JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hukuman empat tahun yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor kepada Gubernur Banten non aktif Ratu Atut Chosiyah disesalkan sejumlah pihak. Hukuman tersebut dinilai terlalu ringan, mengingat apa yang dilakukan Atut dengan menyuap mantan Ketua Mahkamaj K Akil Mochtar telah mencoreng lembaga peradilan.

"Saya menyesalkan vonis minimal yang diberikan hakim tipikor terhadap Atut, dan yang lebih menyesalkan ada hakim yang justru berpendapat Atut tidak bersalah," ujar Dahnil Anzar, Penggiat antikorupsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, kepada Gresnews.com, Selasa (2/9).

Menurut Dahnil, dengan vonis tersebut hakim telah mengabaikan dua hal. Pertama, fakta bahwa suap Atut terhadap Akil telah menghina hukum Indonesia sampai pada titik terendah. Karena pihak yang diperintah disuap adalah hakim tertinggi dan terhormat, yakni Ketua MK. Dampak dari suap tersebut kepercayaan publik terhadap MK merosot tajam. Disisi lain, tindakan  suap yang dipraktekkan Atut mempertegas tindakan membajak demokrasi dengan praktek uang. Tentu saja hal ini merusak kualitas demokrasi.

Kedua,  kata Dahnil, hakim mengabaikan efek jera yang seharusnya diberikan kepada koruptor. Vonis seperti ini justru membuat koruptor tidak takut, karena hukuman korupsi di Indonesia sangat ringan.

Sementara itu, berkaitan dengan tuntutan pencabutan hak politik yang tidak dikabulkan, hakim kembali menunjukkan ketidakpeduliannya dengan pentingnya membebaskan Indonesia dari praktek perburuan rente dalam politik yang diduga selama ini dilakukan dinasti politik Atut. "Saya berharap, JPU naik banding dan mendorong vonis maksimal bagi atut dengan melengkapi berbagai bukti yang bisa memperkuat tuntutan," ujarnya.

Penolakan terhadap vonis Atut tersebut juga diutarakan anggota Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada Hifdzil Alim. Menurutnya keputusan Majelis Hakim yang hanya mengganjar Atut dengan hukuman empat tahun penjara dianggap kurang bijak. "Seharusnya majelis hakim bisa lebih bijak memutuskan. Atut itu kan sudah berurat berakar korupsinya. Mestinya bisa lebih tinggi menjatuhkan putusan," kata Hifdzil dihubungi Gresnews.com, Selasa (2/9).

Terkait desakan pencabutan hak politik terhadap Atut,  juga seyogyanya dapat dikabulkan. Apalagi Atut sendiri juga menjabat sebagai kepala daerah yang semestinya turut membantu program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Karena jika hak politik itu tetap melekat, dikhawatirkan di kemudian hari para kepala daerah yang terjerat korupsi dapat kembali terpilih.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengisyaratkan banding terkait vonis ini. Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, keputusan Majelis Hakim Tipikor tidak mencapai 2/3 dari tuntutan Jaksa KPK. Namum ia belum dapat memastikan kapan pengajuan banding tersebut.

Busyro mengatakan, tidak sepantasnya Atut mendapatkan hukuman ringan. Sebab perbuatan Atut yang menyuap Akil dianggap menciderai demokrasi yang telah dibangun. "Karena kasus ini telah menodai demokrasi dan MK serta melukai hati rakyat," ujar Busyro kepada wartawan, Senin (1/9) malam.

Sebelumnya Majelis Hakim Tipikor mengganjar Ratu Atut dengan pidana 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta. Atut terbukti menyuap mantan Ketua MK Akil Muchtar untuk mempengaruhi hasil pilkada di Kabupaten Lebak, Banten.

Selain itu, Hakim juga menolak tuntutan Jaksa KPK terkait dengan pencabutan hak politik terhadap politisi Partai Golkar ini. Hakim beralasan  masyarakat saat ini sudah pandai dan bisa memilih mana calon kepala daerah bersih dan tidak terkait korupsi. "Mengenai hak pencabutan politik Majelis Hakim tidak sependapat, karena masih dalam pidana lain. Dan saat ini masyarakat sudah bisa menyeleksi sendiri dan sudah pintar dalam memilih," ujar Hakim Anggota Hugo saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor, Senin (1/9).

BACA JUGA: