JAKARTA, GRESNEWS.COM – Sengkarut proses pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah DKI Jakarta semakin rumit. Tidak hanya pembelian lahan yang tidak sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang bermasalah, tetapi pada proses awal penyusunan APBD-Perubahan untuk pembelian Sumber Waras, ternyata juga sudah menyalahi prosedur.

Dalam persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang mendatangkan ahli pengamat kebijakan publik dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW) Amir Hamzah terungkap, sejak perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) DKI Jakarta, alokasi pembelian tanah Sumber Waras sudah salah. Dia menegaskan polemik Sumber Waras yang menggelinding sampai saat ini berawal dari kesalahan pertama yakni penyusunan anggarannya. Sebenarnya, kata Amir, anggaran untuk membeli Sumber Waras tidak ada dalam APBD-P karena pada saat penetapannya pada 13 Agustus 2015 seharusnya masih dalam koreksi di Kementerian Dalam Negeri (Mendagri).

Dia menguraikan kronologi dari anggaran APBD-P Provinsi DKI Jakarta. Awalnya APBD itu ditetapkan pada 13 Agustus 2015, kemudian dikirim ke Mendagri beberapa hari setelahnya untuk dikoreksi. Lalu anggaran tersebut dikoreksi Mendagri termasuk mata anggaran pembelian Sumber Waras. Namun sampai sekarang APBD-P itu tidak pernah diperbaiki oleh Pemprov DKI Jakarta.

Pada 21 Oktober 2015, Ahok mengirim surat ke DPRD agar anggaran tersebut segera disetujui pengesahannya. Padahal 21 Oktober, semua menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah didemisionerkan karena Presiden Joko Widodo dilantik pada 20 Oktober. Pada masa itu, tidak ada Mendagri yang bisa mengoreksi APBD-P tersebut.

"Tidak ada alokasi anggaran untuk membeli Rumah Sakit Sumber Waras di APBD-P. Jadi Kalau terdapat penyimpangan maka kerugian negara bukan lagi Rp173 miliar tetapi menjadi total lost Rp755 miliar."ujar Amir Hamzah di PN Jakarta Selatan, Kamis (28/4).

Kesalahan kedua, menurut pelapor kasus Sumber Waras di KPK ini, lahan yang dibelikan tersebut pun merupakan lahan sengketa yang belum bisa dilakukan transaksi jual-beli. Lahan itu sedang dalam proses hukum di PN Jakarta Pusat antara Rumah Sakit Sumber Waras dan Perhimpunan Candra Naya. Karena statusnya masih sengketa artinya belum ada pemilik yang sah terhadap lahan tersebut sehingga belum bisa dilakukan transaksi jual-beli.

Lahan Sumber Waras pada 1996 sudah dihibahkan ke Yayasan Sumber Waras, namun karena ada gelombang demonstran akhirnya penghibahan itu kemudian dibatalkan melalui keputusan rapat anggota.

Sebelumnya, pada 1970, lahan tersebut juga pernah dihibahkan ke Yayasan Sumber Waras oleh Patmo Soemasto yang saat itu menjabat sebagai ketua Perhimpunan Candra Naya. Namun tanpa persetujuan anggota.

"Tanah Sumber Waras juga masih dalam masalah antara Yayasan Sumber Waras dengan Perkumpulan Candra Naya. Tanah itu status kepemilikannya belum tahu siapa yang punya, artinya tidak boleh ditransaksikan," tutur Amir Hamzah.

Meskipun begitu, sebagai pelapor dalam kasus ini, imbuh Amir, dia meyakini KPK akan menjalankan tugasnya dengan baik sebagai penyelidik. Hanya saja, dia merasa sedikit geram dengan pernyataan KPK yang menyatakan belum menemukan dua alat bukti dan belum menemukan niat jahat dalam proses penyelidikan yang berlangsung di KPK.

"KPK menyatakan belum menemukan dua alat bukti dan niat jahat. Niat jahat kan tidak diatur oleh undang-undang. Yang tahu niat jahat adalah Allah SWT," tukasnya kesal. Dalam pengertian lain, Amir memandang unsur alat bukti dalam kasus ini sudah cukup jelas sehingga proses hukumnya bisa ditingkatkan ke penyidikan.

Sementara itu, kuasa hukum KPK Suryawulan tetap bersikukuh dengan pandangannya bahwa belum ada penghentian penyelidikan dalam kasus Sumber Waras. Suryawulan dalam sidang sebelumnya menyatakan proses penyelidikan masih berlangsung di KPK.

Sejauh ini, kata Suryawulan, KPK belum pernah menghentikan penyelidikan kasus tersebut. Karena KPK sedang melakukan penanganan kasus itu dengan sangat hati-hati dan profesional.

AJUKAN GUGATAN PERDATA - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman sebagai pemohon dalam sidang praperadilan ini menyatakan akan mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Pusat. Pasal 63 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membuka pintu bagi korban untuk melakukan gugatan secara perdata. "Saya akan ajukan gugatan baru nanti berdasarkan UU KPK itu," ujar Boyamin.

Boyamin berpendapat bahwa kasus Sumber Waras sudah terpenuhi unsur tindak pidana korupsi kalau mengacu pada laporan BPK soal adanya kerugian negara. "Di audit BPK itu ada ketidakpatuhan terhadap ketentuan dan ada kerugian negara. Unsurnya sudah (ada), tinggal mencari orangnya," kata Boyamin.

Dalam persidangan Rabu (27/4) pihak BPK membenarkan adanya kerugian negara sebesar Rp173 miliar dalam kasus pembalian lahan RS Sumber Waras. "Pada sidang kali ini BPK dalam jawaban resminya menyatakan memang betul dalam kasus sumber waras adalah Rp173 miliar. Itu jawaban resmi," kata Boyamin.

Menurutnya, jawaban BPK itu bisa membuat KPK menaikkan status kasus Sumber Waras dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. "Kemarin kan DPR hanya rapat tertutup sehingga kami tidak bisa mengorisinilkan. Sekarang sudah ada jawaban tertulis tangan kuasa hukum BPK (kalau ada kerugian negara Rp173 miliar)," ujarnya.

BACA JUGA: