JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang masih mangkrak hingga saat ini di Komisi VIII belum juga ada tanda-tanda bakal disahkan. Penyebab masih mangkraknya RUU ini adalah masih adanya tarik menarik kepentingan soal lembaga mana yang berhak melakukan sertifikasi halal. Anggota Panja RUU JPH Ace Hasan Syadzili mengatakan, di satu pihak Majelis Ulama Indonesia ingin memegang tanggung jawab itu. "Sedangkan pemerintah menginginkan adanya lembaga resmi negara yang khusus menangani masalah produk halal ini," kata Ace kepada Gresnews.com pada Rabu (8/1).

Politisi Golkar itu mengatakan, secara administratif pemerintah memang harus mempunyai peran dalam persoalan jaminan produk halal. Akan tetapi secara syariah diperlukan peran lembaga keagamaan yang dapat menentukan sebuah produk itu halal untuk dikonsumsi atau tidak bagi umat muslim. Ace mengatakan, Indonesia memang sebaiknya mempunyai badan resmi untuk menangani jaminan produk halal.

Selama ini jaminan produk halal hanya dikelola oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) di bawah MUI. Sertifikasi itu sementara ini sifatnya sukarela. Nah, dalam pembahasan RUU JPH pun hingga saat ini belum membicarakan mengenai sifat sertifikasi apakah wajib atau tetap sukarela. Karena sementara ini pembahasan masih alot pada soal pembentukan badan khusus sebagai label resmi dari Pemerintah Republik Indonesia.

Terkait dengan sifat pendaftaran, Wakil Sekjen Golkar itu bilang bagi perusahaan besar yang memiliki produk makanan olahan berbagai jenis sebaiknya diwajibkan. Sedangkan bagi perusahaan kecil atau usaha kecil menengah (UKM) sebaiknya hanya sukarela.

Ace juga menekankan dalam RUU JPH itu agar dicantumnkan mengenai pasal sifat sertifikasi. "Dalam pasal mengenai sertifikasi halal itu nantinya ada bantuan dari negara kepada perusahaan kecil sehingga diharapkan seluruh produk makanan, obat-obatan dan kosmetika yang beredar mempunyai jaminan produk halal," ujarnya.

Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan mengatakan pihaknya tetap ingin agar proses sertifikasi halal diserahkan kepada LPPOM. Sedangkan terkait sifat labeling produk halal, Amirsyah bilang sebaiknya bersifat sukarela dan wajib. Sukarela hanya dikenai pada produk-produk yang pemasarannya khusus, namun bila menyangkut hajat hidup orang banyak seperti daging impor dan obat-obatan impor sebaiknya sifatnya diwajibkan.

Sedangkan pihak pemerintah menyatakan tetap ingin mendirikan badan khusus sebagai badan hukum yang menjamin produk halal ini. Kepentingan itu dilandasi selain mayoritas penduduk Indonesia yang muslim juga produk-produk makanan olahan yang akan di ekspor keluar negeri, terutama negara-negara Timur Tengah. Hingga saat ini pun pemerintah masih menggodok bentuk skema badan itu.

Skema pertama yaitu badan independen dibawah presiden langsung. Sedangkan skema kedua badan di bawah Kementerian Agama, yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur pemerintah dan MUI. Jika nantinya dibentuk lembaga khusus, maka dipastikan akan ada anggaran khusus yang akan dialokasikan dari APBN untuk lembaga ini, yang berarti menambah beban APBN

Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Ali Masykur Musa tidak menampik kemungkinan itu. Ia menyebut telah ada angka tertentu yang bakal dialokasikan bagi lembaga sertifikasi halal ini. "Ada tapi saya lupa angkanya," kata Ali kepada Gresnews.com.

Di luar masalah itu, ada juga masalah tarif sertifikasi. Sebagai gambaran, menurut Pendiri Halal Corner Aisha Maharani tarif sertifikasi bagi tiap level perusahaan berbeda. Pada level UKM saja, kata Aisha berkisar antara Rp 600 ribu hingga Rp 2 juta selama dua tahun. "Sedangkan pada perusahaan-perusahaan besar tentunya harganya lebih mahal lagi," ujarnya kepada Gresnews.com.

Yang jelas banyak pihak terkait memang sudah sepakat jaminan produk halal ini memang penting terutama bagi negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun di negara seperti Amerika Serikat ada juga aturan serupa yaitu jaminan "halal" yang diberikan pemerintah AS kepada kaum Yahudi AS yang dikenal dengan istilah "kosher".

Jaminan itu diberikan sebagai bentuk jaminan kebebasan beragama. Namun entah kenapa belum ada jaminan halal bagi penduduk AS yang muslim yang kini berjumlah 6 juta jiwa, jauh lebih besar dari jumlah penduduk beragama Yahudi yang diperkirakan mencapai 5 juta jiwa.

Seorang Warga Negara Indonesia yang pernah bermukim di New York selama dua puluh tahun, Abdul Malik Gismar, mengatakan di AS agak sulit menemukan produk dengan sertifikasi halal. "Tapi saya bisa menggunakan produk dengan sertifikasi kosher karena itu sudah dijamin halalnya," kata Malik kepada Gresnews.com beberapa waktu lalu.

Malik dan keluarganya biasanya membeli bahan makanan atau makanan olahan dengan jaminan kosher itu. Menurutnya, kosher tidak ubahnya dengan produk halal, bahkan ada beberapa bahan yang di Islam dibolehkan tapi di Yahudi dilarang seperti udang dan telur.

Dipastikan dalam jaminan kosher juga tidak akan dilegalkan produk yang berbahan alkohol dan mengandung babi. Namun sertifikasi kosher di Amerika Serikat tidak bersifat wajib, karena itu sudah menjadi budaya yang dipelihara oleh masyarakat Amerika terutama penganut Yahudi.

BACA JUGA: