JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Provinsi Sumatera Selatan Rizal Abdullah telah menjadi terpidana setelah Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi, Jakarta menjatuhkan hukuman pidana 3 tahun dan denda Rp150 juta subsidair 2 bulan kurungan.

Saat ini, tinggal menunggu keputusan dari tim Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) apakah dalam waktu 7 hari ini akan melakukan upaya hukum berupa banding, atau menerima keputusan. Rizal sendiri memang berharap, tim jaksa bisa legowo dan tidak mengambil langkah hukum selanjutnya.

Meski perkara Rizal sudah diputus, tetapi masih ada pekerjaan rumah yang belum diselesaikan tim jaksa yaitu mengembalikan kerugian keuangan negara yang totalnya mencapai Rp54 miliar. Rizal sendiri hanya menikmati sekitar Rp400 juta dan itu pun sudah dikembalikan.

Sehingga, ia terbebas dari pidana tambahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis menganggap dengan dikembalikannya uang yang dinikmati, maka pidana tambahan dihilangkan.

Namun begitu, pengembalian uang hasil korupsi khususnya yang merugikan keuangan negara, tidak menghapuskan tindak pidana yang dilakukan. Dan alhasil, Rizal pun akhirnya harus bersiap tinggal di hotel prodeo.

KPK JERAT DUTA GRAHA INDAH - Dalam amar putusannya majelis hakim menyatakan bahwa akibat dari perbuatan Rizal ini, negara dirugikan sekitar Rp54,7 miliar. Dan PT Duta Graha Indah (DGI) yang kini telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) menikmati Rp49 miliar.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, pelaksana tugas pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji menyatakan akan menjerat korporasi yang terlibat kasus korupsi apalagi mereka juga mengakibatkan kerugian keuangan negara.

"Kami akan mempertimbangkan dan membahas alternatif tersebut," ujar Indriyanto saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (28/11).

Salah satu penegak hukum KPK yang enggan disebut namanya saat berbincang dengan gresnews.com mengakui terus berusaha mengembalikan keuangan negara yang dirugikan dalam kasus ini. Penegak hukum yang merupakan jaksa ini juga menyatakan bahwa PT DGI akan menjadi sasaran berikutnya.

Terlebih lagi, dalam amar putusan majelis hakim memang secara jelas menyebutkan keterlibatan perusahaan milik Nazaruddin itu dalam kasus Wisma Atlet. Sehingga hal ini bisa menjadi yurisprudensi untuk menjerat pihak lain, termasuk PT DGI.

"Rizal (Abdullah-red) sudah mengembalikan Rp400 juta, dan yang paling besar itu kan DGI Rp49 miliar. Makanya kita akan menarik DGI untuk kembalikan kerugian negara itu," ujar jaksa itu.

MENYERET KORPORASI - Langkah KPK menjerat korporasi memang patut dinanti. Sebab, bukan kali ini saja sebuah perusahaan terlibat kasus tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.

Salah satu contoh keterlibatan korporasi, yaitu dalam kasus korupsi Proyek Pembangunan Pusat Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang yang merugikan negara Rp464 miliar. PT Adhi Karya melalui Kepala Divisi Konstruksi I kala itu, Tengku Bagus Mohammad Noor berusaha menyuap sejumlah pihak untuk mendapatkan proyek ini.

Kemudian, dalam kasus tukar menukar kawasan lahan hutan di provinsi Bogor, Jawa Barat yang melibatkan perusahaan developer raksasa Sentul City. Pemiliknya, yaitu Kwee Cahyadi Kumala atau Swie Teng juga terbukti menyuap mantan Bupati Bogor, Rachmat Yasin sebesar Rp4,5 miliar.

Korporasi terbanyak yang terlibat yaitu dalam kasus mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal. Sebanyak 27 Korporasi disebut turut terlibat dalam kasus korupsi ini. Salah satunya yaitu PT Merbau Palelawan Lestari yang disebut merupakan anak dari PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) yang disebut jaksa dalam surat tuntutannya merugikan negara Rp17,751 miliar.

Namun, hingga kini belum ada keberanian KPK dalam menjerat korporasi. Selama ini, lembaga antirasuah tersebut hanya menjadikan tersangka para pemilik maupun petinggi korporasi.

Ahli hukum pidana Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, sebuah korporasi semestinya juga bertanggungjawab dalam sebuah tindak pidana baik itu berperan aktif maupun pasif. Fickar mengatakan suatu korporasi seperti PT DGI bisa disebut melakukan tindak pidana apabila ada pejabat dari perusahaan tersebut melakukan perbuatan melanggar hukum.

"Dalam Pasal 1 Undang-Undang Tipikor, Korporasi itu subyek hukum pidana, kata Fickar.

Pasal yang dimaksud Fickar adalah Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi "Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganiasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum"

Kemudian, ganjaran terhadap korporasi seperti PT DGI yang kini berubah nama menjadi PT NKE jika memang terbukti melakukan tindak pidana juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. "Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 4, dan 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi."

Kemudian di ayat (2) mengatur tentang pidananya, yaitu "pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang: a. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi ; b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi; c. dilakukan seusai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi."

"Korporasi bisa dipidana berupa pembayaran denda ataupun pidana tambahan pencabutan izin beroperasi perusahaan," terang Fickar.

 

BACA JUGA: