JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang perkara dugaan suap dalam pembahasan dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Zonasi dan Tata Ruang terkait reklamasi di Pantai Utara Jakarta telah mengungkap sejumlah fakta baru. Selain fakta adanya pertemuan antara pimpinan DPRD DKI Jakarta dengan pihak pengembang, juga  terungkap fakta-fakta lain terkait kongkalikong pengamanan proyek reklamasi.

Selain Mohamad Sanusi yang telah ditetapkan tersangka, sejumlah nama juga diakui KPK tengah didalami perannya dalam kasus tersebut, dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Nama-nama seperti bos PT Agung Sedayu Group, Sugiyanto Kusuma alias Aguan, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi dan juga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Mohamad Taufik adalah pihak yang terus ditelisik keterlibatannya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku akan terus mendalami beberapa fakta persidangan tersebut. Tak hanya itu, secara tak langsung, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengaku ada nama yang sudah masuk dalam tahap penyidikan.

"Ya semua yang dibuka di pengadilan oleh penyidik KPK itu memang itu bukti-bukti yang kita dapatkan sekarang," kata Syarief di kantornya, Jumat (22/7) malam.

Saat ditanya apakah KPK telah menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik) untuk nama Aguan, Syarif mengaku belum bisa membeberkannya. "Belum bisa kita beritahukan sekarang," tutur Syarif.

Sama halnya saat ditanya tentang nasib para pimpinan DPRD DKI Jakarta. KPK menyebut ada kemungkinan dibukanya penyelidikan baru. "Ya itu kan sedang dikerjakan KPK, itu tidak pernah berhenti. Sampai sekarang kita masih bekerja untuk itu, dan bukti-bukti yang di persidangan itu tentunya akan dipakai untuk memperkaya apa yang dikerjakan KPK," ujarnya.

Menurut Syarif, bantahan demi bantahan yang diutarakan para saksi dalam persidangan tersebut maupun Aguan pada saat proses penyidikan sama sekali tidak mempengaruhi penelusuran tim penyidik. Apalagi, jika bantahan itu tidak sesuai dengan bukti-bukti yang dimiliki KPK termasuk fakta persidangan yang ada.

"Itu kan sedang dalam proses penyelidikan atau penyidikan," ujar pimpinan KPK yang berlatar pengajar di Universitas Hasanuddin, Makassar ini.

Dari informasi yang diperoleh gresnews.com, salah satu kesulitan KPK menetapkan para pimpinan DPRD adalah belum ditemukannya kickback atau balas jasa dari pihak pengembang, selain kepada Sanusi. Meskipun demikian, hal tersebut tidak lantas bisa membuat mereka bernafas lega, karena KPK masih terus mengumpulkan bukti-bukti untuk menjeratnya.

Informasi yang diperoleh membenarkan adanya sejumlah pemberian berbau gratifikasi yang diterima oleh para legislator DKI Jakarta itu. Namun pemberian tersebut diduga didapatkan sebelum pembahasan Raperda.

KEDEKATAN PERSONAL - Beberapa pimpinan DPRD diketahui mempunyai kedekatan dengan beberapa pengembang. Dalam persidangan, Ketua DPRD Prasetio Edi mengakui dengan Aguan. Aguan diakuinya merupakan mantan atasannya ketika ia bekerja di Artha Graha Group.

Hal ini pun dimanfaatkan Aguan untuk menjalin komunikasi terkait pembahasan raperda yang berhubungan dengan reklamasi. Aguan meminta Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) di pulau-pulau reklamasi ditetapkan berkisar antara Rp3 juta hingga Rp10 juta. Padahal, NJOP wilayah di sekitar pulau reklamasi seperti Ancol, Pantai Mutiara atau pun Pantai Indah Kapuk berkisar antara Rp17 juta hingga Rp20 juta.

Dalam percakapan telepon yang disadap oleh tim KPK, terdengar Aguan mendikte nilai NJOP itu saat berbincang dengan Taufik. "Kalau Rp3 juta, bersihnya itu udah Rp10 juta ke atas karena Rp3 juta kan kotor, itu gross," kata Aguan dalam rekaman sadapan yang diputar jaksa pada Rabu (20/7).

Mendengar permintaan Aguan, Taufik menurutinya. "Iya, iya," ujarnya. Aguan kembali menegaskan harga Rp3 juta sudah pantas untuk NJOP di kawasan tersebut. "Betul, enggak? Rp 3 juta itu udah Rp 10 juta, belum jalan, belum apa-apa secara umum," kata Aguan yang kembali diiyakan oleh Taufik.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyebut penetapan NJOP wilayah reklamasi mempunyai hitungan berdasarkan luas zonasi dan beberapa hitungan lain. Oleh karena itu, tidak bisa gubernur atau pun dewan yang menentukan NJOP tersebut.

Meskipun belum ditentukan berapa besarannya, tetapi ia berpendapat bahwa NJOP pulau reklamasi tidak akan jauh berbeda dengan wilayah Ancol, Pantai Indah Kapuk, atau pun Pantai Mutiara yang juga merupakan hasil dari reklamasi.

"Itu semua hasil apa? Reklamasi. Berarti kan sama, kira-kira nilainya gitu. Jadi pasti tim ahli yang akan menghitung seperti itu," kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (21/7).

Wakil Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Edi Sumantri juga mengakui salah satu kesulitan Pemprov DKI menentukan besaran NJOP di atas lahan reklamasi adalah status tanah yang tadinya tidak ada menjadi ada. Namun, hal itu bisa diatasi dengan melakukan beberapa pendekatan.

Pertama dengan membandingkan NJOP di sekitar rencana kawasan reklamasi. Kemudian untuk yang kedua, mengikuti harga tanah yang sudah diumumkan oleh pengembang. Ketiga menggunakan jasa penaksir harga (appraiser) untuk menetapkan NJOP.
 
Edi menggambarkan besaran NJOP di pulau reklamasi dengan menggunakan patokan NJOP di wilayah sekitar. Misalnya, Jika menggunakan pendekatan pertama, kata Edi, beberapa wilayah yang bisa menjadi patokan antara lain, Pantai Mutiara dan Apartemen Green Bay NJOP Rp18,375 juta/m2, reklamasi Ancol Barat dengan nilai NJOP Rp20,755 juta/m2, dan Puri Jimbaran dengan NJOP Rp23,295 juta /m2.
 
"Nantinya, pemerintah akan memilih salah satu pendekatan untuk diimplementasikan pada keseluruhan pulau reklamasi. Kami akan berkonsultasi dahulu sebelum mengambil keputusan," ujar Edi beberapa waktu lalu.

ORDER PASAL RAPERDA - Dalam persidangan juga terungkap adanya transaksi dan order pasal raperda tentang penentuan harga NJOP lahan reklamasi, antara pimpinan DPRD DKI dan Aguan selaku pengembang reklamasi.

Berikut beberapa percakapan yang diungkap jaksa dalam persidangan;

Awalnya, yang menghubungi Taufik adalah Prasetio, ia mengaku sedang berada bersama Aguan.

Pras: Yang masalah NJOP udah beres kan yang dua tiga juta atau berapa itu?
Taufik: Hah?
Pras: Pokoknya delapan jutaan lah sama totalnya sampai hitungan itu (backsound) mael tiga jutaan (tidak jelas) Pak.
Pras :Yah si Toke maunya tiga juga aja tuh
Taufik: NJOP? Bener nih mau tiga juta? Gua tiga jutaan semua tiga juga
Taufik: Udah tiga juta kan kemaren gua bilang Meri
Pras: Nah ya udah kalau tiga juta NJOP besok dihitung
ya yah
Taufik: karena besok kan dipanggil BPN dipanggil DJP Perpajangan
Yah
Pras: ya udah kalau suruh tiga juta ya kita bikin tiga juta
nih lo ngomong ya Toke
Taufik: Siap
(telpon diberikan)
Aguan: Pik (manggil)
Taufik: Siap
Aguan: Pik (manggil)
Taufik: Siap siap
Aguan: Kalau tiga juta itu
 kalau kotor, bersihnya udah 10 juta lah
Taufik: Tiga juta jadi tiga juta?
Aguan: Higa juta base. Kalau tidak juga
Taufik: Ha-ah, ha
Aguan: Kalau tiga juta itu bersihnya itu udah 10 juta ke atas lah
Taufik: He-eh he-eh he-eh
Aguan: Karena tiga juta kan kotor itu gross
Taufik: Iya ya ya
Aguan: Gitu loh, cara hitungannya gimana kalau karena ini boleh pakai kan cuma 30 persen lebih
Taufik: He-eh heeh heeh
Aguan: Betul gak? kalau tiga juta kalau itu udah 10 juta belum jalan belum apa sarana umum ... betul gak.
Taufik: He-eh he-eh
Aguan: Heeh itu
Taufik: siap siap
Aguan: Ya titip baek
Taufik: Iya iya pak ya ya
Aguan: Yak makasih ayo ayo makasih

- Percakapan antara Taufik dan Prasetio tentang pasal yang diduga diorder oleh Aguan;

Oh ya ya ya. Terus apa lagi?
Pasal yang per diorder udah beres semua. Tinggal pasal sanksi aja udah.
Iya iya iya kenapa lagi?
Besok kelar
Apa lagi bro?
Besok udah
Oh gitu ya
Hmmm
He eh
Apa ada perintah lagi?
Ya nanti, beresin
Ya lu kirimlah, anjing!
Leh.. om!

Setelah itu, ada juga percakapan antara Sanusi dengan Taufik yang isinya terkait  permintaan besaran kontribusi tambahan. Sanusi menyampaikan permintaan Aguan, yang diberi kode Mangga Dua agar kontribusi tambahan 15 persen dimasukkan ke dalam kontribusi (wajib) bagi pengembang yang berjumlah 5 persen.

BACA JUGA: