JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gurihnya bisnis narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) membuat para bandar barang haram terus mencari cara memuluskan roda bisnisnya. Antara lain dengan  membangun jejaring ke lingkaran  aparat penegak hukum,  seperti aparat kepolisian. Omset dan peredaran duit yang mencapai triliunan di bisnis ini kerap membuat aparat gelap mata.

Kasus tertangkapnya AKP Ichwan Lubis, Kepala Satuan (Kasat) Reskrim Narkoba Polres  Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KP3) Belawan, Medan  oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) ibarat puncak gunung es masuknya aparat penegak hukum dalam jejaring bisnis narkoba.

Indonesia Police Watch (IPW) melihat keterlibatan AKP Ichwan dalam bisnis ini tak sendiri. Namun ada sejumlah  polisi yang juga terlibat. IPW mendesak kasus ini agar dibongkar tuntas, termasuk keterlibatan polisi lain yang diduga menerima suap dari Tony alias Toge.

BNN harus segera memeriksa data dan CTTV di LP Lubuk Pakam, Sumut. Hal ini perlu dilakukan agar diketahui siapa saja polisi, yang pernah mengunjungi bandar narkoba Tony yang diduga menyuap Rp2,3 miliar kepada AKP Ichwan.

"Salah satu cara adalah membuka data dan CCTV orang-orang yang pernah mengunjungi Tony di LP Lubuk Pakam. Kemudian membongkar rekening mereka," ujar Ketua Presidium IPW Neta Pane dalam keterangannya tertulisnya di Jakarta, Selasa (26/4).

Menurut Neta, luasnya jaringan Tony bukan mustahil jika ada sejumlah oknum dari instansi lain juga terlibat. Ini menjadi tugas BNN untuk membongkarnya. Ia mengatakan, IPW sangat prihatin dengan kasus di Belawan tersebut.

Menurutnya, kasus ini adalah kasus yang kesekian kalinya di mana polisi terlibat dan diduga bermain-main dengan bandar narkoba, terutama di Sumut. Namun, kasus di Belawan ini lebih mengejutkan karena BNN menemukan uang Rp2,3 miliar di rumah polisi tersebut.

Neta menegaskan, terulangnya kasus polisi terlibat narkoba merupakan puncak gunung es. Diduga lebih banyak lagi kasus serupa yang melibatkan oknum polisi. Kasus Ichwan ini semakin menunjukkan bahwa narkoba makin sulit diberantas di negeri ini sebab bandar narkoba makin luas memperalat aparat penegak hukum.

IPW berharap Polri senantiasa bersikap terbuka terhadap aparatnya yang terlibat narkoba dan memaparkannya ke publik secara berkala. Selain itu, Polri harus bersikap tegas menindak aparatnya yang bermain-main dengan bandar narkoba dan harus menerapkan pasal hukuman mati.

Neta mengatakan, makin banyaknya aparat yang diperbudak oleh narkoba dan diperalat bandar narkoba akibat lemahnya pengawasan atasan terhadap bawahan. Selain itu, lemahnya hukuman yang diberikan institusi Polri terhadap aparaturnya. Bahkan institusi penegak hukum  cenderung melindungi, akibatnya tidak ada efek jera dan polisi-polisi nakal makin nekat mempermainkan Polri.‎

Neta mengatakan seharusnya Polri bertindak tegas dalam kasus seperti ini. Jika terbukti yang bersangkutan bermain-main dengan narkoba dan bandar narkoba, seharusnya segera dipecat dari Polri dan dijatuhi hukuman mati. Sehingga, polisi-polisi lain tidak nekat untuk meniru ulah yang bersangkutan.

Neta menandaskan, kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi Polri. Untuk itu, kasusnya harus dituntaskan dan jaringan yang melibatkan tersangka harus dibongkar untuk mengetahui apakah masih ada polisi lain yang terlibat dalam kasus ini. Lebih dari itu, ujarnya, AKP Ichwan jangan sampai menutupi jaringannya.

"Untuk itu, penyidik BNN harus konsisten membongkar tuntas kasus ini," tandas Neta.

AKP Ichwan bukan polisi pertama yang dituduh main mata dengan bandar narkoba. Publik masih diingat ketika AKBP Idha Endri Prastiono, saat itu menjabat Kasubdit III Reserse Narkotika Polda Kalbar, ditangkap Polisi Diraja Malaysia (PDRM) di Kuching pada September 2014 atas tuduhan terlibat jaringan pengedar narkoba. Dia diadili di Indonesia dan divonis 7 tahun penjara karena terbukti menggelapkan mobil Mercy New Eyes silver milik bandar narkoba yang ditangkapnya.

BISNIS GURIH - Kasus perwira Polri terlibat narkoba bukanlah hal baru sebenarnya. Hampir tiap tahun ada anggota kepolisian yang terlibat peredaran narkoba.

Tahun 2013, Kombes Pol Suyono yang terlibat sabu hanya dihukum direhabilitasi, meski dicopot dari jabatannya sebagai Irwasda Polda Lampung. Tahun 2012, Wakil Direktur Narkoba Polda Sumut AKBP Apriyanto Basuki Rahmad ditetapkan sebagai tersangka kasus kepemilikan narkoba. Tahun 2007 secara mendadak Kapolsek Cisarua AKP Jumantoro dicopot dari jabatannya karena terlibat kasus narkoba, diantaranya  kepemilikan 1.800 butir pil ekstasi, sejumlah sabu-sabu dan heroin.

Keterlibatan aparat penegak hukum dalam jejaring peredaran narkoba menjadi warning bagi pemerintah saat ini. Apalagi bisnis ini sangat gurih. Lihat saja, data BNN mengungkapkan, setiap tahun perputaran uang narkoba di Indonesia mencapai Rp 43 triliun lebih. Indonesia sendiri diperkirakan menyumbang 49% peredaran narkoba di wilayah ASEAN. Artinya, di semua negara ASEAN, peredaran narkoba yang paling besar ada di Indonesia.

Beda lagi hitungan dari Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat). Ketua Umum Granat Henry Yosodiningrat punya hitungan lain. Saat ini, ada sekitar 5 juta orang Indonesia sebagai pengguna narkoba. Kalau setiap hari mereka rata-rata mengeluarkan Rp200 ribu untuk membeli barang haram ini, maka dalam satu hari ada transaksi Rp1 triliun. Jika dikalikan maka sebulan ada transaksi Rp30 triliun.

"Kalau dikalikan satu tahun berarti Rp360 triliun," katanya.

BACA JUGA: