JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) telah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk mencegah Setya Novanto bepergian ke luar negeri selama enam bulan. Setya yang merupakan Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR ini dicegah dalam kasus korupsi Kartu Penduduk berbasis elektronik(e-KTP) yang merugikan negara lebih dari Rp2 triliun dan melibatkan banyak pihak terkait termasuk politikus di parlemen.

Golkar tak diam, di parlemen mereka bergerak menggalang langkah politik untuk menekan KPK dengan menyatakan keberatan ketua umumnya dicekal. Bahkan semalam DPR sampai menggelar rapat pimpinan pengganti Badan Musyawarah (Bamus) yang menghasilkan keputusan untuk mengirim nota keberatan pencekalan Ketua DPR Setya Novanto pada Presiden Joko Widodo.

Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan memastikan bentuk aspirasi itu bukan untuk mengintervensi hukum atau pun mendesak Presiden Joko Widodo. "Semalam itu kan dilaksanakan mendadak. Sebagai bentuk mekanisme tatib yang merespon adanya surat aspirasi permohonan dari Fraksi Golkar, poinnya di situ," ungkap Taufik, Rabu (12/4).

Menurut Taufik rapat pengganti Bamus itu perlu dilaksanakan sebagai kewajiban pimpinan DPR menindaklanjuti aspirasi permohonan dari setiap fraksi. Pimpinan meminta saran dan masukan dari setiap pimpinan fraksi yang ada di DPR.

Dukungan mengalir dari mayoritas pimpinan fraksi hadir. Ada delapan ketua fraksi hadir kecuali Demokrat dan Hanura yang tak hadir karena alasan teknis.

"Sifatnya rapat perlu kita sampaikan untuk merespon surat resmi dari Fraksi Golkar terhadap pencekalan pak Setya Novanto," katanya.

Pada rapat itu menurut Taufik, semua fraksi sepakat memberikan catatan soal pencekalan Novanto terkait kasus korupsi e-KTP. Namun soal nota keberatan disebutnya hanya merupakan bentuk redaksional seperti yang disampaikan oleh Fraksi Partai Golkar.

"Disepakati juga empati menjadi salah satu catatan, sifatnya memberikan dukungan moril pada Fraksi Partai Golkar soal pencekalan pak Setya Novanto," kata Taufik.

Taufik memastikan, DPR tidak meminta agar pencekalan Novanto oleh KPK dicabut. Menurutnya, semua fraksi di DPR memahami tak ada yang bisa melakukan intervensi terkait proses hukum, termasuk kepada presiden.

Pimpinan fraksi pada rapat itu hanya memutuskan perlu menunjukkan solidaritas kepada Fraksi Golkar terkait pencekalan Novanto. Pimpinan DPR pun mengakomodasinya melalui rapat pimpinan pengganti bamus itu.

"Masa sekelas DPR tidak mengerti dan mau mendesak presiden, kan tidak mungkin," ujar Taufik.
PEMBELAAN FAHRI HAMZAH - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan Fraksi Golkar mengirimkan nota keberatan ke pimpinan DPR terkait pencekalan Setya Novanto ke luar negeri terkait kasus e-KTP. Surat ini dibahas dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

"Termasuk bahas situasi yang ada dan membahas surat, salah satunya semacam nota keberatan Fraksi Golkar," ujar Fahri saat jumpa pers di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/4).

Setelah menerima surat, pimpinan fraksi di DPR menyepakati keberatan atas pencekalan Novanto. Rapat Bamus selesai digelar malam ini. Keberatan diajukan karena pencekalan Novanto oleh KPK dinilai menghambat kinerja DPR. Fahri mengatakan Novanto sebenarnya sangat kooperatif saat diperiksa KPK soal kasus e-KTP. "Ketua DPR paling kooperatif diperiksa KPK," jelas Fahri.

Fahri juga menyebut pencekalan Novanto bertentangan dengan putusan MK. Dia sempat menyinggung adanya hak imunitas anggota DPR."DPR dalam konstitusi diatur imunitasnya. Perlu diketahui, pasal imunitas tidak pernah dibatalkan dalam konstitusi negara. Implementasi, belum ada pengaturan teknis, kalau negara maju, anggota DPR tak bisa diproses hukum. Pemaknaan hak-hak imunitas diperkuat," kata Fahri.

Meski keberatan terhadap pencekalan, Fahri menepis tudingan DPR berupaya melindungi Novanto. "Kita jawab dengan pandangan hukum. Kalau publik banyak sekali. Siapa sih yang benar di mata publik? Pak Jokowi juga nggak ada bener-benernya," ujar Fahri.

Soal pencekalan Novanto, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut keterangan Novanto sangat diperlukan terkait dengan proses penyidikan Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Karena itu, Novanto dicegah bepergian ke luar negeri.

"Kenapa KPK memutuskan melakukan pencekalan? Itu lebih karena untuk penyidikan dalam kasus AA (Andi Agustinus)," kata Alex di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (11/4).

Atas pencekalan ini, Novanto sendiri menegaskan mematuhi proses hukum yang ada. Novanto mengaku siap dipanggil KPK kapan saja terkait kasus e-KTP. "Masalah pencegahan di luar negeri, saya baru tahu tadi. Saya menghargai dan tentu apa pun yang diputuskan, saya sangat memberikan dukungan atas proses hukum yang berlaku di Indonesia," ujar Novanto di DPR.

Meski proses pemanggilan dirinya sebagai Dewan jika merujuk pada UU MD3 harus seizin Presiden Joko Widodo, Novanto akan tetap datang dipanggil tanpa proses itu. "Saya siap kapan pun diundang atau dipanggil KPK karena ini proses hukum yang harus saya patuhi. Saya setiap saat selalu siap diundang," ujarnya.
PANDANGAN HUKUM - Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menjelaskan perlu mengkaji pernyataan Fahri tersebut. Febri belum mendapat informasi secara institusional.

"Apakah itu sikap DPR secara institusional atau itu sikap dan pernyataan beberapa anggota DPR. Secara kelembagaan kami belum mendapat info secara institusional terkait dengan keberatan tersebut," kata Febri kepada wartawan di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (12/4/2017).

Dijelaskan Febri, KPK berwenang untuk mencegah seseorang ke luar negeri. Kewenangan itu diatur dalam pasal 12 (1) huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Pasal itu menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK berwenang memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.

Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyarankan DPR agar menempuh langkah kontitusional, jika keberatan dengan sikap KPK mencekal Ketua DPR Setya Novanto. Bukan malah protes dan menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Sebagai Ketua DPR, sepantasnya Novanto melakukan perlawanan secara sah dan konstitusional dengan jalur hukum. Bukan DPR melakukan protes ke Presiden. KPK adalah lembaga independen yang bukan bawahan Presiden," kata Yusril dalam keterangan persnya, Rabu (12/4).

Langkah konstitusional yang disarankan Yusril adalah mengajukan uji materiil pencekalan saksi KPK ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan pasal dalam UU KPK yang membolehkan mencekal seseorang yang baru berstatus saksi. Pilihan lainnya adalah dengan melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dasar hukum Surat Keputusan (SK) KPK soal pencekalan itu.

"Bisa juga menggugat KPK ke Pengadilan TUN untuk menguji apakah keputusan cekal itu beralasan hukum atau tidak," sambung Yusril.

Yusril mengingatkan para anggota dewan yang melayangkan protes, bahwa kewenangan KPK mencekal seseorang yang berstatus saksi, disahkan DPR dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Sementara terkait dengan hak imunitas DPR, Ahli hukum tata negara Refly Harun menerangkan penerapan hak imunitas, yang diatur dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), terhadap anggota Dewan. Menurutnya, hak imunitas Dewan berlaku dalam kondisi terkena masalah yang berkaitan dengan tugas kedewanannya.

"(Hak, red) imunitas itu terkait dengan materi yang dibicarakan dalam tugas sebagai DPR," ujar Refly, Kamis (13/4).

Refly berkata, jika Dewan terkena masalah di luar tugas keparlemenannya, apalagi masalah itu berkaitan dengan tindak pidana, hak imunitas tak berlaku bagi si anggota Dewan.

Refly melanjutkan hak imunitas anggota Dewan berlaku atas pernyataan-pernyataannya di sidang atau kegiatan parlemen. "Di situ dia punya hak kekebalan. Hak imunitas terkait sebatas tugasnya sebagai wakil rakyat," ucapnya. (dtc)

BACA JUGA: