian sosial dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat baik yang berada di dalam PAT maupun di luar PAT. Kerugian tersebut oleh negara ditetapkan menjadi tanggung jawab  Lapindo untuk masyarakat di dalam PAT, sedangkan untuk di luar PAT tanggung jawab Pemerintah.

Implikasi ketentuan hukum yang dikotomis tersebut, menurut MK, menyebabkan absennya fungsi negara dalam pemenuhan hak ganti kerugian masyarakat di dalam PAT,  yang pembayaran ganti kerugiannya sesungguhnya menjadi tanggung jawab Lapindo.

Atas putusan tersebut, staf khusus presiden bidang komunikasi politik Daniel Sparingga mengatakan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta publik tidak salah tafsir. PT Lapindo Brantas tetap bertanggung jawab penuh atas pembayaran ganti rugi kepada warga yang berada di dalam PAT. Sedangkan pemerintah bertanggung jawab membayar pelunasan ganti rugi kepada warga yang berada di luar PAT dengan menggunakan APBN.

Pernyataan itu disampaikan Daniel lantaran sebagian kalangan berpendapat, bahwa semua kerugian korban lumpur Lapindo, termasuk yang berada dalam PAT, akan dibayarkan pemerintah seluruhnya dengan menggunakan dana APBN/APBD.

Pada Kamis (3/4), MK juga memutuskan menghapus frasa empat pilar kebangsaan dan bernegara dari Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol. Penghapusan ini dilakukan MK atas pengujian UU Parpol yang dimohonkan Basuki Agus Suparno dan kawan-kawan.

Pasal yang dipersoalkan Basuki  Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol. Ketentuan pasal ini berbunyi: “Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan: (a) pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia’. Disebutkan, parpol wajib mensosialisaikan 4 pilar kebangsaan tersebut.

Menurut para pemohon, Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol telah menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara yang sejajar dengan Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum.  Mereka menilai, penempatan Pancasila sejajar dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI merupakan kesalahan yang fatal.

Atas permohonan itu, MK memutuskan frase empat pilar berbangsa dan bernegara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat, mendudukan Pancasila sebagai salah satu pilar selain mensederajatkan dengan pilar lain, juga akan menimbulkan kekacauan epistimologis, ontologis, dan aksiologis. Padahal, Pancasila memiliki kedudukan tersendiri dalam kerangka berpikir bangsa. Selain sebagai dasar negara, ia juga sebagai dasar filosofi negara, norma fundamental negara, ideologi negara, cita hukum negara. Sehingga menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar telah mengaburkan posisi Pancasila. MK merujuk isi yang terkandung Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yakni Pancasila adalah sebagai dasar.

Atas putusan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga menilai putusan MK yang membatalkan ‘Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’ dari Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol hanya membatalkan frasa nama, bukan substansinya. Menurut Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid, ‘Empat Pilar’ itu hanya nama kemasan (semacam tag line) agar populer dan mudah diingat masyarakat. Sedangkan substansi utamanya adalah bagaimana monsosialisasikan nasionalisme kepada masyarakat.

Pernyataan Ahmad itu didukung mantan anggota DPR RI Slamet Effendy Yusuf. Menurutnya, tujuan MPR mensosialisasikan materi Empat Pilar yang meliputi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Repubilik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika agar bangsa Indonesia lebih menyadari, memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara.

Slamet berpendapat, dalam APBN tidak ada nomenklatur Empat Pilar, tapi sosialisasi prinsip kehidupan bernegara. “Meskipun MK membatalkan frasa nama Empat Pilar, substansinya tidak dibatalkan," ujar Slamet. Karena itu, ia beralasan, MPR akan tetap melakukan sosialisasi prinsip-prinsip kehidupan bernegara, tapi setelah mengganti nama baru yang simpel dan populer.

Namun Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyatakan sikap MPR tersebut melanggar hukum dan sangat tidak beralasan apabila MPR akan terus melakukan sosialisasi ‘Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’ dengan hanya mengganti namanya.

Menurut Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok sky khadafi, frasa nama itu sama dengan nama nomenklatur program dalam APBN. Frase ‘Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’ berasal dari rencana kerja (renja) tahunan yang dibuat oleh MPR. Sementara renja berasal dari rencana strategis (Rentra) yang dibuat lima tahunan untuk MPR, dan Rentra itu berasal dari visi dan misi MPR.

“Kalau MK sudah mengeluarkan putusan pembatalan ‘Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’, maka subtansi Visi dan misi yang bernama ‘Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’ ini harus dibatalkan, sampai kepada Rentra, Renja, dan program-program yang terkait Empat Pilar tersebut,” tegas Uchok kepada Gresnews.com, Selasa (15/4).

BACA JUGA: