JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Kejaksaan Agung memanggil AM. Hendropriyono terkait pernyataannya beberapa waktu lalu yang mengatakan kasus Talangsari bukanlah kasus pembunuhan melainkan bunuh diri massal.

Hendropriyono dalam wawancaranya dengan Allan Nairn seorang jurnalis asal Amerika Serikat, yang diakses dari blog pribadi Allan, www.allannairn.org juga mengaku bertanggungjawab secara komando dalam kapasitasnya sebagai Kepala BIN terhadap pembunuhan Munir pada tahun 2004.

Dalam pernyataannya, ia mengaku bekerjasama dengan agen rahasia Amerika, CIA, juga melalui unit intelijen Indonesia, BIN. Dirinya  juga menegaskan siap diadili dipengadilan HAM. Di sisi lain, terkait kasus Talangsari, dari wawancara yang sama dengan Allan Nairn, Hendropriyono mengatakan para korban Talangsari melakukan bunuh diri masal dan bukan dibunuh oleh tentara.

Koordinator Kontras, Haris Azhhar menegaskan bahwa, peristiswa Talang sari bukanlah kejadian bunuh diri. Komnas HAM juga telah melakukan   penyelidikan yang bersifat pro justisia atas kasus Talangsari. Demikian pula dengan berbagai organisasi masyarakat seperti Komite Smalam, LBH Lampung, dan KontraS yang telah melakukan pengambilan fakta.

Dari semua tindakan diatas ada temuan yang serupa bahwa terdapat tindakan kejahatan kemanusiaan, dan tindakan tersebut dilakukan oleh ABRI terutama Danrem Garuda Hitam Lampung, yang dipimpin langsung oleh AM Hendropriyono. "Jadi pernyataan bahwa peristiwa Talangsari merupakan bunuh diri merupakan fitnah dan tidak berdasar," ujarnya melalui pesan singkat kepada Gresnews.com, Kamis (30/10).

Menurut Haris, keterangan yang ditulis Allan Nairn dalam blognya tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk dan alat bukti yang sah menurut KUHAP untuk memperkuat keterlibatan Hendropriyono dalam dua kasus tersebut. "Hendaknya Komnas HAM dan Kejaksaan Agung segera mengadakan pemanggilan kepada Allan Nairn dan selanjutnya memeriksa Hendropriyono," tuntutnya.

Sehari sebelumnya, diakses dari www.allannairn.org didapat pengakuan mengejutkan muncul dari mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono soal kasus Talangsari. Menurutnya, pasukannya sama sekali tidak membunuh warga Talangsari, Lampung Timur, melainkan ratusan warga tersebut melakukan aksi bunuh diri.

"Kami mengepung gubuk yang mereka bangun di desa bersama dengan warga desa. Tidak ada yang keluar (dari pondok) karena dilarang oleh kepala suku mereka, oleh para pemimpin mereka. Saya mengatakan bahwa kami akan menyerang anda dan saya meminta anda untuk keluar dari rumah dan menyerah. Tiba-tiba mereka membakar gubuk mereka sendiri. Itulah yang menyebabkan mereka semua mati," katanya, Rabu(29/10) malam.

Hendro juga menyebutkan tidak benar adanya saksi yang memberikan keterangan ke Komnas HAM bahwa pasukannya menyebabkan 200 orang warga Talangsari, Lampung Timur tewas seketika. Tetapi ketika ditanya Allan mengenai alasan Hendropriyono enggan memberikan kesaksian di pengadilan soal fakta 200 orang warga Talangsari tersebut, ia enggan menjawab. Dirinya tetap menerima pernyataan masyarakat sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembantaian di Talangsari.

"Jika ada pengadilan untuk saya dalam pelanggaran hak asasi manusia, saya akan menerima," ujarnya. Tindakan bunuh diri yang dilakukan warga Talangsari di pesantren Warsidi itu dianggapnya merupakan sikap fanatisme. Alasannya sikap pembelaan diri warga terkait penyerangan aparat militer ke wilayahnya.

Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989.

Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.

Nurhidayat, dalam catatan, pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan yang kemudian terkenal dengan peristiwa Talangsari, Lampung .

Gerakan di Talangsari itu, tercium oleh aparat keamanan. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Namun kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Kapten Soetiman pun tewas dan dikuburkan di Talangsari.

Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, terjadilah penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari yang selama ini memendam antipati kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap, namun yang sampai ke pengadilan hanya 23 orang.

BACA JUGA: