JAKARTA, GRESNEWS.COM - Memasuki masa sidang III 2017-2018, DPR memiliki satu agenda penting yaitu pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Salah satu perumus RKUHP Prof. Muladi pada 19 Desember 2017 mengatakan, penyusunan RKUHP sudah 95 persen pada Desember 2017 lalu. Sementara Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga yakin bahwa RKUHP akan selesai pada bulan Januari ataupun Februari 2018.

Di tengah keyakinan pemerintah, Aliansi Nasional Reformasi RKUHP (Aliansi KUHP) justru menegaskan kekhawatirannya. Pasalnya, dalam RKUHP masih terdapat ketidakjelasan pola dan penentuan ancaman pidana. Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, ketidakjelasan pola dan penentuan ancaman pidana ini akan menjelma menjadi ancaman terjadinya overkriminalisasi.

"Ini jelas bertentangan dengan misi paket hukum Presiden Jokowi yang ingin merevitalisasi hukum, memberikan rasa aman dalam masyarakat dan menyelesaikan masalah overkapasitas penghuni dalam Lapas," katanya kepada gresnews.com, Selasa (9/1).

Karena itulah, kata dia, Aliansi KUHP menolak pengesahan RKUHP secara terburu-buru. Apalagi, masih ada agenda yaitu penyampaian laporan dan pengambilan keputusan serta penandatanganan naskah RKUHP yang belum terlaksana. Berdasarkan hasil pemantauan ICJR dan Aliansi KUHP, proses pembacaan ulang Buku I RKUHP telah dirampungkan dan telah dimasukkan ke tim perumus dan tim sinkronisasi. Sedangkan pembahasan Buku II belum diselesaikan seluruhnya.

"Terdapat beberapa pasal yang masih ditunda yang terdapat dalam Buku I maupun Buku II, dan akan diputuskan kembali pembahasannya di rapat Panja RKUHP," papar Erasmus.

Ketentuan dari Buku I yang masih dipending dalam perkembangannya adalah mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat/hukum adat dan pengaturan mengenai pidana mati. Sedangkan dalam buku II, ketentuan yang masih dipending adalah soal tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden, tindak pidana perizinan dan gangguan terhadap benih dan tanaman.

Kemudian, tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, tindak pidana kesusilaan, tindak pidana perjudian, pengecualian tindak pidana penghinaan, dan tindak pidana terhadap nyawa. Berikutnya, tindak pidana terhadap kepercayaan dalam menjalankan usaha, tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, serta bab mengenai tindak pidana khusus.

"Dari proses pembahasan yang masih pending, salah satu pokok pembahasan yang belum selesai dilakukan adalah mengenai pola dan penentuan ancaman pidana," ujarnya.

Erasmus menjelaskan, ICJR dan Aliansi KUHP Sudah berulang kali memberikan catatan mengenai pola dan penentuan besaran ancaman pidana, khususnya pidana penjara dalam RKUHP. Pertama, RKUHP berpotensi besar menimbulkan overkriminalisasi atau kelebihan beban pemidanaan.

Sejak awal, DPR dan Pemerintah sudah berkomitmen untuk mengevaluasi mengenai tinggi rendahnya ancaman pidana, beberapa kali pembahasan mengenai ancaman pidan juga mengemuka di ruang pembahasan.

"Sampai saat ini, pemerintah belum mampu menunjukkan dan memberikan penjelasan yang cukup mengenai pola pemidanaan dan penentuan ancaman pidana," katanya.

Beberapa pasal dalam RKUHP menurut ICJR diatur dengan ancaman pidana yang sangat berlebihan. Sebagai contoh penghinaan yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun penjara atau zina yang juga diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun penjara.

"Artinya untuk pidana seperti penghinaan dan zina bisa dikenai upaya paksa penangkapan dan penahan. Padahal dalam KUHP saat ini, kedua pidana ini hanya diancam dengan pidana masing-masing maksimal 4 tahun dan 9 (sembilan) bulan penjara yang artinya tidak dapat dan tidak perlu dikenai penangkapan dan penahanan," terang Erasmus.

Kedua, dalam beberapa kesempatan, pemerintah dan juga Presiden Jokowi selalu berbicara mengenai overkapasitas Lapas dan penggunaan alternatif lain di luar pemenjaraan. "RKUHP digadang-gadang karena memiliki ketentuan kerja sosial dimana dalam hal jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan," uja Erasmus.

Yang menjadi soal adalah karena ancaman pidana penjara dalam RKUHP tergolong tinggi dan ketentuan ini sangat bergantung pada keputusan hakim untuk menjatuhkan pidana dibawah 6 bulan, yang juga bergantung pada tuntutan dari jaksa. "Secara teknis dan praktik, hakim akan susah menjatuhkan pidana rendah (di bawah 6 bulan), apabila jaksa menuntut pidana penjara tinggi, yang juga bergantung pada ancaman pidana dalam undang-undang," tegasnya.

Berdasarkan temuan ICJR, hanya ada 59 tindak pidana yang dapat secara otomatis dapat dijatuhi pidana kerja sosial. Sedangkan 1.154 perbuatan pidana lainnya diancam dengan pidana penjara. Lebih lanjut, ada 328 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana minimum dari 1 tahun sampai 5 tahun penjara.

Ketiga, masalah lain dari kondisi ini adalah kewenangan besar upaya paksa yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yang berasal dari tingginya ancaman pidana, tidak dibarengi dengan pengawasan yang cukup dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. "Hal ini akan membuka potensi kesewenang-wenangan dan korupsi di tubuh aparat penegak hukum, ujungnya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia," kata Erasmus.

Untuk itu, Aliansi KUHP mendorong DPR untuk terus menagih penjelasan dari pemerintah terkait pola dan penentuan ancaman pidana dalam RKUHP. Hal ini penting dilakukan untuk menilai rasionalisasi dibalik setiap angka ancaman pidana, apakah selama ini pemerintah telah melakukan evaluasi atau tidak.

"Belum lagi, penjelasan itu akan memberi petunjuk apakah emerintah dapat menjamin tidak akan terjadi overkriminalisasi dalam praktik peradilan pidana di Indonesia," pungkasnya.

HUKUMAN MATI - Salah satu poin yang menjadi pembahasan alot dalam RKUHP adalah soal hukuman mati. Aliansi KUHP menentang dimasukkannya hukuman mati dalam pemidanaan di Indonesia dengan alasan masih tingginya ketidakpastian hukum. Namun pemerintah tampaknya tetap akan memasukkan pasal-pasal hukuman mati dalam RKUHP. "Kemungkinan hukuman mati tetap ada. Perdebatan di DPR, pro kontra pidana mati itu sama kuatnya," ujar Muladi, beberapa waktu lalu.

Muladi menegaskan, hukuman mati di Indonesia sulit untuk dihapuskan. Meski tak dipungkiri dihapuskan tidaknya hukuman mati bergantung juga dengan keinginan masyarakat.

"Hukum itu kan representasi dari masyarakat. Kalau masyarakat setuju hapus ya dihapus. Peluang di Indonesia sulit menghapus pidana mati. Tapi memperlunak itu masih bisa dilakukan," ujar dia.

Meski begitu, kata Muladi, akan ad jalan tengah terkait pelaksanaan hukuman mati. "Kita menempuh Indonesian way, jalan tengah itu mengatur pidana mati bersyarat," kata Muladi.

Hukuman  mati bersyarat itu mengatur, orang yang dipidana mati, akan terus dipantau selama 10 tahun. Jika berkelakuan baik, hukumannya bisa diubah menjadi pidana seumur hidup, atau 20 tahun penjara. "Itu diusulkan RKUHP yang mengatur conditional capital punishment dan dikeluarkan dari pidana pokok, perkecualian," ucap Muladi.

Sebelumnya, Menkumham Yasonna Laoly juga mengatakan, meski tetap ada, hukuman mati akan menjadi hukuman alternatif saja. "Hukuman mati nantinya akan menjadi hukuman alternatif saja," ujar Yasonna.

Yasonna menerangkan, nantinya, seorang narapidana yang divonis hukuman mati akan dipantau oleh tim independen di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Jika sang napi dinilai bertobat, maka hukuman mati bisa dibatalkan dan diganti dengan hukuman penjara dengan masa tertentu.

Tim independen tersebut sendiri akan dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah. PP itu juga akan mengatur kriteria seorang terpidana mati yang dapat dialihkan hukumannya. (mag)

BACA JUGA: