JAKARTA, GRESNEWS.COM - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengejar pengakuan para saksi terkait kasus dugaan suap penghentian perkara PT Brantas Abipraya di Kejati DKI Jakarta.  Kemarin, Jaksa KPK telah menghadirkan Asisten Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi (Aspidsus Kejati) DKI Jakarta, Tomo Sitepu, sebagai saksi dalam sidang dengan terdakwa Sudi Wantoko, Dandung Pamularso, dan Marudut.

Sebenarnya bukan hanya Tomo yang diminta untuk bersaksi dalam perkara ini, penuntut umum juga memanggil Kepala Kejati DKI Jakarta Sudung Situmorang untuk dimintai keterangan. Hanya saja, Sudung diketahui sedang berada di Jepang, hingga pemanggilannya akan dijadwal ulang.

Namun ketidakhadiran Sudung dalam sidang tampaknya tidak mengurangi semangat jaksa untuk mengulik fakta-fakta kasus tersebut. Penuntut umum yang dipimpin Kristanti Yuni Purnawanti mencecar Tomo tentang keterlibatannya dalam kasus ini.

Penuntut umum sepertinya fokus pada dua hal dalam menggali keterangan dari Tomo. Pertama terkait pertemuannya dengan Marudut sebagai perantara suap, kedua tentang proses keluarnya Surat Perintah Penyelidikan (sprinlidik) kepada sejumlah petinggi PT Brantas Abipraya.

Terkait keluarnya  Sprinlidik, Tomo sempat menjelaskan kronologisnya. "Pada 29 Februari 2016, saya mendapat disposisi dari Kejati, atas perintah Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung untuk penelaahan," kata Tomo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (27/7).

Selanjutnya sesuai tugas pokok dan fungsinya sebagai Aspidsus, Tomo kemudian disposisi perintah itu kepada Kepala Seksi (Kasi) Penyidikan Kejati DKI Jakarta. Lalu pada 7 Maret 2016, Tomo mendapat laporan dari anak buahnya, dan setelah ia telaah dan sependapat kemudian laporan itu diberikan kepada Kajati, Sudung Situmorang.

"Kemudian beliau (Sudung) disposisi sependapat dengan pendapat saya dan Kasi penyidikan untuk dilakukan penyelidikan. Lalu saya perintahkan kasi buat surat perintah penyelidikan. Saya paraf, Kasi juga dan saya serahkan  ke Kajati dan di paraf. Sprinlidik 15 Maret 2016," tutur Tomo.
 
Jaksa KPK Wawan Yunarwanto lalu menanyakan alasan sprinlidik tersebut diterbitkan. Sebab dalam proses penyelidikan, biasanya Sprinlidik diterbitkan setelah ada petunjuk tentang terjadinya suatu tindak pidana.  "Secara umum, kita ada penerusan laporan pengaduan masyarakat. Kasi Penyidikan mengatakan dari laporan ada indikasi terjadi pidana ada bukti, fotokopi buku besar keuangan PT Brantas tahun 2011-2012," tutur Tomo.

Langkah selanjutnya adalah memanggil empat orang saksi yang berasal dari pihak PT Brantas untuk dimintai keterangan. Pemanggilan itu selain atas sepengetahuan dirinya dan Kasi Penyidikan, juga diketahui oleh Sudung Situmorang selaku Kajati DKI Jakarta.


SPRINLIDIK JANGGAL -  Jaksa KPK terus mengejar satu persatu fakta-fakta dalam perkara ini. Setelah mendengar alasan dikeluarkannya Sprinlidik. Penuntut umum menanyakan proses selanjutnya di Kejati. "Setelah Sprinlidik terbit, Kasi penyelidikan serahkan ke tim jaksa penyelidikan, ada tiga orang, Abun Hasbulloh, Roland Hutahaean, dan Samiaji Zakaria," kata Tomo.

Kemudian, jaksa pun menanyakan isi Sprinlidik yang ditandatangani Tomo. "Apa saudara sudah membaca satu per satu sebelum diparaf?" tanya Jaksa Wawan.

Tomo awalnya mengamini hal itu, ia mengaku sudah membaca sprinlidik yang diparafnya. Sebab pengertian paraf, adalah orang tersebut telah membenarkan dan mengerti isi dari apa yang ditandatangani atau diparaf olehnya.

"Dugaan tindak pidana apa?"  kejar Jaksa Wawan. Namun Tomo sendiri mengaku tidak mengetahui secara rinci ini sprinlidik tersebut. Belakangan diketahui bahwa dalam surat pemanggilan yang tertera bukanlah penyelidikan, tetapi disebutkan sudah masuk dalam tahap penyidikan.

"Hari senin setelah kejadian (OTT) tanggal 3 (maksudnya 4 April 2016), saya masuk kantor, baru saya tahu dari laporan, baru tahu Sprindik nomor sekian, saya baru tahu hari Senin," dalih Tomo yang mengaku tidak mengetahui bahwa surat pemanggilan itu berubah dari penyelidikan ke penyidikan.

Keanehan Sprinlidik juga terlihat dari penulisan, karena  ada sejumlah koreksi. Hal ini pun dipertanyakan Jaksa karena tampak sekali bahwa surat tersebut sengaja ditutupi dari keaslian awalnya pada saat pemanggilan karyawan PT Brantas.

Selain itu, bekas fotokopi juga terpampang jelas dalam surat tersebut. Jaksa curiga dan menduga sprinlidik yang ada sebelumnya sudah dimusnahkan  untuk menghindari penyitaan KPK pada saat proses penggeledahan.

Pada saat terbongkarnya kasus tersebut, Tomo mengaku langsung memanggil salah satu staf Kejati yang melakukan pengetikan surat yaitu Yusuf seorang tenaga honorer. "Pada hari itu juga saya tahu. Ada staf, tenaga lepas, Pak Yusuf untuk menanyakan kejadian itu.

"Saya panggil, Suf, kenapa diganti? Saya takut dimarahi," kata Tomo menirukan percakapannya dengan Yusuf.

Atas pengakuan itu Jaksa Wawan pun menanyakan cara pemalsuan surat perintah penyidikan tersebut.  "Ditutup, diketik ulang, lalu difotokopi, tanda tangan saya tetap disitu," jawab Tomo.

Tetapi jawaban Tomo itu tidak begitu saja dipercaya Jaksa. Jaksa Kristanti Yuni Purnawanti pun menanyakan kebenaran pemanggilan itu. Sebab, Yusuf yang pada persidangan sebelumnya dihadirkan sebagai saksi mengaku tidak pernah dipanggil oleh Tomo.

"Saudara benar panggil Yusuf atau tidak? karena Yusuf bilang dipanggil Samiaji dan Kasi penyidikan, tidak dipanggil Aspidsus maupun Kajati. Benar ditanya cara mengubah? Sebab Yusuf bilang tidak menjelaskan, katanya nanti saudara yang jelaskan ke KPK? Namun saudara bilang mungkin, mungkin, mungkin begini, betul ditanya?" Cecar Jaksa Yuni.

Kendati berkali-kali ditanyakan hal itu, Tomo tetap bersikeras dirinya benar telah memanggil Yusuf. "Betul. Saya malah bilang kalau ada masalah kamu harusnya bilang ke saya," kilahnya.

Keanehan lainnya, dalam surat pemanggilan penyelidikan itu sudah mencantumkan nama tersangka yaitu Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya, Sudi Wantoko. Soal ini Tomo mengaku kasus ini sudah dalam tahap penyidikan setelah gelar perkara pada 28 Juni 2016, dan sprindik "sebenarnya" ditandatangani pada 30  Juni 2016.

Tetapi, dalam sprindik yang ditemukan penyidik justru belum ada nama tersangka. Ini bertolak belakang saat proses penyelidikan permintaan keterangan atas nama perkara yang melibatkan Sudi Wantoko. Namun Tomo berdalih, "tidak disebutkan nama, namun di pertimbangan ada. Lakukan korupsi tidak sebutkan nama lagi. Sesuai aturan MA dan lainnya, kita sebutkan Sprindik umum," kilah Tomo.
 


AKUI HENTIKAN PERKARA - Selain soal sprinlidik, hal lain yang juga menjadi fokus Jaksa mengenai sejumlah pertemuan antara Marudut dengan Kajati Sudung Situmorang dan Tomo Sitepu. Dalam persidangan, Tomo mengaku, mengenal Marudut dari atasannya. Ia mengaku bertemu Marudut di ruangan Sudung pada 23 Maret 2016.

"Pada 23 Maret, pukul 10 kita diundang, seluruh eselon III untuk evaluasi masing-masing bidang. Saya turun untuk paparkan hasil rapat. Waktu sampai ruang sekretaris, saya disuruh hadap Pak Kajati," jelasnya.

Saat di ruangan Kajati, Tomo mengaku, sudah ada Marudut di dalam. "Eh bro (pengakuan Tomo panggilan itu karena Sudung hanya satu tahun diatasnya) kita masih tangani Brantas ya?  Marudut bilang lagi ditangani diatas," ujar Tomo menirukan pertanyaan Sudung.

Menurut Tomo, Kajati Suding menyampaikan ada laporan dizalimi. Kemudian Sudung meminta Marudut untuk selanjutnya berhubungan dengan Tomo. Tomo mengatakan dari arahan Sudung itulah akhirnya ia melakukan pertemuan dengan Marudut di ruangannya. Dalam pertemuan tersebut, Marudut menceritakan  bahwa ada pihak-pihak tertentu yang tidak suka dengan Sudi Wantoko, sehingga melaporkan Sudi atas dugaan korupsi.

"Dia bilang yang dilaporan (Sudi) itu dizalimi. Saya bilang, kalau dizalimi tidak usah minta bantu, pasti akan saya bantuin kok, kan namanya dizalimi ya harus dibantu," ujar Tomo.

Jaksa pun menanyakan, apa maksud dari pemberian bantuan itu adalah menghentikan perkara. Namun  Tomo menampiknya. Begitu pula ketika ditanya apakah ada pembicaraan mengenai jumlah uang atas kompensasi penghentian perkara tersebut, Tomo juga membantahnya. "Tidak ada penghentian, apalagi soal itu (uang)" klaim Tomo.

Menurut Tomo, ia hanya menyarankan kepada Marudut untuk melengkapi berkas-berkas yang diperlukan pada saat proses penyelidikan. Hal itu dilakukan agar perkara PT Brantas segera selesai diperiksa supaya bisa ditentukan langkah selanjutnya. Pertemuan itu, kata Tomo tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua menit

Tetapi lagi-lagi,  hal itu tidak dipercaya begitu saja oleh Jaksa. Jaksa  Yuni terus menanyakan maksud dari pemberian bantuan itu.  Benar saja, Tomo terlihat tidak konsisten, karena pada jawaban berikutnya ia mengakui bahwa bantuan yang dimaksud adalah menghentikan proses perkara PT Brantas di Kejati DKI Jakarta. "Karena dizolimi pasti tidak terbukti, bisa dihentikan," kata Tomo mengakui hal tersebut.

Adanya pertemuan dengan pihak berperkara menjadi pertanyaan sendiri bagi Jaksa Yuni.  "Saudara melakukan pertemuan itu, bagaimana dengan kode etik? Apa dibenarkan Aspidsus, Kajati bertemu pihak berperkara untuk meminta bantuan?" Tanya Jaksa Yuni.

Tetapi  Tomo justru berpendapat, pertemuan aparat penegak hukum seperti kejaksaan dengan pihak berperkara justru mempunyai keuntungan tersendiri. Tomo berdalih, bahwa dengan adanya pertemuan itu malah membantu kejaksaan untuk mengungkap suatu kasus.

"Dalam kode etik tidak diatur begitu. Tidak dilarang kecuali sepakat melawan hukum untuk tidak dinaikkan. Justru dari orang-orang seperti ini kasusnya bisa diungkap," kilah Tomo.

BACA JUGA: