JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah akhirnya mewujudkan rencananya untuk membentuk badan khusus keamanan dunia maya dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada 23 Mei lalu. Lembaga baru ini dimaksudkan untuk menggantikan fungsi, tugas dan kewenangan yang sebelumnya diemban oleh Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dan Direktorat Keamanan Informasi dan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo.

Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan mewujudkan keamanan (dunia maya) nasional. Keberadaan BSSN memang tidak terlepas dari kecenderungan yang dipraktikkan negera-negara di dunia yang memiliki badan khusus siber (cyber) untuk menangkal potensi kejahatan yang memanfaatkan jaringan dunia maya (online).

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan LBH Pers menilai pembentukan BSSN ini seperti pedang bermata dua. Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar mengatakan, pada satu sisi pembentukan BSSN memang dibutuhkan keberadaannya, dalam upaya melakukan tindakan preventif yaitu mendeteksi, memberikan perlindungan, pencegahan dan kuratif yaitu respons, pemulihan, rehabilitasi.

"Hal ini memamh penting untuk memastikan adanya suatu sistem yang mampu menjamin keamanan dan kenyamanan pengguna (internet) sekaligus," kata wahyudi dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Sabtu (3/6).

Tetapi di sisi lain sayangnya, proses pembahasan Perpres BSSN yang dilakukan secara tertutup, dan minim partisipasi publik, menyebabkan materinya kurang mengakomodasi kepentingan masyarakat sipil. "Bahkan dalam rumusan Perpres-nya sama sekali tidak diberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil, untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan aktivitas dunia maya," kritik Wahyudi.

Dengan kewenangan yang begitu besar, komposisi pemangku kepentingan di dalam BSSN nampak hanya diisi oleh pemerintah, TNI dan Polri, sebagai tercantum dalam Pasal 48 Ayat (1) Perpres BSSN. Komposisi ini dikhawatirkan justru akan mengarahkan BSSN pada pola kerja instansi yang tertutup sebagaimana dipraktikkan selama ini oleh Lemsaneg.

Mustinya, kata Wahyudi, terkait dengan pemanfaatan teknologi internet, termasuk di dalamnya kebijakan dan operasional yang terkait dengan pengamanan insfrastruktur penting informasi (critical infrastructure of information), dikelola secara multipihak. "Jadi harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk akademsi, sektor bisnis, dan masyarakat sipil. Belum lagi kosongnya mekanisme pengawasan eksternal dalam pelaksanaan tugas lembaga ini, yang semata-mata hanya ditumpukan pada prosedur pengawasan internal," terangnya.

Menurut Wahyudi, pemerintah harus menyadari bahwa fungsi, tugas dan kewenangan BSSN tidak bisa terlepas dari komitmen pemerintah untuk memajukan, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia, sebagaimana dimandatkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, maupun UUD 1945. Oleh karena itu, akuntabilitas dan transparansi menjadi fundamen utama dalam kerja-kerja pemerintahan.

Terkait hal ini, kata dia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan sejumlah resolusi diantaranya Resolusi 64/211, 68/167, dan 32/13 yang pada intinya mendorong agar negara-negara di dunia mengintegrasikan segala aspek kebijakan dunia mayanya dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM di dunia maya. "Hak-hak yang dilindungi ketika offline bagaimanapun harus memperoleh perlindungan yang sama ketika online," tegasnya.



JAMIN PERLINDUNGAN HAM - Sementara itu, Direktur Riset dan Jaringan LBH Pers Asep Komarudin mengatakan, pemerintah juga harus memahami bahwa implementasi kerja BSSN juga sangat terkait erat dengan pelaksanaan hak atas privasi (Pasal 17 ICCPR) dan hak atas kebebasan berekspresi (Pasal 19 ICCPR). "Oleh karena itu, setiap langkah yang diinisiasi oleh pemerintah melalui BSSN, khususnya yang terkait dengan tindakan pembatasan, harus sepenuhnya mempertimbangkan aspek kebutuhan yang mendesak (necessity) dan aspek proporsi tindakan (proportionality) terhadap tujuan yang hendak dicapai," ujarnya.

Pemerintah juga harus memikirkan untuk mengambil langkah-langkah penting lainnya guna memastikan bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia di internet tetap terjamin, termasuk menyediakan mekanisme pengaduan, pemulihan, dan rehabilitasi jika hak-hak tersebut dilanggar. Oleh karena itu, ELSAM dan LBH Pers mendesak pemerintah untuk melakukan beberapa hal.

Pertama, perlunya menyiapkan kebijakan pendukung dalam operasionalisasi BSSN, guna menjamin terintegrasinya prinsip-prinsip perlindungan HAM dalam pelaksanaan tugas lembaga ini. "Termasuk di dalamnya dalam perumusan kebijakan teknis, seperti penutupan akses, monitoring internet, juga pengaduan dan pemulihan bagi warga negara yang hak-haknya dilanggar oleh kerja-kerja BSSN," kata Asep.

Kedua, dalam operasionalisasinya juga perlu dibuka ruang partisipasi masyarakat sipil, akademisi, sektor bisnis, dan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pemanfaatan teknologi internet. Ketiga, memastikan bekerjanya mekanisme pengawasan internal, juga membuka peluang bagi pengawasan eksternal, untuk memastikan akuntabilitas lembaga ini.

"Bahkan, lembaga ini semestinya secara berkala mengeluarkan laporan-laporan agregat atas pelaksanaan tugas dan penggunaan wewenangnya, khususnya yang terkait dengan monitoring pengguna," tegas Asep.

Keempat, dalam penataan organisasinya, harus dipastikan tidak adanya overlapping dalam pelaksanaan tugas lembaga ini, dengan lembaga-lembaga lainnya, sehingga aspek koordinasi juga perlu diperkuat, sehingga dapat meminimalisir pelanggaran yang ditimbulkan dari pelaksanaan tugasnya. Kelima, dalam pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga ini, jangan sampai upaya intervensi dengan tujuan pengamanan justru menghambat produktivitas dan kemajuan dalam penggunaan internet, akibat pengurangan dan pelambatan akses.

"Akan tetapi harus mampu menjembatani antara kebutuhan fungsionalitas dunia maya dengan persyaratan keamanan dalam penggunaannya," pungkas Asep.

DPR DUKUNG - Terkait pembentukan BSSN ini, pihak Komisi I DPR sendiri sudah menyatakan dukungannya. Anggota Komisi I DPR Sukamta mengatakan, pihaknya sudah lama mendorong dibentuknya lembaga ini. "Sesungguhnya sudah sejak lama kami di Komisi I mendorong segera ada badan yang secara khusus menangani keamanan siber," ungkap Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/6).

Badan keamanan siber menurutnya sangat diperlukan mengingat ancaman dari dunia maya yang semakin meningkat. Terutama setelah belum lama ini munculnya serangan siber melalui ´wannacry´ ke sistem komputasi di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Sukamta pun berharap BSSN dapat segera membuat perencanaan yang matang untuk membangun sistem keamanan siber. BSSN menurutnya harus membuat roadmap yang jelas, termasuk pengisian dengan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.

"Perlu pengembangan SDM Siber yang tangguh dan membangun kemampuan teknologi siber yang mumpuni secara mandiri sehingga tidak ada ketergantungan dengan produk asing di masa depan," sebut Sukamta.

Sekretaris Fraksi PKS ini pun meminta masyarakat tidak perlu takut mengenai adanya kekhawatiran BSSN berpotensi melanggar hak-hak warga. Kekhawatiran ini terkait tugas BSSN yang melakukan pengawasan siber.

"Hak-hak warga negara sangat jelas dijamin di dalam UUD 1945, ini adalah aturan dasar yang tidak bisa dilanggar oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya," tuturnya.

"UU ITE juga telah memberikan koridor yang jelas, mengatur hak dan kewajiban dalam pemanfaatan siber secara bebas dan bertanggung jawab, jadi tidak perlu ada kekhawatiran soal itu," imbuh Sukamta.

Meski begitu, Komisi I berjanji akan terus melakukan pengawasan dan evaluasi kepada BSSN yang baru dibentuk ini. Hal tersebut menurut Sukamta untuk memastikan tidak adanya hak-hak warga yang dilanggar. "Sebaiknya masyarakat juga bersama sama melakukan pengawasan secara kritis," tambah dia.

Langkah awal yang harus dilakukan pemerintah setelah BSSN terbentuk, disebut Sukamta, adalah dengan menunjukkan itikad baik. Pertama adalah dengan mengisi lembaga non-kementerian itu dengan SDM yang profesional. "(SDM) yang memiliki track record yang kompeten di bidang IT. Ini penting untuk menepis dugaan pemanfaatan badan baru ini untuk kepentingan politik," ujar Sukamta. (dtc)

 

BACA JUGA: