JAKARTA, GRESNEWS.COM – Indonesian Legal Roundtable (ILR) dan Indonesia Police Watch (ICW) menilai kemauan politik adalah suatu keharusan bagi pemerintah presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk dapat memerangi perilaku korupsi dan para mafia di negeri ini.
 
Sebab, menurut ILR, tidak salah untuk mengatakan bahwa korupsi adalah hasil dari isu-isu politik, sosial dan ekonomi yang berinteraksi satu sama lain. Ada ruang untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, dan dalam banyak kasus kesempatan tersebut telah difasilitasi tidak memadainya peraturan perundang-undangan yang telah digambarkan sebagai Lex Imperfecta.
 
Dalam konteks tersebut, harus disadari bahwa hampir setiap peraturan perundang-undangan adalah produk kompromi politik atau transaksi. Tidak mengherankan bahwa ada banyak celah yang dihadapi. Secara historis, hal itu adalah bagian dari proses politik yang tak berujung dan hanya dapat diminimalkan dengan demokrasi matang dan aturan hukum.
 
Namun kenyataannya, Indonesia telah memiliki perangkat hukum dan peraturan yang relatif lengkap terkait pemberantasan korupsi. Seperti undang-undang tentang anti-korupsi, pencucian uang, perlindungan whistle blower, dan informasi publik. Termasuk, ratifikasi Konvensi PBB.
 
Dari sudut kelembagaan sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Yudisial (KY) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Badan-badan ini melengkapi keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan Agung dalam memberantas korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
 
"Dalam hal peraturan dan kelembagaan, adalah adil untuk mengakui bahwa Indonesia memiliki lebih dari cukup hukum dan peraturan untuk menangani perilaku korupsi di semua tingkatan dan mengatakan bahwa semua lembaga hukum sudah berada di tempat masing-masing. Kemauan politik adalah suatu keharusan di mana keterlibatan semua pemangku kepentingan yang diperlukan," kata Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable Todung Mulya Lubis kepada Gresnews.com, Minggu (19/10).
 
Sejauh mana hukum dan peraturan tersebut telah diterapkan, lanjut Todung, masih harus dilihat dan menjadi tantangan bagi Pemerintah terpilih, Jokowi-JK.
 
Menurutnya untuk mempercepat laju melawan anti-korupsi, suatu keharusan bagi pemerintahan Jokowi-JK memiliki kemauan politik yang kuat dengan semua pemangku kepentingan. Pemerintah baru juga harus melibatkan kekuatan dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Kemudian, mensosialisasikan seperangkat undang-undang anti-korupsi nasional dan internasional tersebut hingga memanfaatkan perkembangan informasi dan media.
 
"Penegakan semua kebijakan anti-korupsi akan membutuhkan orang yang tepat di tempat yang tepat, seseorang dengan track record yang terbukti anti-korupsi, seseorang dengan keberanian dan tekad," tegasnya.
 
Todung berpendapat pemerintah baru hanya memiliki satu pilihan, yakni terus memberantas korupsi untuk memberikan keadilan bagi rakyat. Tidak boleh ada rasa sakit dan penderitaan berlama-lama di seluruh lapisan masyarakat. Hal ini, kata dia, sejalan dengan apa yang pernah dikatakan bekas Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Kofi Annan,

"Korupsi merupakan wabah berbahaya yang memiliki berbagai efek korosif pada masyarakat. Memperlemah demokrasi dan supremasi hukum, menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis kualitas hidup, dan memungkinkan kejahatan terorganisir, terorisme, dan ancaman lain terhadap keamanan manusia untuk berkembang".
 
Todung  menambahkan, hal itu untuk menegaskan kembali komitmen kuat Jokowi-JK untuk memerangi korupsi, seperti yang disampikan selama kampanye. Dalam visi-misi dan program aksi Jokowi-JK, tidak kurang dari 42 upaya memperkuat hukum tersebut dan diantaranya setidaknya ada 8 inisiatif menangani pemberantasan korupsi.
 
Mulai dari menciptakan "rasa takut korupsi"; Memberikan pelayanan publik yang bebas dari korupsi melalui teknologi informasi yang transparan; Mensosialisasikan hukum dan peraturan anti-korupsi; Memperkuat independensi KPK; Mempromosikan sinergi kerja antara polisi, jaksa dan KPK; Memfokuskan diri pada pemberantasan korupsi di bidang lembaga penegak hukum, politik, adat istiadat, pajak, dan pertambangan; Mencegah korupsi melalui penerapan Sistem Integritas Nasional; dan mendorong partisipasi masyarakat dan media massa untuk memantau penanganan kasus korupsi.
 
"Mungkin tidak pantas untuk menyimpulkan bahwa tidak ada banyak yang telah dilakukan dalam pemberantasan korupsi mengingat fakta bahwa 402 pejabat korup dan politisi telah dihukum dalam 10 tahun terakhir oleh KPK," ujarnya. Ada juga ratusan individu korup dikirim ke penjara oleh polisi dan jaksa. Tapi korupsi masih tetap ada. Sepertinya pemberantasan korupsi tidak membuat banyak dampak pada masyarakat.
Data dari Indeks Persepsi Korupsi tahun 2013 menunjukkan bahwa peringkat Indonesia (114) hanya sedikit lebih baik dari Vietnam (116), Bangladesh (136), Nigeria (144), Myanmar (157), Zimbabwe (157), dan Kamboja (160). Sebagai catatan, jumlah negara yang disurvei oleh Transparency International tahun 2013 adalah 175. Oleh karena itu, peringkat dari 114 dari 175 negara masih jauh dari memuaskan.
 
"Meskipun hampir pasti benar bahwa korupsi di pemerintahan tidak akan pernah berakhir, adalah sama benar bahwa banyak yang dapat dilakukan untuk mengurangi prevalensi korupsi," tegasnya.
 
Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane juga berpendapat serupa. Menurut Neta, begitu dilantik sebagai presiden, Jokowi perlu segera menata sistem hukum dan membenahi institusi hukum, khusunya kepolisian, Kejaksan, dan Kementerian Hukum HAM.
 
"Tujuannya agar Revolusi Mental Jokowi mampu segera memberantas mafia hukum, mafia proyek, mafia pajak, dan mafia migas yang selama ini menghancurkan Indonesia," kata Neta dalam surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Minggu (19/10).
 
IPW juga mewanti-wanti agar Jokowi menempatkan figur yang berintegritas, berkapabilitas, berkomitmen, dan tidak menutup-nutupi kekayaannya. "Memang posisi Kapolri tidak satu paket dalam kabinet, tetapi pergantian Kapolri perlu segera dilakukan untuk menjalankan konsep Revolusi Mental Jokowi," jelasnya.
 
Ia berpendapat, jika tidak membenahi Polri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Hukum HAM, maka konsep Revolusi Mental Jokowi hanya sekadar wacana dan angan-angan. Sebab, kata dia, selama ini perubahan tidak berjalan maksimal karena Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementeri Hukum HAM belum dibenahi secara maksimal. Akibatnya mafia hukum, mafia proyek, mafia pajak, dan mafia migas menggerogoti Indonesia.
 
"Mafia hukum misalnya telah memperdaya Indonesia dengan aksi para bandar narkobanya, memanjakan para koruptor, dan memutar balikkan hukum," sindirinya.
 
Para bandar narkoba dan koruptor, lanjut Neta, mendapat keistimewaan remisi maupun pembebasan bersyarat. Sementara mafia proyek selalu diistimewakan untuk mendapatkan proyek-proyek besar di berbagai
instansi. Mafia pajak juga kerap melindungi pengemplang pajak. "Ke depan Revolusi Mental harus mendorong pemeriksaan pajak para pejabat partai dan legislatif," tantangnya.
 
Neta optimis, dengan adanya perubahan signifikan di Polri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Hukum HAM, maka Revolusi Mental Jokowi akan bisa berjalan efektif memberantas "musuh negara" yang selama ini menggerogoti dan menghancurkan Indonesia diberbagai bidang. Sebaliknya, jika Jokowi tidak bekerja cepat dan segera membenahi ketiga institusi tersebut dikhawatirkan Jokowi malah dipecundangi para mafia.
 
"Publik saat ini sedang menunggu, apakah Revolusi Mental Jokowi akan menjadi fakta perubahan negeri ini atau sekadar imajinasi untuk pencitraan," tuturnya.
 
 

BACA JUGA: