JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah lembaga menilai Mahkamah Agung (MA) masih marak dengan pungutan liar alias pungli. Hal ini terungkap dari hasil riset yang dilakukan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) FH UI terhadap sejumlah pengadilan di wilayah Jakarta.

Riset yang dilakukan MAPPI FH UI terhadap praktik pungli dan korupsi di pengadilan wilayah Jakarta, menemukan hasil yang cukup mencengangkan. Ternyata  masih ditemukan praktik pungli di pengadilan di wilayah DKI. Padahal telah berulangkali aparat Pengadilan maupun hakim terkena operasi tangkap tangan oleh KPK.

MAPPI dalam paparan hasil risetnya menyebut pungli masih ditemukan di Pengadilan Negeri Wilayah DKI Jakarta, terutama di lingkup pelayanan publik. "Sebagai contoh ditemukan bahwa pungutan liar dalam pendaftaran surat kuasa dan akses terhadap salinan putusan di luar biaya ketentuan masih terjadi," jelas MAPPI dalam siaran persnya, Selasa (21/11).

MAPPI menganggap, praktik pungutan liar sebagai bagian dari bentuk korupsi ini, tentu berdampak pada beberapa hal. Salah satunya, terhambatnya akses keadilan bagi masyarakat.

Hambatan ini muncul disebabkan adanya biaya lebih yang harus dikeluarkan masyarakat terhadap layanan di pengadilan. Menurut beberapa responden, mereka menganggap apabila tidak membayar pungutan liar tersebut akan berdampak pada kualitas layanan pengadilan.

Hasil riset itu juga diamini oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang memperoleh temuan serupa. Menurut Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu, hasil riset yang diperoleh MAPPI sama seperti temuan yang ditemukan ORI. Hal ini menurut Ninik  menandakan Mahkamah Agung (MA) belum sungguh-sungguh berbenah dalam mereformasi pengadilan.

"Hasil penelitian ini tidak jauh beda dengan hasil pemantauan ORI pada tahun 2016. Artinya MA belum sungguh-sungguh berbenah," kata Ninik, Selasa (21/11).

Ditambahkan Ninik selama ini pihaknya juga banyak mendapat laporan maladministrasi. Penyebab maladministrasi diduga disebabkan oleh birokrasi yang tidak efisien atau karena pungli di dalam pengadilan.

"Sekali lagi respons saya, MA dan sistem peradilan belum mau berubah untuk mereformasi kinerjanya," ujarnya.

Untuk itu pihaknya meminta agar reformasi peradilan yang digaungkan oleh MA harus diikuti tindakan yang substansial. Ia menyayangkan kondisi ini, sebab selama ini MA menjadi institusi yang banyak diharapkan masyarakat untuk mendekatkan akses keadilan.

Adanya temuan ini MAPPI pun mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk segera melakukanlangkahlangkah  sebagai berikut:

- Mengevaluasi kembali pengaturan dan kebijakan yang telah ditetapkan yang berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas serta penerapannya.

- Memangkas proses administrasi yang masih terlalu panjang dan melibatkan banyak pihak menjadi proses yang lebih sederhana dan transparan.

- Memperjelas dasar hukum terkait produk-produk layanan publik di pengadilan

- Meningkatkan dan menggalakkan sistem pengawasan terhadap Pegawai dan Pejabat di lingkungan peradilan, khususnya berkaitan pelayanan publik.

- Bekerja sama dengan institusi lain dalam hal pembenahan dan pemberantasan pungutan liar di pengadilan, seperti Ombudsman RI, KPK dan KomisiYudisial.

OTT DAN REFORMASI PERADILAN - Pengungkapan kasus tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan, baik yang melibatkan panitera, pegawai pengadilan maupun hakim, berulangkali terjadi, seolah tak akan pernah berhenti.

Bahkan  Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut sedikitnya 25 orang di lingkungan Mahkamah Agung yang terjerat KPK sejak Maret 2012. Bahkan ICW menilai pengadilan atau cabang kekuasaan yudikatif dalam  kondisi darurat korupsi.

Disebutkan dari 25 orang itu, sebanyak 10 orang berstatus sebagai hakim dan 15 pegawai pengadilan atau MA. Mereka sebagian besar terjerat OTT KPK.

Koordinator ICW Tama Langkun menyebut potensi korupsi di lingkungan pengadilan sangat besar. Menurutnya hal ini juga mengindasikan belum adanya reformasi yang signifikan di tubuh MA dan jajarannya. Struktur organisasi MA yang besar hingga jajaran di bawahnya disebut ICW sebagai penyebab dugaan masih banyaknya oknum hakim dan petugas pengadilan yang korup dan belum tersentuh KPK.

"Potensi tersebut juga diperbesar dengan lemahnya pengawasan internal yang dilakukan Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial, sehingga peluang terjadinya korupsi di tubuh pengadilan semakin terbuka lebar," ujar Tama.

Selain itu ICW juga menyoroti tidak efektifnya Perma Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di lingkungan MA dan badan peradilan di bawahnya. Bahkan aturan ini dianggap tidak mampu memberikan pengawasan yang efektif terhadap hakim dan petugas pengadilan.

"Sehingga sulit secara nalar untuk menjustifikasi pengawasan yang dilakukan ketua pengadilan, karena  justru ketua pengadilanlah yang nakal di pengadilan," jelas Tama.

Untuk itu Tama pun menyarankan perlu adanya evaluasi dan pemetaan korupsi di pengadilan. Selain saran untuk evaluasi terhadap Perma Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung.  MA juga disarankan melakukan penilaian ulang terhadap seluruh ketua pengadilan sebagai ujung tombak pengawasan di pengadilan. (dtc)

BACA JUGA: