JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua perusahaan swasta yang mendapat kontrak pengelolaan air minum di Jakarta, PT Aetra dan PT Palyja, rupanya belum mengibarkan bendera putih meski Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan untuk memenangkan gugatan warga Jakarta dan membatalkan kontrak antara Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan kedua perusahaan tersebut. Aetra dan Palyja rupanya masih akan meneruskan perlawanan dengan mengajukan banding.

Kedua perusahaan tersebut masih mempertimbangkan untuk meneruskan perjanjian antara mereka atau meminta ganti rugi atas investasi pada PDAM sejak 1998. Corporate Secretary Aetra, Pratama S Adi, mengatakan keputusan meminta ganti rugi atau tidak akan bergantung pada pemegang saham di internal Aetra.

Saat ini para pemegang saham tersebut masih melakukan tinjauan ulang atas saham dan putusan tersebut. "Yang lebih kami khawatirkan bagaimana kepastian iklim investasi di Jakarta sendiri," ujar Pratama saat dihubungi Gresnews.com, Sabtu (28/3).

Saat ditanya soal perkiraan kerugian yang diderita Aetra karena kontrak diputus, ia mengatakan sejak 1998 hingga kini, Aetra telah memberikan investasi dalam kontrak kerjasama sebesar Rp1,9 triliun. "Angka tersebut belum mencakup hal lainnya yang membutuhkan perhitungan lebih detail," tambahnya.

Pratama pun menyatakan tidak berani terlalu cepat menghitung berapa kerugian yang Aetra derita. Sebab Aetra sendiri akan mengupayakan langkah hukum hingga jenjang yang tertinggi. Proses terdekat adalah banding atas putusan PN Jakpus. "Banding tersebut diajukan lantaran perusahaan masih berniat untuk kembali melakukan kerjasama," kata Pratama.

Ia melanjutkan, pihaknya kini masih melakukan persiapan untuk banding yang diperkirakan akan diajukan pekan depan. Hingga kini level pimpinan Aetra masih akan menentukan kuasa hukum yang akan ditunjuk untuk banding tersebut.

Pratama mengakui, peluang banding tipis lantaran selain putusan PN Jakpus, penggugat dikuatkan dengan adanya audit Badan Pemeriksa Keuangan atas PAM Jaya dan dibatalkannya Undang-Undang Sumber Daya Air. Namun ia hanya menekankan perkara ini belum inkracht alias berkekuatan hukum tetap sehingga upaya hukum yang paling memungkinkan akan mereka tempuh.

Secara terpisah, Kuasa Hukum PDAM yang juga menjadi pihak tergugat menyatakan menerima putusan PN Jakpus. Kuasa Hukum PDAM Abdul Hadjar mengatakan putusan tersebut menguntungkan PDAM lantaran mereka dirugikan atas kontrak tersebut. Saat ditanya soal kerugian yang diderita PDAM, ia menjelaskan ada perhitungannya tersendiri.

"Palyja dan Aetra investasi berapa, lalu untungnya berapa. Hitungnya jangan dia kehilangan berapa sebab dia kehilangan atau rugi demi hukum. Kalau mau hitung kerugian dia, dia juga harus hitung keuntungan dia dapatkan selama kerjasama berjalan," ujar Abdul kepada Gresnews.com.

Terkait hal ini, kuasa hukum Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) selaku penggugat, Arif Maulana, mengatakan privatisasi air tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga dunia. Tapi privatisasi air paling besar khususnya di Indonesia terjadi di Jakarta.

Indikator dikatakan sebagai privatisasi paling besar bisa terlihat dari jangkauan wilayah, jumlah penduduk yang dilayani, dan  keuntungan paling besar diperoleh swasta yang mengelola air di Jakarta. "Soal hitung kerugian itu tugasnya pemerintah," ujar Arif kepada Gresnews.com.  

Sebelumnya, PN Jakpus memutuskan menerima sebagian permohonan penggugat atas swastanisasi air di Jakarta yang diakibatkan adanya kontrak antara PDAM dengan Palyja dan Aetra. Dalam gugatan ini, KMMSAJ menggugat Presiden dan Wakil Presiden RI, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, Gubernur DKI Jakarta, PDAM, dan DPRD Provinsi DKI Jakarta, PT PAM Lyonnaise, dan PT Aetra Air Jakarta atas kontrak antara PDAM dengan kedua perusahaan asing PAM Lyonnaise Jaya asal Perancis dan Aetra asal Inggris hingga 2023.

BACA JUGA: