JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menarik kontribusi tambahan kepada perusahaan pengembang reklamasi tanpa dasar hukum bakal menuai masalah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertanyakan kesepakatan yang disebut Ahok dengan istilah "perjanjian preman", kesepakatan antara Ahok dengan pihak pengembang PT Agung Podomoro Land, itu.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan seharusnya setiap pejabat negara jika ingin membuat kesepakatan harus ada payung hukum. Mereka tidak bisa membuat perjanjian sendiri apalagi jika melibatkan aset negara. Agus mengatakan, seorang pejabat daerah bisa membuat payung hukum seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai dasar melakukan kesepakatan. Hal itu bertujuan agar nantinya perjanjian itu tidak rawan digugat bahkan berpotensi melawan hukum.

"Jangan kemudian sebagai birokrat bertindak sesuatu tanpa acuan peraturan perundang-undangan, kan nggak boleh," tutur Agus di kantornya, Jumat (21/5) kemarin.

Agus pun mempertanyakan langkah yang diambil Ahok. "Nah kalau enggak ada peraturannya, itu kita ada tanda tanya besar. Peraturannya harus disiapkan dulu," imbuh Agus.

Alasan Ahok yang menyebut perjanjian hanyalah diskresi, menurut Agus, hal tersebut tidaklah menjadi pembenar. "Diskresi kan ada rambu-rambunya," imbuh Agus.

Pakar Hukum Tata Negara Bayu Dwi Anggono menjelaskan setiap perjanjian yang dilakukan Kepala Daerah harus mempunyai dasar hukum yang jelas. Hal itu untuk menghindari potensi pelanggaran hukum.

"Sebuah perjanjian yang dibuat oleh kepala daerah dengan pihak swasta, pembuatannya tidak ada kewajiban melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPRD. Hal ini tentu sangat rawan isi perjanjian tidak mencerminkan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi," ujar Bayu kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Bayu mengatakan, perjanjian tersebut untuk tingkat daerah sebaiknya dilakukan atas dasar Perda. Dan tentunya, perbuatan Perda itu akan melibatkan pihak DPRD yang notabene merupakan wakil rakyat. Hal itu bertujuan agar ada keterlibatan rakyat melalui wakilnya untuk menentukan kebijakan penting suatu daerah.

Selanjutnya Bayu berujar, Perda tersebut akan memuat materi penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan demikian apabila suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri memerintahkan pembentukan Perda, maka terhadap perintah atau delegasi pengaturan semacam itu harus dilaksanakan dan tidak bisa digantikan dengan produk hukum seperti perjanjian dengan alasan apapun.

"Intinya kalau delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi memerintahkan diatur melalui Perda berarti pejabat pemerintahan yaitu kepala daerah tidak boleh menyimpanginya, harus diatur melalui Perda dan tidak boleh melalui produk hukum lainnya semisal perjanjian," jelas Bayu.

MUASAL "PERJANJIAN PREMAN" - Ahok ketika itu mengakui bahwa dirinya membuat "perjanjian preman" dengan perusahaan pengembang. Ia berdalih, hal tersebut untuk menyiasati pembahasan Raperda terkait reklamasi Teluk Jakarta yang hingga kini pembahasannya masih jalan di tempat.

"Kalau perjanjian itu kan kamu suka sama suka, berarti kuat dong. Kerja sama bisnis kok. Ya kalau enggak ada perjanjian kan enggak kuat. Makanya sebelum saya tetapkan itu, saya ikat dulu pakai perjanjian kerja sama," terang Ahok.

Tentang perjanjian itu memang diungkapkan Ahok sebagai dasar penarikan kewajiban tambahan kontribusi dari para pengembang. Perjanjian itu dibikin pada rapat tanggal 18 Maret 2014 dan disebut Ahok sebagai "perjanjian preman".

Pemerintah Provinsi DKI dianalogikan sebagai preman resmi yang punya kewenangan menarik kewajiban dari perusahaan swasta. Tak hanya terkait perusahaan pengembang reklamasi, namun penarikan kewajiban dari perusahaan swasta lainnya juga dilakukan dengan dasar perjanjian semacam itu. Misalnya penarikan kewajiban pembayaran menaikkan Koefisien Luas Bangunan (KLB) dari perusahaan Jepang, Mori.

"Kayak perjanjian preman gitu juga," kata Ahok.

Perjanjian ini dibikin lantaran tak ada Perda yang bisa dijadikan landasan kuat penarikan kewajiban tambahan. Belakangan, Ahok bermaksud memasukkan besaran 15 persen kewajiban tambahan kontribusi ke dalam Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Namun akhirnya DPRD DKI sendiri menolak untuk melanjutkan pembahasan Raperda itu, seiring kasus suap yang menjerat anggota DPRD DKI, yakni Mohammad Sanusi.

Ahok kembali berdalih bahwa perjanjian tersebut didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres). Dalam Keppres tersebut, kata Ahok, diatur soal kewajiban yang bisa dikenakan kepada pengembang. Hanya saja besaran kewajiban itu tidak diatur detail dalam Keppres itu.

"Jadi begini, di situ ada Keppres menyebutkan, ada tiga sebetulnya. Jadi landasannya dari situ. Satu, ada tambahan kontribusi. Ada kewajiban, kalau kewajiban kan fasum fasos. Ada kontribusi 5 persen. Di situ katakanlah ada kontribusi tambahan, tapi enggak jelas apa. Ya saya manfaatkan dong (untuk dibikinkan perjanjian sendiri)," tutur Ahok.

Ahok tidak merinci Keppres yang dia maksud. Namun, bila merujuk Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, tidak ada satu pasal pun di Keppres tersebut yang mencantumkan soal kewajiban, kewajiban tambahan, atau kontribusi.

KPK yang tengah mengusut perkara suap di balik pembahasan 2 raperda itu pun ikut menelisik tentang proses penetapan kontribusi tambahan 15% tersebut. Bahkan KPK menduga pula adanya barter antara tambahan kontribusi tersebut dengan bantuan perusahaan pengembang pada sejumlah proyek Pemprov DKI seperti penggusuran Kalijodo.

BACA JUGA: