JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus perkosaan suami terhadap istri alias marital rape ramai terdengar di masyarakat namun hanya beberapa saja yang masuk peradilan. Padahal marital rape memang nyata dialami oleh banyak perempuan, tetapi seringkali tidak dibicarakan dan dikesampingkan.

Pandangan bahwa suami berhak melakukan apapun terhadap istrinya, dan istri harus tunduk pada suami menjadikan beberapa perempuan enggan melaporkan kasus marital rape yang dialami. Perempuan merasa hal itu bukanlah sebuah tindakan kejahatan, dan memang sudah seharusnya menuruti apa yang suaminya inginkan.

Hal seperti ini merupakan hasil dari bagaimana masyarakat memandang laki-laki lebih berkuasa dibanding perempuan. Disisi lain, sang suami merasa mendominasi dan mempunyai hak untuk memaksa istrinya hingga tidak merasa melakukan kesalahan.

Begitu pula yang terjadi warga Denpasar, Bali, Tohari (57) yang melakukan marital rape. "Saya tidak merasa bersalah," kata Tohari sebagaimana tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Denpasar yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Minggu (5/7).

Kasus bermula saat Tohari yang berprofesi sebagai nelayan itu mengajak istrinya, Siti Fatimah, berhubungan suami istri. Mereka berdua merupakan sepasang suami istri sesuai Akta Perkawinan Nomor 231/50001981 tertanggal 6 Oktober 1981.

Bahtera rumah tangga Tohari-Siti Fatimah berjalan sudah cukup lama, sekitar 34 tahun tercabik dan berakhir tragis. Siti meninggal dunia gara-gara diperkosa suaminya.

Siti yang berusia 57 tahun lebih tengah terbaring sakit di kamarnya. Siti sudah menahun menderita sakit sesak napas dan jantung. Dengan penderitaan yang dialami Siti, Tohari ternyata tidak menaruh iba. Pria yang seusia dengan istrinya tidak bisa menguasai hasrat seksualnya dan mengajak istrinya bercinta pada 30 September 2014.

MERASA TAK BERSALAH - Siti sempat melawan tetapi karena lemah, ia terjatuh ke lantai. Dalam kondisi yang lemah, Tohari memperkosa istrinya sendiri. Padahal, umur Tohari juga telah membuat kesehatannya memburuk. Usia yang hendak memasuki 60 tahun itu telah menurunkan kesehatan fisik Tohari. Jalannya dibantu dengan tongkat dan kaki kirinya sudah tidak bisa berjalan dengan sempurna.

Siti lalu berteriak meminta tolong tapi langsung dibekap oleh suaminya. Kegaduhan ini membuat tetangganya, Novianti, mendatangi rumah Tohari dan menyaksikan peristiwa jahanam itu. Novianti berteriak meminta Tohari menghentikan perbuatannya tapi malah dibentak dan diusir. Setelah itu Novianti memanggil tetangga yang lain.

"Saat itu Ibu sedang mengalami sakit sesak napas dan jantung," kata anak kandung mereka, Sri.

Akibat perbuatan Tohari, kondisi kesehatan Siti makin memburuk dan akhirnya meninggal dunia beberapa bulan setelahnya. Tohari lalu dilaporkan ke polisi atas perbuatannya.

Selama persidangan, Tohari bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah. Untuk ke pengadilan, ia berjalan tertatih-tatih dengan dibantu tongkat. Cara bicaranya meledak-ledak dan keras. Hakim berkeyakinan Tohari layak dihukum.

Tohari dinilai bersalah melanggar Pasal 8 huruf a dan Pasal 46 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 8 huruf a berbunyi: Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Adapun Pasal 46 berbunyi: Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta.

Atas fakta di atas, majelis hakim yang diketuai Achmad Peten Sili dengan anggota M Djaelani dan Putu Gde Hariadi lalu menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara kepada Tohari. Vonis ini diterima oleh Tohari dan jaksa.

BARU PUTUSAN KEDUA - Bisa jadi, ini merupakan putusan kedua di Indonesia dalam kasus marital rape. Sebelumnya MA juga memenjarakan Hari Ade Purwanto (29) selama 15 bulan karena memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur.

Kasus ini bermula saat Hari mengajak istrinya bercinta pada Juli 2011. Entah apa yang ada dalam pikiran Hari, dia mengajak bercinta di tengah hutan. "Ingin mencoba variasi hubungan seksual," demikian alasan Hari dalam berkas kasasi di MA, Jumat (7/9/2012).

Mendapat ajakan tersebut, istri pun menolak. Tetapi Hari tetap memaksa sehingga istrinya melawan. Namun apa daya, kekuatan tenaga suami lebih besar sehingga sang istri pun pasrah. Setelah kejadian itu, istrinya melaporkan tindakan tersebut ke polisi sehingga Hari pun harus menjalani proses hukum.

"Menghukum Hari dengan hukuman 1 tahun 3 bulan karena melakukan kekerasan seksual pada istrinya. Hal ini melanggar pasal 46 UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)," putus Pengadilan Negeri Pasuruan.

Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya. Tidak terima, Hari pun mengajukan permohonan kasasi namun kandas. Dalam pembelannya, Hari menyitir Kitab Jam´ul Fawaid bab hak masing-masing suami istri.

Dalam bab tersebut diceritakan sahabat Mu´adz melakukan sujud kepada Nabi Muhammad SAW dan dilarang. Lantas Nabi Muhammad SAW bersabda ´sesunggungnya jika boleh sujud antara manusia selain kepada Allah SWT, pasti Allah SWT akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya´. Namun MA tetap menghukum Hari dengan penjara 15 bulan.

"Menolak alasan terdakwa bahwa hubungan di hutan merupakan variasi dalam hubungan seksual," demikian alasan putusan kasasi yang diketok oleh ketua majelis hakim Prof Komariah E Sapardjaja. Putusan yang diketok pada 14 Agustus 2012 lalu ini juga diadili oleh 2 hakim agung Suhadi dan Prof Salman Luthan.

BELUM SERIUS - Di Indonesia sendiri, penanganan marital rape juga masih belum terlalu serius. Walaupun sudah terdapat undang-undang yang mengatur mengenai hal ini yakni dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dimana Pasal 5 dan 8 mengatur mengenai larangan tindakan kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan tetapi nyatanya sangat sulit untuk menegakkan keadilan dalam kasus marital rape.

Sulitnya menegakkan keadilan dalam kasus ini juga karena definisi pemaksaan yang masih bias. Banyaknya kasus marital rape yang tidak ditangani oleh hukum juga diakibatkan karena minimnya laporan dari korban mengenai marital rape yang mereka alami. Di Indonesia, budaya patriarki masih sangat kental terasa, dimana dalam masyarakat masih sering muncul paham dimana istri harus memenuhi permintaan-permintaan suami dan memuaskan suami.

Pandangan-pandangan tersebut membuat perempuan merasa bersalah jika tidak mematuhi suami dan secara tidak langsung menjadikan perempuan sebagai korban dari budaya patriarki dimana laki-laki lebih dominan. Faktor lainnya adalah fear of crime akan hal-hal lain yang akan terjadi jika mereka menolak hubungan seksual yang diinginkan oleh suaminya.

Pemberitaan di media mengenai penyiksaan, hingga pembunuhan karena penolakan melakukan hubungan seksual seringkali diberitakan secara eksklusif hingga menimbulkan fear of crime terhadap perempuan. Salah satu berita yang cukup terekspos terjadi pada bulan Desember 2012 yang lalu di Jambi ketika seorang suami membunuh istrinya sendiri dengan sebilah parang dan sabit karena istrinya tidak mau diajak melakukan hubungan seksual.

Kurangnya kepekaan dan kepedulian dari aparat penegak hukum terhadap perempuan yang menjadi korban dari marital rape juga seringkali menjadi penyebab mengapa korban tidak melaporkan kejadian yang mereka alami kepada pihak yang berwajib. Salah satu contoh yang ada terjadi di Papua dimana seorang istri dipaksa melayani suaminya bersama dengan perempuan lain, dan sang suami juga seringkali memukuli istrinya ketika melakukan hubungan seksual jika istrinya menolak.

Saat melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian, ia tidak mendapatkan penyelesaian apa-apa dan kasus selesai ketika suami ditahan satu malam saja, kemudian dibebaskan. Hal tersebut tentu tidak membuat korban menjadi aman, ketika korban dan suami yang dilaporkan akhirnya bertemu kembali. (dtc)

BACA JUGA: