JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana meminta tambahan kewenangan yang  bersifat eksekutorial terus disuarakan Komisi Yudisial (KY). Wacana itu terus menguat seiring banyaknya kasus tindak pidana yang dilakukan oleh hakim. Disisi lain DPR juga tengah membahas rancangan Undang-undang Jabatan Hakim (RUU JH). Lewat pembahasan itu KY juga berharap di dalamnya akan mengatur kewenangan eksekutorial KY, sebagai salah satu jalan mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Keinginan KY agar diberi kewenangan yang bersifat eksekutorial juga kembali terlontar dalam diskusi bertajuk "Optimalisasi Wewenang Komisi Yudisial" di kawasan Mega Kuningan, Kamis (13/10). Pada diskusi terbatas itu, Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari mengungkapkan alasan dirinya melontarkan keinginan tersebut. Salah satunya, bahwa lembaga yang dipimpinnya kerap mendapat pertanyaan dari para pencari keadilan
mengapa KY tidak bisa menindak hakim yang melakukan pelanggaran dan korupsi.

Pertanyaan itu, menurut Aidul, seharusnya dialamatkan ke MA.Sebab selama ini KY hanya bertugas mengeluarkan rekomendasi kepada MA terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan hakim. Sedang putusan mengenai pelanggaran tersebut merupakan tanggungjawab MA.

"Kami mengeluarkan rekomendasi yang bersifat tertutup dan rahasia, karena bukan putusan," kata Aidul. Namun tetap saja ada para pihak yang datang ke kami lalu minta salinan rekomendasi. Padahal itu tidak boleh. Rekomendasi hanya disampaikan kepada Ketua MA, Bawas (Badan Pengawas) sekalipun tidak boleh membukanya," papar Aidul.

Aidul melihat, regulasi itu merupakan masalah tersendiri karena rekomendasi yang dikeluarkan KY tidak ada kepastian hukumnya sama sekali. "Padahal kan harus ada kepastian hukum," katanya.

Aidul mengungkapkan dari 1491 laporan yang masuk pada tahun 2015, KY telah membuat 116 rekomendasi kepada MA. Namun rekomendasi yang ditindaklanjuti terhitung hanya 12 rekomendasi.

Menurutnya periode memutuskan atau menetapkan penyelesaian sebuah laporan itu 60 hari. Namun demikian, proses 60 hari itu akhirnya molor juga karena setelah sampai di MA, putusannya bisa sampai berbulan-bulan, bahkan bisa lebih lama lagi. "Orang-orang tahunya kamilah yang memutuskan. Padahal bukan," katanya.

Aidul melihat proses tersebut merupakan proses yang tidak efisien. Itu pula alasan yang membuat pihaknya berharap bisa diberi wewenang yang bersifat eksekutorial. "Ini baru gagasan dari KY. Nanti penyelesaiannya ada di DPR dan Pemerintah," jelasnya.

Ia menambahkan, meski KY ingin melakukan eksekusi langsung, namun hal itu tidak berlaku pada pemberhentian hakim atau pada pelanggaran yang berkaitan dengan hukum acara—hal terakhir sudah ada di dalam Peraturan Bersama (Perba), dan pemeriksaannya bisa dilakukan bersama MA.

"Tapi untuk yang lain, mungkin misconduct murni. Misalnya berikan kewenangan pada kami untuk membuat putusan, jadi namanya putusan Mahkamah Agung demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Sehingga langsung inkrah dan tidak panjang lagi urusannya," papar Aidul.

Aidul menyebut model yang ia harapkan itu merupakan bentuk shared responsibility atau tanggung jawab bersama. Ia juga menekankan bahwa dengan proses seperti itu, KY tidak sedang berusaha mengambil alih atau mempengaruhi kemandirian hakim. "Tidak sama sekali. Tapi memberi kepastian hukum kepada masyarakat," katanya.

Saat ditanya apakah hal demikian merupakan bentuk optimalisasi atau semata keinginan KY menambah kewenangan, Aidul menegaskan bahwa itu merupakan murni optimalisasi. Menurutnya, kehadiran lembaga seperti KY di negara manapun pada dasarnya untuk menyeimbangkan antara kemandirian dan akuntabilitas peradilan.

"Kita tidak menghendaki independensi hakim atau kehakiman menjadi kedap keadilan. Bukan menjadi bunker. Tapi kita menghendaki agar indepedensi hakim itu bukan keistimewaan hakim. Bukan hak prerogatif hakim juga," sambungnya.

Dengan bentuk shared responsibility, ia berharap dalam proses peradilan yang mandiri terkandung responsibility dan akuntabilitas. Sehingga dengan kemandirian hakim bisa memutuskan secara imparsial. "Di situlah posisi KY. Jadi sama sekali tidak ada penambahan kewenangan. Kalau perubahan kewenangan berdasar UU, iya. Tapi kalau berdasar UUD, tidak. Jadi lebih pada optimalisasi," tambahnya.

HARUS KOMUNIKASI KE MPR - Menanggapi Alasan KY meminta tambahan kewenangan Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumkam Widodo Ekatjahjana mengingatkan agar KY memperhatikan dasar yuridis. Termasuk saat menjalin kerjasama dengan aparat kepolisian. "Ini gagasan yang menarik. Tetapi soal dasarnya harus diselesaikan dulu. Standing-nya Komisi Yudisial ini bagaimana?" kata Widodo dalam diskusi yang sama, Kamis (13/10).

Widodo melihat, sebagai lembaga pengawas eksternal bagi lembaga peradilan seperti Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), posisi KY terkesan bias. Mengingat adanya pengawas internal di lembaga peradilan tersebut, walaupun kewenangan KY diperoleh dari UUD. "Ini kan seperti Dewan Kehormatan atau Majelis Kehormatan," kata Widodo. Pihaknya justru khawatir, terjadi benturan antar lembaga.  "KY punya penilaian A, ternyata pengawas internal --karena semangat korps atau apa-- penilaiannya B," ujarnya.

Menurut Widodo, karena penilaian keduanya sama-sama bukan dokumen yuridis, maka saat terjadi perbedaan penilaian hal itu rentan menimbulkan kebingungan. "Pertanyaannya, putusan mana yang akan kita pakai? Ini jadi satu soal juga karena posisi KY sebagai  pengawas eksternal," kata Widodo.

Terkait hal ini, Widodo menyarankan agar regulasi-regulasi yang ditetapkan KY bisa didefinisikan secara yuridis supaya memiliki kepastian. Ia menyarankan agar hal-hal yang akan dikerjakan KY, yang praktiknya didasarkan pada UUD, dikomunikasikan juga terlebih dahulu dengan MPR. Sebab asbabunuzul tentang kedudukan tugas fungsi, itu ranahnya MPR. "Mintakan pendapat original intentnya ke sana," sambungnya.

Sebagaimana diketahui, keinginan KY memperoleh wewenang yang bersifat eksekutorial didasarkan pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim."

Menurut Widodo, frasa ‘kewenangan lain’ pada pasal di atas mesti didiskusikan dengan MPR dan tidak ditafsirkan sendiri oleh KY maupun DPR. "Dasarnya tadi. Apa sebenarnya kewenangan lain akhirnya ditafsirkan oleh Pemerintah dan DPR melalui Undang-undang? Sedang yang merumuskan Pasal 24B itu adalah MPR," papar Widodo.

Dengan adanya diskusi dengan MPR, Widodo menilai hal itu akan membantu meredam potensi terjadinya perdebatan yang muncul di kemudian hari. "Tanya, bagaimana original intentnya? Kalau bisa tertulis. Supaya kalau nanti di MK ada sengketa soal ini, itu yang mungkin bisa dijadikan dasar," katanya.

Sementara anggota Komisi III DPR Nasir Djamil berpendapat bahwa hal pokok yang harus dilakukan KY terkait optimalisasi adalah menjaga dan melindungi para hakim agar tidak melakukan pelanggaran. Bukan semata menegakkan, dengan melakukan penindakan saat terbukti ada hakim yang melanggar aturan.

"Kalau kita lihat, tugas KY itu menjaga dan menegakkan. Menjaga itu to potect, artinya bisa juga melindungi," kata Nasir (13/10). Menurutnya Nasir jangan sampai kemudian KY tidak optimal melindungi para hakim, tapi mau menindak, mau menegakkan.  Ia menekankan, upaya menjaga dan menegakkan itu maknanya tak jauh beda dengan amar maruf nahi munkar.

Amar maruf-nya itu harus kuat. Jangan sampai amar maruf-nya tidak pernah dilakukan, tapi maunya nahi munkar terus," papar Nasir.

Dia menjelaskan bahwa menjaga itu harus dilakukan maksimal. "Kalau sudah dijaga tapi lolos juga, maka itu mungkin hukumannya bisa lebih berat," katanya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: