JAKARTA, GRESNEWS.COM - Statusmu Harimaumu! Di jagat maya, orang memang mesti hati-hati dalam berperilaku dan bersikap laiknya bergaul di masyarakat. Salah-salah ucap alias memuat status kontroversial di jejaring sosial, tak cuma hukuman "sosial" yang menanti, tetapi juga hukuman badan alias pidana. Begitulah kini nasib yang dialami oleh Florence Sihombing, seorang mahasiswi kenotariatan strata 2 (S2) Universitas Gadjah Mada (UGM).

Gara-gara postingannya yang dinilai menghina masyarakat Yogyakarta, kini Florence terancam terjerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dia mengunggah status di situs jejaring sosial Path yang isinya begini: "Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja." Keruan saja celotehannnya itu memancing reaksi warga Yogyakarta yang mencintai kota budaya itu mati-matian.

Ketua Bidang Organisasi, Pengurus Pusat Keluarga Alumni Pasca Sarjana Ilmu Komputer UGM Janner Simarmata mengatakan, ucapan Florence di situs jejaring sosial itu dapat dijerat dengan UU ITE. Pasal yang bisa digunakan adalah Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 25.

Pasal 27 Ayat (3) menyebutkan: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Sementara Pasal 45 berbunyi: "(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Janner sendiri sebagai alumni UGM mengaku tersinggung dengan pernyataan Florence itu. "Sebaiknya UGM memberikan sanksi akademik kepada mahasiswa tersebut, karena pernyataan ini membuat kampus UGM menjadi kena imbasnya," kata Sekjen Forum Akademisi Informasi Teknologi itu kepada Gresnews.com, Jumat (29/8).

Florence sendiri dalam pengakuannya, memang sempat marah dengan situasi yang dia alami sehingga menuangkan unek-uneknya lewat jejaring Path tersebut. "Saya ingin memberikan klarifikasi berkaitan dengan peristiwa di SPBU Baciro/Lempuyangan Yogyakarta yang terjadi pada Rabu (27/8/2014). Pertama, kemarin saya sedang sakit, saya tahu kalau Yogya itu lagi langka bensin," ujar Florence, Kamis (28/8) kemarin.

Florence melanjutkan, akhirnya dia mengantre di bagian Pertamax 95. Sedangkan yang lainnya adalah bagian Premium dan Pertamax 92. "Satu-satunya Pertamax 95 hanya antrean di situ. Antrean Pertamax 95 di situ diatur untuk mobil," imbuhnya.

Dia kemudian mengatakan kepada petugas SPBU bahwa keadaannya sedang sakit dan darurat. Florence juga sempat menyampaikan hal yang sama dengan seorang anggota TNI yang saat itu sedang berada di sana. "Pas di pertengahannya, begitu sampai di depan pompa bensin, saya turun, terus orang-orang pada datang," kata Florence.

"Yang petugas Pertamina dan TNI-nya bilang, Mbak nggak bisa parkir di sini, mbak nggak bisa isi di sini karena ini antrian untuk mobil. Saya bilang, Pak saya mau beli pertamax 95, makanya saya antre di sini," cerita Florence.

Dia memilih SPBU di kawasan Lempuyangan karena dia akan ke RS Bethesda. Awalnya dia berencana akan ke SPBU di daerah Sagan namun urung karena Pertamax masih kosong. "Saya menegaskan itu tidak pernah menyerobot atau menyelonong. Kalau menyelonong secara bahasa kita bisa artikan, saat itu sudah berjejer dan menyelinap dari tengah," katanya.

"Sementara saya lihat ini antrean mobil di belakang kosong, terus saya di belakang ada mobil lagi. Terus waktu saya minta dilayani untuk diisikan Pertamax 95, saya nggak dilayani. Saya bilang, ´Pak tolong, saya mau ke rumah sakit´. Saya tidak merayu bapak itu, saya kasih tahu. saya tidak bilang kasihani saya, saya tidak pernah minta dikasihani," ujar Florence.

Florence bercerita, anggota TNI yang sempat berbicara kepadanya sempat berkata kepadanya bahwa keputusan ada pada petugas. "Seingat saya, bapaknya (anggota TNI) bilang ya sudah kalau begitu saya serahkan ke petugasnya. Kalau mau diisikan silakan kalau nggak mau ya nggak bisa berbuat apa-apa. Bapaknya (anggota TNI) sempat ngomong kayak gitu," katanya.

"Saya hanya ingin klarifikasi berita bahwa saya tidak menyerobot antrean, saya tidak merayu petugas dan saya tidak meminta dikasihani. Pernyataan itu tidak pernah ada," tutupnya.

Akibat kejadian ini, Florence kemudian menyampaikan kemarahannya di status Path. Dia sempat menghina warga Yogya dalam statusnya tersebut. Perkataannya yang tidak pantas kemudian menuai kecaman.

Tak hanya itu, puluhan warga Yogya melakukan aksi protes terhadap Florence dan ada juga yang melaporkannya ke polisi. Florence kini telah menyampaikan permintaan maaf. Tak hanya kepada warga Yogyakarta, Florence juga meminta maaf kepada Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia mengaku menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Florence sendiri memang sudah dilaporkan ke polisi berdasarkan UU ITE oleh warga Yogyakarta yang merasa tersinggung akan ucapannya itu. Hanya saja, lantaran Florence sudah meminta maaf secara terbuka, pihak yang melaporkan diminta untuk mencabut laporannya tersebut. "Yang mempolisikan Florence pakai UU ITE menurutku terlalu berlebihan," kata pakar media sosial, Nukman Luthfie, Jumat (29/8).

Menurut Nukman, walau kemarahan yang diungkapkan Florence lewat path-nya belum tentu benar, tetapi kalau kemudian diperkarakan sampai ke polisi, apalagi dengan UU ITE itu sangat berlebihan. "Penggunaan UU ITE harus hati-hati tidak sembarangan. Sebenarnya banyak yang nggak suka dengan UU ITE ini. Ini lebih berat dari pasal pencemaran nama baik di KUHP. Di UU ITE ini ancamannya di atas 5 tahun, jadi walau belum terbukti sudah bisa dibawa ke penjara," terang Nukman.

Sebaiknya pihak yang melaporkan Florence benar-benar menimbang dengan bijak. Apalagi yang dilakukan Florence hanya kemarahan sesaat dan dia pun sudah meminta maaf. Publik Yogya yang santun dan ramah pun pasti menerima ini. "Apalagi dia seumur hidup belum pernah melakukan seperti itu di media sosial. Sanksi sosial sudah cukup, tidak perlu dibawa ke ranah hukum," tegasnya.

Nukman melanjutkan, sebaiknya semua pihak juga paham dan mengerti bagaimana media sosial. Memang tidak bisa seenaknya berbuat dan mengumpat di media sosial, tetapi jangan lantas kemudian langsung dibawa ke ranah hukum kalau ada sesuatu. "Ranah hukum pilihan terakhir, diambil jalan diskusi dahulu minta penjelasan apa maksudnya statusnya di media sosial. Anggap saja pertengkaran di media sosial sama seperti di offline, ya seperti ngobrol saja," urainya.

"Kalau di media sosial ya hukumannya di-bully, itu sudah selesai. Tidak perlu ke ranah hukum apalagi sampai menggunakan UU ITE pasal 37. Jangan langsung pakai UU ITE meski ranahnya digital, nanti itu dipakai memberangus suara orang. Saya sarankan yang mempolisikan Florence segera mencabutnya, nggak bijak itu," tutupnya. (dtc)

BACA JUGA: