JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrachman masih terus berkelit dari sangkaan menjadi perpanjangan tangan sebuah korporasi besar dalam mengurus perkara yang dihadapi perusahaan itu di Mahkamah Agung. Dalam persidangan etik yang digelar di MA, Nurhadi terus mengaku tidak tahu menahu kasus yang melibatkan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution itu.

Kelitan Nurhadi dari tudingan terlibat kasus suap yang juga menyeret Direktur PT Kreasi Dunia Keluarga Doddy Ariyanto Supeno itu, disampaikan Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi. Dia menegaskan, sidang etik telah digelar oleh Mahkamah Agung setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Nurhadi.

Selain dipanggil, Nurhadi diketahui juga telah dicegah oleh KPK ke luar negeri. "Sudah ada Komite Etik mengenai isu itu. Saya dengar Pak Nurhadi enggak mengakui ada hubungan dengan pihak-pihak yang berperkara itu," kata Suhadi saat dihubungi wartawan, Sabtu (28/5).

Nurhadi sendiri telah diperiksa pada 24 Mei 2016 lalu. Saat ditanya wartawan mengenai perannya dalam mengurus perkara di MA, Nurhadi juga membantahnya. "Enggak ada, enggak ada," tuturnya.

Menurut Nurhadi, penyidik hanya menanyakan perihal pekerjaannya sebagai Sekretaris MA. "Hanya tugas dan fungsi," pungkas Nurhadi.

Begitupun saat ditanya mengenai uang Rp1,7 miliar yang disita tim penyidik, Nurhadi mengaku tidak ditanya mengenai hal tersebut. "Tidak ditanya," singkatnya.

Terkait kasus ini, KPK sendiri masih terus memburu orang dekat Nurhadi, Royani, yang diduga tahu banyak soal seluk beluk keterlibatan Nurhadi dalam kasus tersebut. Sudah dua kali panggilan dilayangkan KPK terhadap orang yang juga menjadi sopir Nurhadi ini tidak dipenuhi.

MA ikut membantu pencarian Royani yang diduga disembunyikan. Namun pencarian di dua kediaman Royani tidak membuahkan hasil.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan tim penyidik juga terus mencari keberadaan Royani. "Oh iya, (Royani) itu salah satu yang penting, pelaku yang penting. (Pencarian) selalu bergulir terus. Paling dipanggil lagi untuk memperdalam," ujar Agus, Kamis (26/5).

Royani sendiri diketahui sudah lama mangkir tak menjalankan tugasnya di Mahkamah Agung. Ketidakhadiran Royani sebagai pegawai negeri sipil lingkungan MA ini akhirnya berbuah sanksi berat. Suhadi mengatakan, MA sudah memberhentikan Royani. "Dia sudah 42 hari tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah, jadi diberhentikan oleh MA," ujar Suhadi.

Pemecatan Royani, menurut Suhadi, sesuai dengan aturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. SK pemberhentian Royani sudah diteken pada Jumat (27/5).

"Lebih dari 30 hari tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah, institusi yang berwenang sudah dapat memberhentikan yang bersangkutan," tegas Suhadi.


SAKSI LAIN JUGA MANGKIR - Selain Royani, KPK juga sudah memanggil saksi lain yaitu tiga personel kepolisian yang juga dinilai penting kesaksiannya untuk mengungkap perkara ini. Ketiga orang saksi itu adalah Fauzi Hadi Nugroho, Andi Yulianto, dan Dwianto Budiawan.

Mereka sedianya akan diperiksa sebagai saksi untuk Doddy Aryanto Supeno. Sayangnya, ketiga saksi ini juga terus mangkir dari dua kali pemanggilan KPK. Pada pemanggilan pertama, ketiga anggota Polri tersebut dijadwalkan pemeriksaannya bersama Sekretaris MA Nurhadi. Namun ketiganya mangkir dari pemeriksaan tanpa keterangan.

"Tiga saksi untuk Doddy Aryanto Supeno (DAS) tidak hadir tanpa keterangan," ujar Plt Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati.

Namun Yuyuk belum mengetahui rencana pemanggilan ketiga kalinya terhadap ketiga orang tersebut. "Belum ada rencana kapan akan dibuatkan surat panggilan lagi untuk ketiganya," jelas Yuyuk.

Mabes Polri sebelumnya mengimbau agar ketiga anggota polisi ini memenuhi panggilan KPK. Mabes Polri meminta ketiganya kooperatif sebagai saksi perkara korupsi.

"Prinsipnya dalam penegakan hukum kami akan membantu KPK. Prinsip memberikan kesaksian kan wajib bagi semua orang demi negara," ujar Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jumat (27/5).

Terkait kasus suap di PN Jakpus, KPK menetapkan dua orang tersangka yaitu Doddy Aryanto Supeno selaku pemberi suap dan Edy Nasution, panitera PN Jakpus selaku penerima suap. Dari tangan Edy, KPK menyita duit Rp50 juta.

Transaksi keduanya diduga berkaitan dengan pengamanan pendaftaran Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakpus. Dalam perkembangan perkara itu, nama sekretaris MA Nurhadi ikut terseret. Ruang kerja serta rumah Nurhadi di bilangan Kebayoran Baru juga digeledah.

BUKAN RANAH KOMISI YUDISIAL - Lambannya KPK menangani kasus yang melibatkan Nurhadi ini, membuat banyak pihak berharap Komisi Yudisial yang berugas mengawasi kinerja para hakim untuk ikut turun tangan. Sayangnya, menurut Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi, lembaganya tak bisa berbuat banyak dalam kasus ini.

Termasuk untuk ikut memantau hasil sidang komite etik untuk menelusuri dugaan keterlibatan Nurhadi dalam kasus suap terhadap panitera sekretaris PN Jakarta Pusta itu. Farid menegaskan, hal tersebut bukanlah wewenang dari lembaganya.

Menurut Farid, meskipun menjabat sebagai sekretaris, tetapi status Nurhadi bukanlah seorang hakim yang memutus suatu perkara. Oleh karena itu, pihaknya sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa ataupun merekomendasikan status Nurhadi terkait dengan kasus di KPK.

"Konteksnya berbeda, tidak bisa dikomentari karena non-hakim. KY itu hanya berurusan dengan hakim," kata Farid kepada gresnews.com, Sabtu (28/5).

Untuk itu, Farid menyerahkan hal tersebut sepenuhnya kepada MA karena memang merupakan kewenangannya. Meskipun begitu, ia meminta agar lembaga pimpinan Hatta Ali tersebut berlaku kredibel dan terbuka demi menjaga kepercayaan masyarakat.

Bahkan, menurut Farid, jika memang diperlukan, MA bisa saja bekerjasama dengan pihak eksternal untuk memastikan keterlibatan Nurhadi dalam perkara ini. Namun lagi-lagi, hal itu, ujar Farid, merupakan kewenangan secara penuh yang dimiliki Mahkamah Agung.

"Mekanisme normal mestinya tidak usah eksternal. Untuk menjaga kepercayaan publik cukup internal, tapi kalau dianggap penting silakan saja. Mengomentari kepatutan apa ada tim khusus itu ya bisa saja," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: