JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa mendaftarkan pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Mahkamah Konstitusi MK. Mereka beralasan landasan  konstitusional pembentukan OJK tidak termuat di dalam UUD 1945. Karena itu OJK dinilai bertentangan dengan konstitusi.

OJK dilahirkan dari UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan turunan dari UU 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Sementara UU BI yang menjadi dasar pembentukan OJK dimaksudkan untuk menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan bank, bukan UU yang mengatur pengawasan sektor jasa keuangan nonbank dan jasa keuangan lain.

Sehingga UU BI baik secara keseluruhan maupun secara khusus melalui pasal 34 Ayat (1) tidak dapat dijadikan dasar sebagai pembuatan UU OJK. Karena OJK dibentuk untuk mengatur sektor jasa keuangan nonbank dan jasa keuangan lain. Sektor jasa keuangan nonbank dan jasa keuangan lainnya telah diatur dalam sejumlah UU, yang secara khusus mengatur sektor dimaksud berikut pengawasannya.

Pasal 34 Ayat (1) UU BI juga bukan produk hukum yang lebih tinggi kekuatannya atau lebih besar mandatnya dibandingkan dengan UU yang secara khusus mengatur sektor jasa keuangan nonbank dan jasa keuangan lain tersebut. Dengan demikian OJK hanya memiliki wewenang menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan lembaga keuangan bank yang didasarkan pada adanya pengalihan wewenang dalam pasal 34 Ayat 1 UU BI.

Karena itu kewenangan OJK bisa tumpang tindih dengan BI. Padahal kewenangan BI ini dilindungi oleh konstitusi. "Fungsi pengawasan dan pengaturan bank sebenarnya merupakan tugas Bank Indonesia karena telah dilindungi oleh konstitusi melalui Pasal 23D UUD 1945," kata anggota Tim Pembela Kedaulatan Ekonomo Bangsa Ahmad Suryono, usai mendaftarkan permohonan di gedung MK,  Jakarta, Kamis (27/2) kemarin.

Suryono berpendapat, Bank Indonesia lebih memiliki landasan konstitusional dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank. Karena itu TPKEB meminta MK menyatakan UU OJK terutama Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 bertentangan dengan UUD 1945.

Jika MK tidak mengabulkan permohanan itu, mereka meminta frasa ´tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan´ sebagaimana tertuang dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK dihapus. Pemohon juga mengajukan permohonan provisi, yakni putusan sela agar MK menonaktifkan OJK selama proses persidangan berjalan hingga putusan diberikan.

Pengamat ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menilai keberadaan OJK menjadi parasit di dalam ekonomi dan berpotensi merugikan nasabah industri keuangan melalui pemerasan sistematis terhadap ekonomi nasional dan keuangan rakyat. Indikasinya, OJK melakukan pungutan dalam jumlah besar kepada lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan nonbank yang didasarkan pada aset usaha.

"Dana-dana pungutan tersebut lebih terlihat untuk menggaji pejabat dan pegawai OJK," kata Salamuddin. Padahal kata dia, lembaga sejenis telah gagal di beberapa negara seperti di Inggris. Sementara Inggris adalah cikal-bakal munculnya OJK.

Ia berpendapat OJK ini tidak layak dipertahankan karena kehadirannya merupakan institusionalisasi kepentingan modal asing dalam ekonomi Indonesia. OJK dipekerjakan untuk meliberalisasi sektor keuangan dan membuka jalan dominasi modal asing di Indonesia. Menurutnya, keberadaan OJK dipandang sebagai rencana besar International Monetary Fund (IMF), sebagai bagian dari paket kerjasama dengan Indonesia.

Dalam kerjasama itu, IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga yang terpisah dari Departemen Keuangan dan bank sentral. Tujuannya, badan ini dapat menyiapkan industri perbankan nasional agar mampu menjadi pelaku global dengan inspirasi dari Financial Supervisory Agency (FSA) di Inggris. "Padahal, terbukti FSA gagal total dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya," jelasnya.

Sesuai amanat UU Nomor 21 tahun 2011 tentang OJK, lembaga itu secara resmi mengawasi kinerja seluruh bank yang ada di Indonesia sejak 31 Desember 2013. Sejak itu, OJK mengambil alih tugas perbankan yang selama ini dilakukan Bank Indonesia. Dengan demikian BI akan fokus pada pengendalian inflasi dan stabilitas moneter.

Penandatanganan berita acara serah terima pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari BI kepada OJK berlangsung di gedung Bank Indonesia di Jakarta, Selasa 31 Desember 2013. "OJK tentu saja akan strict nantinya pada peraturan-peraturan yang ada, sebab semua itu juga sudah ada di dalam berbagai macam aturan yang selama ini juga sudah dikeluarkan oleh Bank Indonesia," kata Ketua OJK Muliaman Hadad kepada wartawan usai ketika itu.

Dengan disahkannya UU OJK, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) juga melebur ke dalam OJK. Tugas Bapepam hanya sebagai pembuat regulasi, sedangkan tugas pengawasan terhadap Lembaga Keuangan diambil alih OJK. Keberadaan OJK juga diharapkan mampu melindungi masyarakat jika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh jasa keuangan seperti asuransi dan pasar modal.

BACA JUGA: